Sedang Membaca
Bab Fikih Pergundikan: Dikaji tapi Disepelekan Pesantren
M. Ishom el-Saha
Penulis Kolom

Dosen di Unusia, Jakarta. Menyelesaikan Alquran di Pesantren Krapyak Jogjakarta dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Bab Fikih Pergundikan: Dikaji tapi Disepelekan Pesantren

Rame mendiskusikan Disertasi seorang doktor bertemakan Milk al-Yamin (pergundikan) jadi teringat guru saya al-maghfurlah Kiai Ishaq Mranggen Demak. Hampir semua kitab fikih saya pelajari di bawah bimbingan pengasuh Pesantren Pesantren Raudhatuttalibin Mranggen itu.

Uniknya pada saat pengajian sudah sampai Bab Penyelesaian sengketa (Kitab al-aqdhiyah wa al-syahadah dan akan beranjak ke Bab terakhir kitab fikih, yakni Kitab al-Itqi (Kitab Perbudakan), beliau selalu berkata “pengajian sudah khatam”. Bagi beliau, tujuan belajar fiqh di luar masalah ubudiah ialah untuk menyelesaikan masalah hukum.

Dengan kata lain kalau santri sudah sampai bab penyelesaian sengketa maka tujuan belajar fikih terpenuhi. Adapun jika dalam kitab fikih masih tersisa satu bab berupa Bab perbudakan maka boleh diteruskan boleh juga tidak karena sudah tidak ada wujudnya di zaman sekarang.

Pandangan Kiai Ishaq boleh dikatakan merepresentasikan perspektif masyarakat pesantren dalam mengkaji fikih (hukum Islam). Bahwa diakui atau tidak ada hukum yang mati (end law), yang salah satunya ialah “Bab Perbudakan”. Sekalipun perbudakan selalu mewarnai dimensi fikih, mulai dari denda pelanggaran hukum (kafarat, diyat, dan sebagainya) sampai status sosial dan ahliyah-nya dalam konteks beragama. Walaupun begitu satu catatannya perbudakan sudah lenyap dari muka bumi.

Baca juga:  Perempuan dalam Perspektif Islam dan Psikoanalisis (2): Kemurnian Cinta Ibu

Makanya aneh jika dalam kajian hukum modern diungkit kembali tema-tema perbudakan, seperti Milk al-Yamin (pergundikan) sebagai rujukan mengabsahkan hubungan biologis di luar jalur marital. Di dunia pesantren masalah itu sebatas dikaji untuk menghormati ulama terdahulu bukan untuk diamalkan sebab dikategorikan masalah hukum yang mati.

Tak dipungkiri bahwa Mulk al-Yamin atau praktek pergundikan Pernah dilakukan sampai Abad XVIII oleh sultan-sultan Nusantara. Dalam kitab Undhang-undhang Banten yang ditulis Sultan Abdullah Muhammad Syifa Zainul Arifin secara gamblang masih disebutkan perihal legalitas praktek pergundikan di Kesultanan Banten. Bukan hanya berlaku untuk kalangan bangsawan tetapi juga masyarakat luas.

Hal itu dapat dipahami karena perang (jihad) di masa itu masih sebagai penyelesaian masalah. Perempuan-perempuan di daerah konflik yang kalah perang dikuasai sebagai rampasan dan dimiliki oleh pihak yang berhasil mengalahkan. Milk al-Yamin adalah perempuan hasil rampasan perang yang boleh disetubuhi dan dijual belikan di masa peperangan itu.

Tapi bagi kalangan pesantren, Milk al-Yamin merupakan sejarah masa lalu yang tak perlu dipakai sebab penyelesaian masalah dan sengketa di era modern ini bukan lagi ditentukan Bab Jihad tetapi Bab Aqdiyah wa Syahadat. Apalagi kalau ngajinya santri dan kiai sudah sampai tingkat Fathul Mu’in, maka “Bab Jihad” sudah dimetamorfosiskan menjadi topik usaha dan aksi (al-juhd) yang belum ada selesainyanya. Sebab akhir persoalan hukum harus diselesaikan lewat peradilan, bukan berperang.

Baca juga:  Siapa Perempuan yang Membesarkan Soekarno?

Kalau seorang muslim memahami bahwa ending belajar hukum Islam adalah menyelesaikan sengketa lewat jalur hukum, pasti dia akan menutup rapat-rapat masalah perbudakan dan pergundikan. Walaupun diakui dulunya dipraktekkan dalam sejarah Islam.

Di sini kita paham alangkah bijaknya kiai pesantren, sekalipun Bab perbudakan masih dibaca tapi dianggap sebagai hukum yang mati. Sebaliknya, jika ada yang masih mengotak-atik Bab perbudakan dan Pergundikan sama halnya dia masih memimpikan lahirnya Medan perang jihadi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top