Sedang Membaca
Modernisasi Sampai Ke Desa-Desa  

Mahasiswa Universitas Islam Malang.

Modernisasi Sampai Ke Desa-Desa  

20201212 095527

Desa terkadang membawa ingatan orang kota pada masa kecil. Padahal, tidak semua orang kota pernah menjadi anak desa. Sebagian mungkin benar merasakan tinggal di desa, lewat proses urbanisasi. Beberapa hanya ‘sok’ merasa romansa desa, ada pula yang berucap ‘dasar ndeso.’

Ingatan pada desa membawa kenangan masa kecil. Desa itu tempat bermuara segala yang ada, tempat berpulang sejauh perjalanan paling palung. Masa kecil adalah momen ketika suara ibu mencari di lapangan bola desa (sebenarnya sawah bekas panen padi).  Kerinduan akan suara adzan, bunyi jangkrik, juga tonggeret musim kemarau.

Di desa dahulu ramai, obrolan panjang menjelma antrean sepanjang tanean lanjeng. Obrolan pun terjadi di antara kawan sebaya, ibu ibu rumah tangga, atau bapak-bapak sepulang kerja.

Jika sore telah lewat, bunyi TOA bersahutan pertanda waktu ngaji akan segera tiba. Kita bersiap ke langgar, menentang parau juga gemalau suara rembulan. Guru ngaji bersiap di di depan langgar, bocah bocah berebut cium tangan.

Saban libur langgar jadi tempat berkumpul. Mengobrol hingga larut malam, bertema secangkir kopi, sesekali ada bocah nakal menyelip gaplek. Begitu subuh tiba, bocah berebut mencari timba, air di kamar mandi guru ngaji perlu terisi, itu bagian dari barokah. Sebagian mencari kayu bakar, untuk bekal ‘bu guru’ seminggu menanak di atas tungku. Desa itu seru, serupa bingkai kenangan indah.

Makhfud Ikhwan, dalam gubahan novel Ulid coba ajak pembaca ingat desa. Desa Ulid yang dinarasikan indah sebelum arus pekerjaan menyempit. Orang tua pria berbondong bondong cari kerja ke negeri Jiran. Desa sepi, penduduk tak lagi bekerja dengan mengacu pada sumber daya alam. Materi dinilai tidak mencukupi jika hanya berserah pada desa.

Baca juga:  Dialog Lintas Agama Habib Umar

Ulid jadi saksi, bagaimana desa yang dulu tradisional mulai tergerus arus urbanisasi. Kita juga merasa pengalaman serupa. Mengaku rindu desa, sebab ‘merasa’ jadi masyarakat kota dengan segala prosesnya. Pulang ke desa membawa buah tangan, sesekali perubahan hingga desa jadi ke kota kotaan. Ulid mengalami hal serupa, lewat tetangganya yang pulang dari Malaysia arus teknologi turut menggempur desa.

Ingatan gagal membawa pulang ke desa. Halaman berganti bunyi gawai, di tangan bocah milenial pemancar Wi-Fi terlanjur menggoda. Langgar kehilangan marwah, tempat nginep adalah warung penyedia voucher. Bocah bermain gawai, di emperan tidak ada obrolan panjang.

Tentang desa yang membentang sepanjang ingatan, kenangan membekas pada jejak serumpun kisah. Ada bocah-bocah yang menimba impian dari bilik surau, jalan-jalan yang diarsip sebab telah berganti, sekolah yang hanya sebuah bangunan tua, ada guru ngaji, juga rumpi di halaman rumah.

Kembali ke desa membawa ingat pada jalan di depan rumah. Pada masa lampau jalan di depan rumah itu dokumentasi sosiokultural. Jalan di depan rumah jauh dari kemewahan jalan beraspal kelas atas yang hanya boleh dilalui kendaraan roda empat. Kita ingat jalan di depan rumah adalah jalan dengan bebatuan cadas.

Di pelataran rumah tersaji bebatuan cadas yang menggilas kaki telanjang. Tidak ada suara knalpot, deru mesin mobil, atau orang orang berburu waktu. Kenangan tersaji setiap saat bersama suara knalpot ‘brong,’ orang terbirit birit hendak bepergian, ke kota ke mana mana.

Baca juga:  The Two Popes (Dua Orang Paus)

Kita belum terlambat sadar kondisi sekitar telah berkembang teramat pesat seiring zaman. Jalan di depan rumah mulai terjaring modernisasi. Kebijakan yang membuat jalan beraspal membuat  kehilangan memori masa kecil. Di kota besar kita melihat jalan raya, yang nampak lalu lalang tak pernah lengang. Di kota barangkali sudah lumrah jalan yang tidak pernah sepi penghuni.

Saat pandemi, kebijakan PPKM (Pembatasan Perilaku dan Kegiatan Masyarakat) memaksa jalan sepi. Malam hari nampak sangat lengang karena lampu jalan harus dimatikan sebelum pukul 10.00. Jalan membawa ingatan saat desa dahulu belum teraliri listrik.

Jalan dan kenangan yang terlambat sadar membawa pada buku gubahan Hasan Aspahani buku Nang Tabayang Nang Tagangan (Circa, 2021). Ingatan dikemas Hasan dengan indah, ingatan adalah keniscayaan untuk yang terlambat sadar terlalu banyak perubahan di desa. Jalan besar adalah/ pasar basah di kampung kami/ para pedagang datang bersepeda/ perempuan dan laki-laki/ dan nanti pulang dengan keranjang telah kosong, halaman 114.

Hasan berbagi ingatan tentang jalan di desa yang menjadi pasar, lalu-lalang terjadi dengan sepeda. Sepeda tidak berknalpot, artinya bukan motor. Kita memahami Hasan jika simbol ‘sepeda’ dimaksud untuk mengembalikan kenangan. Mungkin di masa sekarang, jalan besar di desa Hasan sudah terpenuhi asap kendaraan bermotor.

Jalan membekas jadi penanda zaman telah beralih. Kita tidak sadar bahwa modernisasi nyata merangsek ke desa-desa, merusak kenangan, juga kebiasaan bocah dengan predikat ‘kekinian,’. Jalan di desa tak lagi jadi pilihan untuk bermain bola plastik dengan tiang gawang dari sandal. Jalan di desa adalah tempat berlalu lalang yang ramai.

Baca juga:  Epistemologi Islam di Mata Para Filsuf Muslim

Dari jalan ingatan beralih pada sederet kenangan di desa. Ada saat-saat masyarakat desa akan berkumpul di suatu rumah untuk menonton acara Televisi, tontonan berkualitas adalah sinetron Indonesia di masa lalu. Kita mengenal pemeran film bernama Barry Prima, musik dari Rhoma Irama juga tarian Titiek Puspa.

Ada televisi besar/ di ruang tengah rumahnya yang besar/ yang selalu dihidupkan/ tapi bagi anak cucunya/ tak ada acara yang menarik/ kecuali apabila sesekali/ Haji Imlan membolehkan/ mereka memutar/ video film Rhoma Irama, halaman 101.

Kita dapat memahami rumah Haji Imlan adalah rumah besar yang biasanya terdapat di desa. Pak Haji disematkan pada seseorang yang pulang dari tanah suci, berpunya harta, sehingga menjadi tempat sentral berkumpul orang-orang desa untuk menonton televisi.

Hasan kemudian melakukan refleksi pada kenangan yang terlampau ‘dikata’ hilang sebab modernisasi. Pada masa bocah yang sebenarnya tak benar benar berlalu. Ia lekam dalam ingatan sepersekian tahun telah berlalu. Masa lalu adalah kenangan indah bagi bocah desa. Masa lalu tak pernah benar bener berlalu/ masa lalu itu mengalir, menderas, dan menyeretnya,/ memendekkan jarak waktu,/ lalu terbawalah ia ke muara – muara ingatan yang tak biasa ia lawan, halaman 64.

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top