Alfin Haidar Ali
Penulis Kolom

Mahasantri Ma'had Aly Nurul Jadid. Bisa disapa via Ig: alfinhaidarali179.

Tiga Metode Strategi Belajar Santri Milenial

Belajar adalah kewajiban bagi setiap orang muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Dalil kewajiban, keutamaan hingga bahaya meninggalkan belajar tentu sudah banyak dibahas dalam berbagai kitab.

Belajarpun tidak wajib kepada semua hal. Dalam ilmu agama saja, ada yang biasa dinamai furudhul ainiyah, yakni kewajiban-kewajiban individual yang sangat perlu dipahamai dan diamalkan oleh seluruh umat muslim dimanapun berada.

Pun, bila belajar adalah penting maka mengetahui metode belajar tentunya lebih penting. Supaya kita dapat mengetahui strategi belajar bagi santri milenial, supaya dapat mengikuti jejak para ulama yang bersinar pada masanya dahulu.

Dari beberapa penjelasan ustadz dan kiai saya di pesantren, setidaknya ada tiga metode belajar supaya kita dapat menghasilkan ilmu yang maksimal. Tidak sekadar ikut kegiatan, masuk kelas, lalu selesai waktu kegiatan ketika di pondok, kita tak benar-benar faham dan tentunya tidak ada pengetahuan yang bertambah pada diri kita.

Metode ini tentunya di luar metode bandongan dan sorogan sebagaimana diterapkan oleh pengurus kepada para santri. Metode yang akan kita bahas saat ini adalah metode belajar yang merupakan inisiatif atau gerak mandiri santri tanpa diakomodir pengurus untuk belajar.

Tiga metode strategi belajar santri itu setidaknya ada 3:

Pertama adalah metode ala Imam Syafi’i. “Aku menyelesaikan hafalan Alquran pada usia tujuh tahun dan menyelesaikan hafalan kitab al-Muwattha’ pada usia 10 tahun,” kata Imam Syafi’i. Setelah Imam Syafi’i sudah hafal (tentunya paham pula), ia baru belajar ke gurunya, Imam Malik.

Baca juga:  Gus Dur, Tentara Tuhan, dan Rentenir Agama

Maksud saya, kita harus belajar terlebih dahulu sebelum ngaji ke kiai/guru. Ataupun sebelum masuk ke kelas akademik. Supaya ‘kepala tidak kosongan’ saat menerima ilmu baru. Karena dengan kita belajar terlebih dahulu sebelum belajar kepada seseorang, maka kerja otak kita tidak terlalu berat lagi untuk memahami suatu materi pelajaran.

Bila Imam Syafi’i itu hafal dan paham baru belajar, tentunya bila kita meneladaninya dengan cara belajar terlebih dahulu (lebih-lebih bisa hafal) sebelum belajar kepada orang lain, akan membuat kita mudah untuk hafal dan paham materi yang akan diajarkan oleh guru kita.

Kedua adalah metode perbandingan. Metode ini terinspirasi dari guru saya, Kiai Muhammad Al-Fayyadl yang saat ini menjadi Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid. Dalam sebuah acara, kiai yang akrab disapa dengan Ra Fayyadl ini memberikan tips belajar supaya hasil dari belajar kita itu maksimal.

Jadi pertama-tama adalah buat kajian terlebih dahulu. Permasalahan konsep demokrasi menurut timur dan barat misalnya. Tentunya kita akan membuka banyak kitab untuk menemukan perbandingan dua peradaban besar di dunia itu.

Menurut Lora (Gus) yang pernah belajar ke Perancis dan fasih enam bahasa asing ini, bahwa generasi milenial itu sangat suka sekali membandingkan. Sehingga dengan belajar tema kajian dengan cara perbandingan seperti ini, kita akan menemukan banyak perbandingan penjelasan dari banyak referensi para pakar yang membahasnya.

Baca juga:  Kaifiyyatut Thariqah: Kitab Tarekat Khalidiyyah Karya Syaikh Abu Bakar Tuban (1881)

Ketiga adalah musyawarah. Sebenarnya banyak ustadz atau kiai saya yang menganjurkan dan menerangkan pentingnya musyawarah. Setidaknya, ada tiga alasan musyawarah itu sangat penting sekali untuk diamalkan kita sebagai santri.

Tiga alasan pentingnya musyawarah, yang pertama adalah perintah suci wahyu ilahi. Banyak sekali nash al-Qur’an dan Hadits terkait musyawarah. Bahkan QS. Asy Syura : 38 berbunyi :

 وَٱلَّذِينَ ٱسْتَجَابُوا۟ لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.

Terlepas bagaimana para ahli tafsir menanfsirinya, setidaknya pembahasan musyawarah itu sejajar dengan aktivitas sholat bagi orang mukmin. Kedua, adalah proses istinbath hukum. Karena dengan menggali hukum, kita tidak bisa memutuskan sendirian tanpa bantuan, keahlian dan kepakaran orang lain.

Salah satu ustadz saya memberikan tamsil ini ketika kita hendak mempelari kitab majmu’ syarah muhadzab. Sebuah kitab babon mazhab Syafi’i yang ada 27 juz itu. Pengarangnya adalah Imam Nawawi, Imam Taqiyuddin As-Subki dan Syekh Muhammad Najib bin Ibrahim Al-Muthi’.

“bila kita hendak mempelajari kitab majmu’, seumur hidup pun kita tidak akan bisa mengkhatamkannya. Tapi bila melalui sistem diskusi, mungkin waktu sebulan pun selesai,” kurang lebih begitu ucapan salah seorang ustadz yang masih saya ingat.

Baca juga:  Membaca Warisan Diplomasi Politik Gus Dur 

Ketiga adalah proses kontekstualisasi. Ketika terdapat permasalahan, tradisi para ulama kita adalah selain mencarikan dalil atau ibaroh dalam khazanah keilmuan islam juga bermusyawarah bagaimana mengkorelasikan dan mengkontekstualisasikan antara nash dan realitas ataupun realitas dan nash.

Kita biasa membahas masail diniyah (permasalahan agama) dari realitas ke nash, seperti forum tanya jawab keagamaan di masyarakat hingga forum bahstul masail.

Bila kita membuka kitab syajaratul ma’arif kita akan mendapati proses nalar pembahasan ilmu agama dari nash ke realitas. Dari nash-nash sumber ajaran agama islam, kemudian para ulama memunculkan problematika realitas yang ada.

Dari sedikit ulasan ini, tentu kita juga berdoa supaya diberikan hidayah serta taufiq-Nya supaya termasuk golongan yang mencintai belajar. Termasuk orang alim, pembelajar sejati dimana dan kapan saja yang diberkahi oleh-Nya. Amiin. Semoga bermanfaat. Sekian. Terima kasih.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top