
Angin yang lahir dari rahim Laut Merah menyapu pelabuhan Jeddah, membawa aroma garam nan pahit dan bisik kayu-kayu kapal uap yang berderit di dermaga. Di bawah langit yang membara, petugas Utsmaniyah mencatat nama-nama yang melintas: bukan sekadar manusia, melainkan peziarah, penutur zaman, dan—dalam rahasia yang tak terucap—pion dalam permainan besar antar kekaisaran. Dari pelabuhan Bombay yang berkabut, dari Aceh yang diterpa ombak, dari Hadhramaut yang berdebu, hingga Minangkabau yang dikelilingi hijau sawah, mereka datang. Mata mereka mengejar bayang Ka’bah di ufuk, tetapi kaki mereka menapaki tanah yang penuh duri: intrik politik, wabah kolera, paspor yang menentukan nasib, dan batas-batas kuasa yang tidak pernah tampak jelas.
Inilah ziarah yang dirajut oleh waktu, sebuah perjalanan yang melintasi bukan hanya lautan dan padang pasir, tetapi juga celah-celah sejarah yang retak. Dari pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ibadah haji tidak lagi sekadar panggilan iman. Ia menjadi arena di mana Kesultanan Utsmaniyah dan imperium kolonial Eropa—terutama Inggris—berlomba memperebutkan kendali atas jiwa dan jejak umat. Dalam buku Imperial Mecca: Ottoman Arabia and the Indian Ocean Hajj (2020), sejarawan Michael Christopher Low menelusuri kerumitan ini dengan mata elang, melihat haji bukan hanya sebagai ritual suci, melainkan sebagai panggung diplomasi, laboratorium teknologi, dan medan krisis kesehatan yang mengguncang dunia. Haji, dalam pandangannya, adalah mozaik dari doa dan derit mesin, dari iman dan intelijen, dari kesucian dan strategi.
Alkisah, di Paris, tahun 1899, seorang duta Utsmaniyah, Salih Münir Pasha, menulis laporan yang sarat kecemasan: Inggris, katanya, merancang skenario gelap untuk merebut kekhalifahan, menyerahkannya ke tangan Sharif Makkah yang akan mereka jadikan boneka (Low, 2020, hlm. 1). Bukan kata-kata itu yang menggetarkan, melainkan fakta bahwa laporan semacam ini telah menjadi denyut rutin birokrasi Utsmaniyah di bawah Sultan Abdulhamid II. Ketakutan akan campur tangan Inggris melalui Muslim India di Hijaz bukan isapan jempol. Ia adalah bayang nyata, terukir dalam angka, nama, dan langkah kaki yang meninggalkan jejak di pasir Jeddah.
Di Makkah dan Jeddah, kehadiran Muslim India membengkak bagai gelombang. Pada 1860-an, sekitar 10.000 jiwa berlabuh di sana. Menjelang akhir abad, mereka telah menjadi seperlima dari denyut nadi kota—pedagang yang sibuk, penduduk tetap yang berakar, dan peziarah yang membawa doa. Namun, mereka bukan sekadar angka. Paspor mereka bertuliskan nama Imperium Inggris. Konsul mereka adalah wajah-wajah Eropa dengan sorot mata dingin. Hukum yang melindungi mereka ditulis di London, jauh dari Istanbul. Bagi Kesultanan Utsmaniyah, ini adalah mimpi cendala yang merangkak pelan: Tanah Suci, pusat spiritual umat Islam, telah menjadi medan permainan kekuatan asing.
Sebagai khadim al-haramayn al-sharifayn—pelindung Dua Kota Suci—Utsmaniyah terperangkap dalam jaring kontradiksi. Mereka harus menjaga kedaulatan atas Hijaz, namun wilayah itu telah menjadi tapestri kepentingan kolonial. Inggris, Belanda, Prancis, dan Rusia—semuanya hadir melalui peziarah mereka, masing-masing membawa tuntutan hukum dan perlindungan. Konsul-konsul Eropa di Jeddah bukan hanya pengurus dokumen atau pencatat kematian. Mereka adalah pengintai, penyokong dana, dan penenun laporan rahasia yang mengalir ke ibu kota imperium mereka. Haji, dalam labirin ini, menjadi lebih dari sekadar perjalanan menuju Ka’bah. Ia adalah tarian diplomasi, di mana setiap langkah diukur, setiap doa diawasi, dan setiap paspor menjadi simbol kekuasaan.
Modernitas yang Berdarah
Tatkala Terusan Suez dibuka pada 1869, dunia haji berubah selamanya. Kapal uap, dengan asapnya yang mengepul laksana napas raksasa, membawa ribuan peziarah melintasi lautan dalam hitungan minggu, bukan bulan. Biaya perjalanan menyusut. Waktu tempuh dipangkas. Dari pelabuhan Bombay, Batavia, hingga Aden, manusia mengalir ke Jeddah, membawa harapan, iman, dan—tanpa mereka ketahui—kematian. Tahun 1865, wabah kolera yang lahir di India merangsek ke Hijaz, merenggut puluhan ribu nyawa. Kapal-kapal yang berlayar kembali ke Mesir meninggalkan jejak mayat di laut, bagai puing-puing perjalanan suci yang hancur. Dari Alexandria, penyakit itu merayap ke Marseilles, Istanbul, hingga New York, mengguncang dunia dengan kengerian yang tak terucap.
Tragedi itu memaksa dunia berpikir ulang. Konferensi sanitasi internasional pertama di Istanbul pada 1866 lahir dari ketakutan kolektif ini. Haji, dalam pandangan Eropa, bukan lagi urusan batin umat Islam. Ia adalah bahaya global, sebuah rantai penyakit yang harus dikendalikan. Regulasi pun menjamur: karantina, sertifikat kesehatan, dokumen perjalanan. Peziarah miskin—yang oleh kolonialis disebut pauper pilgrims—dituduh sebagai akar malapetaka. Mereka, yang berjalan dengan kain usang dan doa semenjana, menjadi sasaran birokrasi yang kejam. Kolonialisme, dalam wujud barunya, tak lagi hanya berupa meriam dan bendera. Ia menjadi pagar karantina, kuota kapal, dan stempel yang memisahkan yang berhak dari yang terbuang.
Utsmaniyah, di tengah tekanan ini, menjawab dengan ambisi besar. Mereka mendirikan Dewan Kesehatan (Meclis-i Umur-ı Sıhhiye), membangun stasiun karantina di Pulau Kamaran, dan meluncurkan proyek yang mengguncang imajinasi: Jalur Kereta Api Hijaz. Rel-rel itu dirancang untuk membawa peziarah dari Damaskus ke Makkah, menaklukkan padang pasir yang penuh bahaya. Akan tetapi, di balik besi dan uap, ada narasi yang lebih dalam: sebuah pernyataan bahwa kekhalifahan mampu menjawab modernitas dengan bahasa teknologi dan martabat. Kereta itu bukan sekadar alat; ia adalah simbol, sebuah seruan bahwa Islam tak akan menyerah pada roda-roda imperium Barat.
Namun, modernitas selalu membawa luka. Birokrasi Utsmaniyah, meski penuh semangat, tersandung di bawah beban haji modern. Tiket palsu merajalela. Agen-agen curang menipu peziarah. Konsul Eropa mengeluh tanpa henti. Infrastruktur karantina dan pelabuhan kerap ambruk, tidak kuasa menahan arus manusia yang tak pernah reda. Hijaz, dalam kenyataannya, adalah laboratorium huru-hara, tempat kekuasaan pusat, otoritas lokal, dan intervensi kolonial bercampur dalam harmoni yang bising. Low menyebutnya sebagai “panggung di mana kekuasaan, keimanan, dan kepentingan saling bertubrukan” (Low, 2020, hlm. 13). Haji, dalam sorot ini, menjadi cermin dunia yang retak, tempat tradisi dan teknologi, doa dan diplomasi, saling menari dalam ritme yang tak pernah selaras.
Rezim Pergerakan
Low, dengan ketajaman analisisnya, melihat haji sebagai regime of mobility—sebuah sistem yang mengatur pergerakan manusia melalui paspor, izin, karantina, dan jaringan diplomatik. Pada akhir abad ke-19, lebih dari 85% peziarah yang datang melalui laut berasal dari koloni Eropa: India, Jawa, Aljazair, Asia Tengah (Rusia). Mereka adalah mayoritas yang hidup di bawah bayang kekaisaran asing, yang paspornya tidak bertuliskan nama khalifah, melainkan nama raja atau ratu Eropa. Ini adalah ironi nan getir: Tanah Suci, pusat spiritual umat Islam, dipenuhi oleh mereka yang hukumnya ditulis di ibu kota kolonial.
Akibatnya, Utsmaniyah menghadapi kelumpuhan yang cemplang. Sebagai pelindung Tanah Suci, mereka ingin mengendalikan haji sebagai sumber legitimasi. Namun, mereka tak punya kuasa penuh atas peziarah dari koloni-koloni itu. Maka lahirlah kekuasaan yang setengah jadi: semi-kolonial, semi-imperial, penuh dengan negosiasi dan kompromi. Di Jeddah, kapal-kapal berlabuh dengan bendera Inggris atau Belanda. Di Makkah, peziarah berdoa di bawah naungan khalifah, tetapi hukum yang melindungi mereka sering kali datang dari London atau Paris. Haji, dalam kerumitan ini, menjadi metafora dari dunia yang terbelah: antara iman dan imperium, antara kedaulatan dan penjajahan.
Akan tetapi, Utsmaniyah tak tinggal diam. Mereka melawan dengan cara mereka sendiri: melalui simbol, narasi, dan perlawanan birokratis. Abdulhamid II, dengan kecerdikan seorang penutur, memanfaatkan kekhalifahan sebagai pusat spiritual dunia Islam. Ia mengirim hadiah ke masjid-masjid di Asia Tenggara, mendukung surat kabar Islamis di India, dan mempromosikan citra Utsmaniyah sebagai pemimpin umat melalui jaringan religius. Pan-Islamisme menjadi senjata mereka, sebuah mimpi untuk menyatukan umat di bawah satu bendera. Namun, mimpi ini rangup. Ketika Perang Dunia I meletus dan Sharif Husain dari Makkah memihak Inggris dalam Pemberontakan Arab, narasi kekhalifahan itu runtuh bagai menara pasir di tepi laut.
Tatkala Kesultanan Utsmaniyah akhirnya ambruk dan Kerajaan Saudi mengambil alih Hijaz tahun 1925, banyak struktur lama dihancurkan. Namun, warisan haji modern yang mereka bangun tidak pernah benar-benar sirna. Jalur kereta, sistem karantina, logistik pelabuhan, dan birokrasi paspor tetap menjadi tulang punggung pengelolaan haji. Konflik antara otoritas lokal dan kepentingan global terus hidup, terwujud dalam kuota haji, visa, dan diplomasi yang tak pernah usai. Hingga kiwari, haji tetap menjadi cermin dari dunia yang berderit di bawah roda geopolitik.
Low menutup refleksinya dengan sebuah pengamatan yang menusuk: pengelolaan haji pada masa Utsmaniyah adalah jendela untuk meneroka bagaimana dunia Islam bergulat dengan modernitas dan imperialisme. Hal ihwal ini bukan kisah tentang kejayaan yang hilang, melainkan pelajaran tentang bagaimana iman, kekuasaan, dan pergerakan manusia saling terjalin dalam dunia yang terus berubah. Haji, dalam periode yang ia soroti, adalah perjalanan hati yang suci, tetapi juga perjalanan kapal uap, paspor, dan strategi.
Kalakian, di dermaga Jeddah, di mana angin masih membawa aroma garam, peziarah terus datang dan pergi. Dari stasiun Damaskus yang kini nyenyat, dari kamar karantina di Pulau Kamaran yang telah usang, dari kantor konsul yang kini tinggal puing, haji tetap menjadi panggung zaman. Bukan hanya mereka yang berdoa di padang Arafah yang menapaki sejarah. Seluruh umat, dalam setiap stempel paspor, dalam setiap tetes keringat di bawah terik matahari, sedang melintasi jejak konflik dan solidaritas—sebuah ziarah yang dirajut oleh waktu, dan tak pernah selesai.