Sedang Membaca
Gus Yahya dan Manifesto Kebudayaan NU
Ahmad Suaedy
Penulis Kolom

Dekan Fakultas Islam Nusantara UNUSIA. Peneliti Islam Asia Tengara, menyelesaikan S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis beberapa buku.

Gus Yahya dan Manifesto Kebudayaan NU

6960a3f7 8b6e 4a57 B2f2 Cf17a345c91e

Buku ini saya kira semacam “manifesto peradaban NU” yang memberikan inspirasi yang luar biasa kepada kita semua. Ia memberikan konteks baru, luas  dan global terhadap kehadiran Nahdlatul Ulama sekaligus tantangan yang sangat besar ke depan. Gus Yahya yang kemudian terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, setahun setelah buku ini terbit tampaknya mendapat tantangan untuk merealisasikannya.

Namun, buku relatif tipis ini, dalam bahasa pesantren, semacam sebuah “kitab matan” yang menuntut untuk di-sarakh atau dijabarkan baik oleh penulisnya maupun oleh orang lain. Syarah itu baik yang bersifat intelektual dan akademik maupun  praksis. Bahasanya yang sangat lancar dan enak membuat pembaca pasti ingin menyelesaikannya ketika membaca.

Bagi para ilmuan atau akademisi –bukan hanya studi Islam melainkan studi sosial politik dan historis pada umumnya—layak untuk memberikan perhatian khusus dengan cara menjabarkannya dan juga mengkritinya karena,  saya kira, di sini Gus Yahya  meletakkan konteks baru NU dalam kedudukannya sebagai Ketum PBNU. Buku ini sangat menantang untuk diberikan argumen dan penjelasan sehingga cara pandang atau paradigma ini memberikan elan baru pula bagi warga Nahdliyyin dan  keilmuan.

***

Saya ingin memberikan sedikit tambahan argumen untuk buku ini. Betapa pentingnya cara pandang dan paradigma di dalam buku ini untuk memberikan landasan dan elan vital bagi cara berpikir dan bertindak atau gerakan Nahdliyin saat ini dan ke depan.

Martin van Bruinessen ketika memberikan analisa tetang Khittah 26 NU sempat kaget: mengapa gerakan-gerakan Islam modernis lain ketika mengambil elan vital Islam kembali ke era 500 tahun lalu, era awal Islam, sementara NU hanya 50 tahun yang lalu, tahun berdirinya NU 1926?

Salah satu pertanyaan yang saya kira menarik sebagai bagian dari penelusuran elan vital itu adalah, mengapa organisasi ini diberi nama Nahdlatul Ulama?

Padahal, menurut Gus Mus juga sejumlah kyai yang lain, misalnya, ulama di dalam NU artinya sebenarnya KYAI (artinya kandungan lokalitasnya sangat tinggi. Atau di daerah lain disebut TUAN GURU, AJENGAN, TENGKU, dll.). Ini berbeda dengan arti kata Ulama pada umumnya termasuk di Timur Tengah maupun kata Ulama yang digunakan umum saat ini termasuk kata Ulama oleh MUI.

***

Menurut saya, ada konteks yang penting mengapa organisasi ini menyebut diri sebagai Ulama. Ulama dalam hal ini adalah ulama dalam pengertiannya yang “genuine” memiliki kandungan spiritual keagamaan yang kental seerta memimpin masyarakat secara langsung. Ummat yang sering kita sebut sebagai Ahlussunnah wal Jamaah atau Aswaja.

Namun dalam diskursus keilmuan modern Aswaja selalu disebut sebagai tradisional atau tradisionalisme. Maka, ulama Aswaja juga selalu disebut sebagai Ulama Tradisional. Tradisional di sini, menurut William A. Graham, dalam jurnal MIT (Massachusetts Institute of Technology) 1993, tidak identik dengan ketertinggalan dan enggan berubah melainkan memiliki ciri-ciri sendiri dalam perubahan.

Baca juga:  Negara yang Menjauh dari Ulama: Catatan Disahkannya UU Cipta Kerja

***

Konteks yang saya maksud adalah:

Pertama,  gerakan sekularisme yang dibawa oleh kolonial diinspirasi oleh Revolusi Prancis bukan hanya mengabaikan melainkan menyingkirkan dan  memberantas peran pemuka agama (kyai, ajengan, tuan guru dll) dalam ranah publik atau sosial politik. Ia juga diputus hubungannya dengan keraton dan Sultan yang semula terjalin sangat erat.

Di era sebelum sekularisasi oleh kolonial, para sultan dan keluarganya menjadi murid tarekat para kyai dan pemimpin tarekat ini. Dengan diputusnya hubungan sultan dengan ulama, juga dengan rakyat, maka kyai kehilangan relasi dengan para sultan dan peran sosial politiknya karena memang dihabisi.

Demikian juga Sultan kehilangan attachment terhadap rakyat di bawah melalui kyai. Pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh para pemuka tarekat di seantero nusantara di abad ke-19 dan awal abad ke-20 menunjukkan ini.

Kedua, gerakan Islam modernis karena pengaruh Barat juga berusaha keras untuk menyingkirkan peran ulama Aswaja yang dianggap tradisional atau pemuka agama yang attachmentnya sangat kuat di dalam masyarakat. Ada banyak kajian tentang pudarnya peran pemuka agama tradisional yang digantikan oleh peran “intelektual Islam” baru ini.

Ada disertasi di Universitas Chicago oleh orang Indonesia sendiri. Judul disertasi ini adalah kira-kira: Kesetaraan dalam Nasionalsime Indonesia. Salah satu chapter disertasi itu membahas tentang sumbangan Islam terhadap kesetaraan nasionalisme Indonesia.

Dikatakan di situ bahwa Islam memang memberi sumbangan terhadap kesetaraan nasionalisme Indonesia tetapi itu adalah Islam modern yang berasal dari India, Mesir dan lain-lain gerakan modern.  Sedangkan Islam yang asli Indonesia, katanya, adalah feodal dan klenik atau TBC. Artinya para kyai dianggap tidak punya peran apapun dalam kesetaraan nasionalisme Indonesia.

Jadi, pemuka agama Aswaja atau tradisional di Indonesia bukan hanya disingkirkan secara politik dan sosial bahkan dalam paradigma kelimuan hendak dihilangkan perannya.

Menurut saya dalam konteks inilah kenapa kata ulama dan memakai nahdlatul, kebangkitan ulama dimunculkan sebagai nama dari organisasi ini. Secara tradisi, sebenarnya tidak terbiasa para kyai menonjolkan diri dan mengaku-aku sebagai ulama. Tetapi karena ada keadaan yang mengahruskannya maka kata itu, saya kira terpaksa,  digunakan untuk merebut peran sosial politik baik secara nasional maupun internasioal.

Dengan kata lain, para pemuka agama Islam atau para kyai yang notabene  memiliki attachment yang kuat menghunjam ke dalam masyarakat paling bawah hendak mengambil kembali peran besar mereka bukan hanya dalam soal agama melainkan dalam soal sosial politik atau peran publik umumnya yang selama itu dipaksa menyingkir.

Lambang gambar jagat dengan ikatan tali yang longgar dalam logo NU mungkin saja memberikan simbol bagi peran besar yang diinginkan yang berarti mendunia dan inklusif. Bukan hanya untuk umat Islam melainkan umat manusia pada umumnya.

Baca juga:  Catatan Penting Menyambut 1 Abad NU: Antara Mazhab dan Manhaj

Jadi, Nahdlatul Ulama saya kira memiliki arti yang khusus secara kontektual, yaitu gerakan merebut peran dalam perubahan masyarakat bukan hanya di Indonesia saat itu melainkan dunia saat ini yang bersifat inklusif. Bukan hanya dalam ranah agama melainkan sosial politik.  Gerakan itu berhadapan dengan sekularisme dan Islamisme (dalam istilah sekarang) yang menyingkirkan nilai spiritual Islam yang dibawa oleh para ulama ini.

***

Dalam berbagai karya dan kajian akademik, termasuk oleh para ilmuan NU sendiri di perguruan tinggi, sangat jarang untuk tidak dikatakan tidak ada yang menempatkan ulama lokal atau Aswaja ini ke dalam kategori intelektual modern. Kecuali sedikit sekali di bidang agama semata.

Maka tantangan bagi intelektual Isam khususnya kalangan NU sekarang, bagaimana menempatkan atau lebih tepatnya mengembalikan  peran para ulama khas Aswaja ini ke dalam kancah perubahan global saat ini dan ke depan. Buku ini memberikan tempat untuk itu.

Sebuah riset yang dilakukan oleh William A. Graham yang disebut di atas memberikan ciri-ciri yang menarik terhadap tradisionalisme dengan apa yang dia sebut sebagai Isnad Paradigm dan Muttashil.

Berbeda dengan intelektual sekuler dan modernis yang hanya memetakkan dokumen, teks dan perkataan sebagai sumber keilmuan yang bersifat profan a maka di dalam paradigma Isnad semua intelektualitas memiliki nilai spiritual keagamaan yang bersumber dari sesuatu yang suci, yaitu Al Quran dan Hadits Nabi. Bukan hanya ilmu agama melainkan semua ilmu termasuk ilmu alat bahasa dan sciences. Ekspresi kehidupan sosial adalah ekspresi keagamaan itu sendiri yang dibimbing oleh para ulama/kyai ini.

Ismail Fajrie Alatas dalam buku terbarunya 2001 berjudul “What is Religious Authority?” memberikan narasi yang menarik bahwa sesungguhnya eskpresi keagamaan masyarakat Islam di bawah/grassroots mengikuti teladan dan petunjuk kyai yang botabene atau direkognisi sebagai  representasi dari sunnah nabi itu sendiri.

Jadi kehidupan sosial masyarakat, khususnya NU, dan hubungannya dengan kyai sangat berbeda dengan paradigma sekuler maupun paradigma islamis dan modernis. Kedudukan mapam dari para ulama/kyai atau komunitas ini, menurut Graham, tidak berarti tidak berubah melainkan memiliki ciri-cirinya sendiri dalam perubahan.

Ciri itu singkatnya berupa transformasi. Contoh yang paling mencolok dari ini adalah apa yang dilakukan oleh Gus Dur terhadap keislaman NU dan Islam Indonesia pada umumnya.

Ini pentingnya pengembangan Islam Nusantara secara ilmiah. Kita, Islam Nusantara,  punya warisan luar biasa baik yang bersifat filologis maupun cerita dan realitas kehidupan sosial politik yang sangat panjang ke masa lalu.  Semua itu perlu diolah dan menjadi dasar bagi visi dan strategi perubahan ke depan.

Ernest Gellner, salah satu orinetalis ahli Islam yang lain, juga menulis di jurnal yang sama di MIT tahun 1973 dengan judul   “Post-Traditional Forms in Islam” memberikan contoh bagaimana komunitas tradisional semacam ini melakukan perubahan yang berbeda dengan kelompok sekuler dan modernis.

Baca juga:  Sejarah Lawak Indonesia: Tertawa dan Tentara

Kebetulan yang dia contohkan dari tradisionalisme adalah kelompok Syiah Ismailiyah di India ketika dijajah oleh Inggris, yaitu Agha Khan. Ada dua ciri tradisional yang khas dalam komunitas ini, menurut Gellner, yaitu ketidakmungkinan salah bagi pemimpin atau infalible, Imam mereka. Kedua, ketidakbolehan umat mengontrol penggunaan dana perdelapanan, iuran wajib anggota komunitas, oleh pemimpin tertinggi mereka.

Namun ketika di bawah pemerintahan Inggris ada kewajiban semua dana yang dikumpulkan dari masyarakat harus dilaporkan atau diaudit oleh pemerintah. Komunitas ini mengikuti tuntutan modern pemerintah Inggris namun tanpa mengubah atau tetap berpegang erat pada dua doktrin itu kepada umatnya.

Karena prestasi pengelolaan dana dengan menejemen modern berhasil dan fenomenal, meskipun tanpa mengubah dua doktrin pokok tadi, lantas kelompok ini memperoleh apresisasi dari pemerintah Inggris. Pada suatu saat pemimpin tertinggi Agha Khan diundang makan siang bersama Ratu Inggris karena prestasinya itu.

Sejak saat itu banyak sekali kelas menengah Inggris dan Eropa pada umumnya ikut mendonasikan dana ke komunitas Agha Khan ini. Maka Agha Khan sekarang ini menjadi komunitas Muslim paling kaya di dunia. Mereka punya Award berbagai jenis untuk siapa saja yang berprestasi: Inklusif.

Romo Bangun pernah mendapatkan Agha Khan Award di bidang arsitektur karena perannya dalam melindungi komunitas miskin kota di pinggiran Kali Code di Yogyakarta.

Dalam konteks ini, saya ingin memberikan apresiasi tinggi ketika Gus Yahya sebagai Ketum PBNU yang telah  memerintahkan kepada kebendaharaan PBNU untuk melakukan audit publik setiap tiga bulanan terhadap keuangan PBNU. Ini jika konsisten akan mirip dengan Agha Khan di atas. Jadi doktrin kekhasan dari sebuah kelompok keagamaan sekalipun, dalam hal ini doktrin Ke-Aswaja-an, tidak bertentangan sama sekali dengan kemoderan.

***

Tantangannya adalah, bagaimana memanfaatkan era global dan digital saat ini untuk merevitalisasi peran ulama tadi. Dan bagi para ilmuan, bagaimana memberikan argumen terhadap kehadiran baru ini dalam konteks luas sosial politik dan inklusif yang telah disuguhkan oleh Ketum PBNU ini.

Jika sekularisme dan modernisme menyingkirkan nilai-nilai spiritual untuk melakukan perubahan maka NU dengan doktrin Aswaja-nya memantapkan dan kemudian mentransformasi spiritual untuk perubahan.

Para kyai/ajengan/tuan guru as sabiqunal awwalun NU telah berperan besar pada perubahan di abad ke-20, mungkin baru dalam lingkup Indonesia yang menonjol. Kini di abad ke-21, abad kedua NU, menghadapi tantangan baru, merambah pada level regional dan internasional tanpa meninggalkan penyelesaian masalah-masalah lokal dan nasional.

Wassalam

PBNU, 15 April 2022

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top