Sedang Membaca
Dongeng (Masih) Berkhasiat
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Dongeng (Masih) Berkhasiat

277735936 1577040849332646 5404045291577270764 N

Dunia masih murung. Pada abad XXI, perang masih terjadi. Wabah belum belum rampung. Kemiskinan menjadi kabar terburuk di pelbagai negara. Tata cara hidup pun terlalu berubah sejak miliaran orang bergawai. Dunia masih berdongeng tapi situasi masih tak keruan.

Kita mungkin sedang berada dalam “dongeng” terburuk dalam sejarah manusia meski sudah berpedoman ilmu dan teknologi. Kita malah sering kehilangan ketimbang menemukan. Kita mungkin kehilangan dongeng-dongeng lama atau gagal meneruskan dongeng-dongeng untuk anak dan cucu. “Dongeng” kolosal tercipta. Kita berada dalam “dongeng” justru “abai” dan “mengejek” dongeng-dongeng lama pernah menggerakkan peradaban-peradaban.

Di Kompas, 21 Maret 2002, kita membaca: “Gema teknologi membuat gaung budaya mendongeng kian samar tergerus zaman. Dongeng yang jadi pengantar tidur anak kini terpinggirkan. Padahal, melestarikan dongeng merawat peradaban karena menjadi media pewaris nilai kebaikan.” Di situ, ada kecewa dan keluhan. Dunia terlalu berteknologi mentereng seperti tak menginginkan dongeng-dongeng (lama) sebagai petunjuk, referensi, peta, atau kompas dalam melakoni hidup. Dongeng teranggap kepurbaan. Dongeng cuma milik kesilaman saat orang-orang memerlukan imajinasi, bahasa, dan hikmah mengiringi babak-babak peradaban belum terlalu bergerak cepat.

Dongeng teringat sebagai ungkapan lisan. Peristiwa mendongeng berada dalam tatanan hidup “tradisional” dengan keterbatasan dan kebersahajaan. Anggapan basi tapi kita terbiasa menaruh dongeng itu masa lalu saat orang-orang masih terpukau tuturan berhikmah. Kemunculan mesin cetak berlatar abad XV di Eropa turut mengubah nasib dongeng. Pada suatu masa, dongeng masih termiliki tapi berupa buku-buku berbarengan kesungguhan terus melanggengkan kelisanan atau tuturan.

Baca juga:  Sajian Khusus: Agama dan Pelintiran Kebencian

Pada abad XX dan XXI, dongeng menghuni buku-buku cetak digantikan oleh tampilan di televisi dan gawai. Dongeng-dongeng terbaru cap teknologis menggoda bocah-bocah, memasuki rumah-rumah, dan bermunculan sebagai hiburan meriah. Pendongeng-pendongeng masih ada dengan konsekuensi mengikuti bujukan-bujukan teknologis, berharap masih ada kemungkinan-kemungkinan pelanggengan perkara-perkara lama atau “mengabadi” di kegamangan zaman.

Situasi dunia mutakhir sedang amburadul membuat kita menunduk atau menengok masa lalu. Kita mungkin merindu dongeng. Pengharapan bersama dongeng masih berlaku. Kita mengutip dari Kompas untuk rindu dan keinginan lestari: “Saat budaya bertutur mulai luntur, kebiasaan mendongeng yang pernah jadi teman setia anak-anak di rumah perlu dihidupkan kembali. Dongeng menjadi penjaga kisah peradaban masa lalu sekaligus investasi masa depan anak agar lekat dengan nilai kebaikan.”

Dongeng dalam tuturan dan buku terlalu cepat disusul dengan pesona-pesona teknologis. Murti Bunanta (1988) menjelaskan bahwa mendongeng bisa dilakukan dengan tuturan dan membacakan buku. Di Indonesia, penerbitan buku-buku dongeng melimpah. Di pasar buku, buku-buku dongeng cap dunia terduga paling laris ketimbang dongeng-dongeng Nusantara. Bocah-bocah di Indonesia gampang terpesona dan memuji dongeng-dongeng berasal dari Eropa, Amerika Serikat, Timur Tengah, dan Asia Timur dengan imbuhan kesan-kesan saat digarap sebagai komik, film, atau pertunjukkan. Mereka tetap hidup bersama dongeng-dongeng tanpa jaminan berpijak Nusantara.

Baca juga:  Konsep Fikih Menjaga Lingkungan (2): Mengenal Iqtha’ Tamlik dan Iqtha’ Irfaq di Kalangan Ulama Fikih

Murti Bunanta berpendapat: “Keuntungan membacakan buku adalah ada kemungkinan anak dapat membaca sebelum masuk sekolah karena terbiasa melihat huruf dan kata-kata dari cerita yang dibacakan. Kelebihan mendongeng tanpa teks adalah anak dapat ikut diajak mengekspresikan dirinya.” Pendapat diajukan sebelum ibu dan anak tergoda dongeng-dongeng di gawai. Konon, dongeng-dongeng itu memiliki pikat melenakan setiap hari. Dongeng-dongeng di pemanjaan dan keberlimpahan. Konon, peran ibu atau pendongeng lekas tergantikan akibat puja-teknologi terbaru.

Tatanan hidup abad XXI kadang berakibat lupa dan samar terhadap masa lalu. Di majalah Bobo edisi 17 Maret 2002, bocah-bocah diajak mengingat beragam macam dongeng. Dua halaman di majalah Bobo memberikan keterangan-keterangan singkat tentang fabel, parabel, hikayat, legenda, mitos, dan epos. Bocah-bocah mungkin gampang memahami sodoran penjelasan di Bobo tapi kebingungan untuk sanggup menikmati dongeng setelah menanggungkan hidup di zaman buku-cetak dan teknologi-digital-virtual. Mereka menginginkan dongeng tapi kehilangan jejak kesilaman dan pengantar. Usaha menikmati dongeng telah memusat di gawai, selain mendapat sedikit dari buku pelajaran dan penjelasan guru berkaitan mengerjakan tugas atau soal-soal ujian.

Di rumah, dongeng mungkin masih ada atau tersingkir. Di kalangan pendidik atau pakar pengasuhan, dongeng masih diharapkan berfaedah dan berhikmah di keluarga. Di buku berjudul Mengkomunikasikan Moral Kepada Anak (2003) susunan Wiwit Wahyuning, Jash, dan Metta Rachmadiana, kita disodori penjelasan: “Dongeng adalah cara unik manusia belajar tentang suatu pengalaman. Jangan anda menanggapi permintaan untuk didongengkan hanyalah permintaan anak untuk dihibur. Melalui dongeng atau cerita, kita dapat lebih mudah menggambarkan atau memvisualisasikan nilai-nilai moral melalui tokoh-tokohnya, sedangkan tanpa kita sadari, lebih dari itu adalah sang anak sedang merindukan kedekatan dengan orang tua karena saat mendongeng dia berdekatan secara fisik dengan anda berarti berdekatan secara jiwa.”

Baca juga:  Menambahkan Kata ‘Sayyidina’ di Depan Muhammad

Perkara baku terpahamkan selama ratusan tahun: dongeng dengan pesan-pesan moral. Kita menduga dongeng-dongeng lama dan tata cara mendongeng tradisional menjadikan pesan-pesan moral sering cepat klise. Situasi tak menjadikan anak bergirang menikmati dan merindukan dongeng-dongeng.

Pada abad XXI, anak-anak di rumah dan sekolah tak lagi dibujuk kembali ke dongeng-dongeng lama. Mereka sedang menikmati hidup dengan dongeng-dongeng baru. Konon, dongeng-dongeng itu mudah dinikmati di gawai ketimbang menantikan kedatangan pendongeng. Mereka berhak mengalami pesona berbeda saat hadir bersama dan dilibatkan dalam situasi terbentuk oleh kemahiran pendongeng. Kebersamaan itu mungkin pembuktikan masih ada khasiat dongeng, selain keterlenaan dengan keberlimpahan dongeng-dongeng di gawai. Begitu.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top