Sedang Membaca
Wabah Pes Terjadi Saat Perang Salib: Tuhan pun Disalahkan
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Wabah Pes Terjadi Saat Perang Salib: Tuhan pun Disalahkan

Selama masa paruh kedua abad ke-12 hingga awal abad ke-13, visi-visi budaya yang lebih puritan masuk ke wilayah Iberia. Perang “Salib” yang gigih dari Kekaisaran Kristen dan tentara Berber dari Dinasti al-Muwahhid yang keduanya sama fanatiknya menjadi pemain utama di panggung pertempuran. Akhirnya, tidak terelakkan, keduanya bertemu di daratan yang terletak di antara negeri Kastilia Baru dan Andalusia lama, yaitu di Las Navas de Tolosa pada 1212, dengan hasil kekalahan telak di pihak al-Muwahhid.

Pengaruh dari lamanya kedua adicita keagamaan yang meluas ini bercokol di Andalusia–yang masing-masing awalnya bersifat asing bagi etika atau semangat Andalusia–adalah berubahnya karakter konflik yang sedang terjadi di negeri ini. Keduanya telah membuat peperangan adicita keagamaan menjadi sebuah realitas, kekolotan budaya menjadi sebuah kemungkinan yang nyata, dan identitas satu warna menjadi sebuah ideal yang dapat diwujudkan.

Akan tetapi, harus digarisbawahi bahwa baik kaum Kristen Kastilia maupun kaum muslim Nasr di Granada tidak pernah terlibat secara aktif dalam mewujudkan kecenderungan ini, meskipun jelas kedua masyarakat ini mulai bergerak ke level anti-tenggang rasa dan keterpisahan agama yang semakin tinggi. Faktanya, kedua masyarakat ini tetap berhadapan satu sama lain dalam suatu semesta yang dicirikan dengan telatah politik (yang didasari atas kepentingan politik nyata, bukan normatif), dan dengan budaya keterbukaan yang memungkinkan mereka dapat membangun Alcazar pada pertengahan abad ke-14.

Faktor luar yang jenisnya sangat berbeda kemungkinan juga telah memainkan peran negatif yang sangat menentukan. Wabah penyakit pes (black death) yang sangat menghancurkan, yang menyebar ke seantero Eropa dan telah menghabiskan penduduknya pada pertengahan abad ke-14, menjadi dasar bagi penjelasan lazim yang paling kuat mengenai tumbuhnya sikap anti-tenggang rasa agama di Semenanjung Iberia dan juga di seantero negeri Benua Eropa Zaman Pertengahan. Suasana pergolakan dan keputusasaan yang hampir tak terbayangkan, yang dipicu oleh kematian tiba-tiba sampai di atas 20 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Eropa, diagak-agihkan dengan sangat baik oleh penulis Italia kiwari, Giovanni Boccaccio (16 Juni 1313-21 Desember 1375).

Novel The Decameron, karya utama Giovanni yang ditulis tidak lama pasca masa kritis penyebaran wabah dimaksud, yaitu titimangsa 1348, dimulai dengan lukisan suasana mencabarkan yang terjadi akibat wabah itu. Keruntuhan fisik dan kejiwaan yang terjadi memang cukup mencabarkan, tetapi yang jauh lebih dahsyat adalah keruntuhan luar biasa adat istiadat masyarakat dan nilai-nilai kewargaan, yang menjadi tulang punggung dari suatu peradaban, hancurnya susunan keluarga dan komunitas akibat bencana penyakit yang menyebar dengan sangat acap.

Kambing hitam

Syahdan, mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan dan sebagian besar orang menghadapi ajalnya dalam keadaan sendirian, ditinggalkan keluarga dan teman-temannya yang pergi karena ketakutan tertular ataupun karena tidak bisa memberi pertolongan. Keruntuhan tatanan sosial dan agama yang menyeluruh dan dahsyat pada saat itu berbuntut, salah satunya, pada pencarian kambing hitam atas terjadinya bencana ini dalam komunitas-komunitas minoritas tertentu–dalam hal ihwal ini komunitas Yahudi paling cepat menjadi sasaran–dan sekaligus pengambinghitaman tenggang rasa itu sendiri. 

Tatkala mencari jawaban mengapa Tuhan membiarkan kehancuran hamba-hamba-Nya, sangat mudah bagi suara-suara tertentu untuk melontarkan klaim, berdasarkan kitab suci, bahwa masyarakat sungguh telah dihukum Tuhan karena mereka telah kehilangan iman yang sejati sekaligus telah bersikap tenggang rasa terhadap orang-orang kafir di sekelilingnya.

Penjelasan yang didasarkan atas peristiwa Black Death di atas cukup dapat “dibenarkan” karena di mana pun di seluruh Eropa, termasuk di Spanyol, selama paruh kedua abad ke-14 terlihat, bahwa masyarakat mengalami penyusunan ulang setelah bencana itu. Dari puing-puing akibat bencana ini, secara umum lahirlah susunan anti-tenggang rasa agama serta kecenderungan pemurnian budaya yang nantinya menjadi cap bagi periode sesudah Zaman Pertengahan. 

Baca juga:  Ditemukan Foto Lama Gus Dur Menghadap Presiden Soeharto

Kita dapat melihat dengan jelas melalui kilas balik bahwa akhir dari periode panjang kehidupan makmur masyarakat Yahudi di Spanyol lama dimulai pada “tahun yang mencabarkan” (annus terribilis), yakni 1391: peristiwa kerusuhan anti-Yahudi yang merebak di seluruh dataran Iberia, terutama sekali di Kastilia, yang telah menurunkan jumlah komunitas Yahudi secara drastis.

Mereka yang tidak terbunuh (sementara diperkirakan sekira 100.000 orang lenyap) adalah yang berpindah memeluk agama Kristen atau yang lari ke negeri muslim. Perubahan Toledo, yang belum begitu lama masih dinamakan sebagai “Jerusalem di Barat”, benar-benar bayan. Semula terdapat selusin sinagoge mewah termasuk bangunan yang keindahannya mirip Alhambra yang didirikan Abulafia kurang dari 30 tahun sebelumnya. Pasca 1391, jumlah itu menurun menjadi tinggal beberapa buah sinagoge, dan tidak lama kemudian hanya tersisa dua buah, yang menjadi peninggalan sampai sekarang. 

Pada waktu yang hampir bersamaan, kita juga melihat awal kemunculan hal-hal yang nantinya mengubah secara fatal sikap terhadap peninggalan-peninggalan Islam masa lalu dalam pemerintahan Kristen dan terhadap warisan-warisan budaya Arab dalam kebudayaan Kristen. Tidak lama setelah pergantian abad, Masjid Raya Sevilla yang telah dialihfungsikan menjadi Katedral–dan menjadi tempat raja-raja Kastilia bersembahyang untuk waktu yang lama dan tempat berdirinya makam Raja Ferdinand III–kemudian dirombak untuk dibangun sebuah katedral dengan model yang sangat berbeda.

Namun, ada juga “sanggahan” yang dapat diajukan terhadap penjelasan di atas, yaitu bahwa wabah penyakit pes itu tidaklah melahirkan anti-tenggang rasa agama, apalagi melahirkan semacam sikap-sikap puritanisme terhadap fenomena pencampuran budaya, yang perihal ini telah melahirkan Alvarus di Kordoba pada pertengahan abad ke-9, atau penolakan Judah Halevi yang menyedihkan terhadap filsafat Yunani dan syair-syair Arab pada awal abad ke-12, ataupun peremehan kaum al-Muwahhid terhadap prinsip-prinsip hukum Islam sendiri tentang zimmah (hukum yang melaksanakan Syariat Islam) pada masa berikutnya. 

Wabah penyakit ini, dan segala akibat yang dilahirkannya berupa pencarian kambing hitam dan pergolakan sosial, tidaklah dapat menghilangkan kebaikan prinsip tenggang rasa secara sekaligus, dan memang seharusnyalah untuk tidak mencari kambing hitam atas perbuatan yang merupakan tanggung jawab manusia dan masyarakat. Pelbagai macam peristiwa yang terjadi di beragam masa menunjukkan bahwa individu-individu manusia dan nilai-nilai yang mereka anut memiliki peranan penting dalam menimbulkan segala bencana, betapa pun faktor-faktor yang lebih luas bekerja.

Raja Peter “nan durkarsa”, bagaimana pun, hidup dan memerintah pada masa-masa terjadinya penyebaran wabah itu, dan Istana Alcazar miliknya beserta sinagoge mewah yang didanainya di Toledo didirikan pada 1348. Kalaupun Raja Peter ini kemudian menghukum mati Abulafia, hal ihwal itu adalah karena dia menuduh Abulafia menggelapkan dana pembangunan sinagogenya nan mewah, bukan karena Abulafia seorang Yahudi. Kerusuhan anti-Yahudi yang terjadi hanya beberapa tahun setelah kematian Abulafia dikobarkan oleh orang-orang yang kelak menggantikan kedudukannya, yakni saudara tirinya yang sebenarnya tidak berhak atas jabatan itu, Henry Trastamara. Orang ini memiliki sikap yang sangat berlawanan dengan Peter terhadap kaum Yahudi Kastilia dan terhadap corak Islam pada bangunan-bangunan ibadah umat Kristen.

Akan tetapi, yang paling menyentuh adalah ketika melihat betapa banyak nilai Spanyol Zaman Pertengahan yang masih hidup pasca satu abad kemudian, dan betapa mudahnya pelbagai peristiwa berubah dan berbalik arah. Keturunan Peter dan Henry, yaitu Ratu Isabella dari Kastilia dan Raja Ferdinand dari Aragon, mendaki bukit menuju Alhambra untuk menghadiri upacara resmi penyerahan Granada dengan memakai kostum busana Arab. Dengan ditemani sejumlah penasihat dan perunding beragama Yahudi, mereka menandatangani perjanjian pemberian hak-hak yang mirip dengan hukum zimmah kepada masyarakat muslim.

Baca juga:  Konsep Titik Temu dalam Budaya Pela-Gandong di Maluku

Suatu pandangan yang amat sinis mungkin berpendapat bahwa perjanjian itu hanyalah sebuah sandiwara, upacara, persekongkolan, dan bermuka dua. Perihal ini mungkin juga benar. Namun, agaknya akan lebih adil melihat dalam peristiwa ini apa yang dapat disimpulkan dari semua kisah yang didedahkan, yaitu bahwa di sana terdapat kemungkinan tenggang rasa agama dan budaya. Akan tetapi, pada satu waktu kemungkinan ini dapat diwujudkan, tapi di lain waktu kemungkinan ini dicampakkan. 

Para penguasa Katolik ini, misalnya, dapat saja tidak menghiraukan atau mengabaikan nasihat Gereja kepada mereka (betapa pun sikap mereka banyak yang sejalan dengan nasihat semacam itu), yang menggiring mereka mengambil tindakan pengusiran terhadap umat Yahudi dari tanah negeri ini dan melangkahi perjanjian yang telah mereka tanda tangani bersama rakyat mereka dari kelompok muslim. Apabila mereka benar-benar mengabaikan nasihat Gereja itu, Spanyol Kristen mungkin telah melangkah ke zaman modern dengan konsep tenggang rasa agama dan budaya politik yang akan menjadi panutan, melanjutkan konsep dan tradisi yang telah dilaksanakan oleh para pendahulu mereka Bangsa Kastilia, sejak Alfonso VI.

Kenyataannya bahwa Raja Ferdinand dan Ratu Isabella memilih mengikuti anjuran Gereja dan tidak memilih jalan tenggang rasa, dipandang sebagai bukti bahwa anti-tenggang rasa silang selimpat dikendalikan dan tak terelakkan, terutama pada zaman pra-modern. Namun, akan jauh lebih baik jika tindakan mereka itu dimafhumi sebagai kegagalan mengambil keputusan yang lebih musykil, ketidakberanian membangun sebuah masyarakat yang dapat hidup dengan sekian pertentangan sendiri yang mencolok. Sebaliknya, mereka memilih mengikuti jalan modern, yaitu jalan yang digariskan dengan semangat kesatuan dan keserasian, yang umumnya tak menenggang rasa terhadap pertentangan atau perbedaan.

Gelombang pasang yang terlihat sebagai hasilnya tentu saja ialah tumbuhnya bangsa-bangsa dengan adicita atau satu agama dan satu bahasa, sebuah fenomena yang lazimnya terjadi pada awal periode modern dan terus berlangsung sampai pada masa kita kiwari. Raja dan ratu Katolik ini sebenarnya bukan saja dapat membuat keputusan berbeda; sebagaimana kemudian terbukti, mereka juga tidak mudah menghapuskan begitu banyak kebiasaan dan sikap yang telah tertanam begitu dalam di masyarakat, yang telah mengalami perwujudan dalam diri mereka sendiri; mulai dari kecintaan terhadap model-model kamar mandi dan pakaian-pakaian Arab hingga kepercayaan pada dokter-dokter Yahudi.

Inkuisisi Spanyol dilakukan untuk mengobati dan menyembuhkan penyakit yang dipandang lahir akibat tindakan masyarakat selama lima ratus tahun yang menenggang rasa terhadap pelbagai jenis pertentangan. Akan tetapi, ternyata proses pengobatan ini tidak berjalan dengan mudah. Meskipun terdapat anggapan luas bahwa anti-tenggang rasa Spanyol khususnya asli dan tinggi pada bangsa-bangsa Eropa pra-modern, dan bahwa pada 1492 adalah puncak kemenangan dari ribuan tahun politik “Penaklukan Kembali” (Reconquest) dan adicita anti-bangsa Semit yang membinasakan, tapi yang terjadi sebenarnya adalah sebaliknya.

Pelbagai kebiasaan dari tradisi Bangsa Andalusia ini terus dipraktikkan dan berurat berakar pada diri orang-orang Eropa hingga hanya dengan guncangan dahsyat dan luar biasa selama lebih dari satu abad, melalui pembakaran puluhan ribu kepustakaan Andalusia dan melalui hasutan yang amat gencar bagi program pemurnian ras bangsa Kristen yang di kemudian hari menjadi bahan lelucon, barulah orang-orang Spanyol dapat terobati dan dilepaskan dari jeratan “Zaman Pertengahan” mereka.

Baca juga:  Nahdlatul Ulama Sesudah Ini (Bagian Kedua)

Kepingan-kepingan 

Beberapa foto yang didapat dari album keluarga kerajaan menginformasikan kepingan-kepingan kisah dalam esai ini. Baru pada abad ke-16, pada masa pemerintahan Raja Charles V, cucu dari Raja Ferdinand dari Aragon dan Ratu Isabella dari Kastilia, kombinasi mematikan antara estetika Renaisans dan adicita politik nasionalis membawa pada perombakan di beberapa bagian Istana Alhambra, mengikuti rancangan arsitek murid Michelaangelo, untuk membangun istana neo-klasik, yang kini berdiri jelek sekali di pintu masuk utama kompleks istana muslim lama.

Pada dekade-dekade abad ke-16 ini jugalah sebagian ruangan dalam Masjid Raya Kordoba diluluhlantakkan. Masjid ini asalnya telah diubah menjadi rumah ibadah umat Kristen dengan memakai model arsitektur kaum Mudejar (julukan bangsa Kristen untuk umat muslim Spanyol), yang serasi dengan gaya arsitektur khas Umayyah. Renovasi ini tentu dilaksanakan oleh orang-orang Kristen Zaman Pertengahan yang memuja, bahkan menyukai gaya arsitektur Islam. Mereka itu pulalah yang menganggap bahwa bahasa Arab bukan bahasa yang perlu ditakuti atau diremehkan, bahkan pun tatkala umat muslim sedang menjadi lawan politik atau pun saingan agama mereka.

Namun, sebagian orang Kristen pada masa belakangan ternyata merasa risih dengan kelurusan prinsip politik itu dan mereka tidak dapat lagi beribadah dengan dikelilingi bahasa-bahasa dari agama yang mereka tentang. Mereka lalu membangun sebuah ruangan yang suci dan terlindungi untuk mereka sendiri di tengah ruangan gereja lama yang dimuliakan, sebab gedung ini telah berfungsi sebagai Katedral Kristen selama hampir tiga abad. Mereka mengubah seluruh bentuknya dalam sebuah gaya yang tidak serasi dan kaku, dengan bangunan kapel Italia berdiri menjulang dan mengganggu pandangan yang terletak di tengah-tengahnya.

Bahkan, dikatakan bahwa Charles sendiri merasa terkinjat dan kecewa dengan hasilnya. Raja yang nantinya akan memegang kekuasaan pada periode Inkuisisi yang paling menekan, yang antara lain ditandai dengan terjadinya pembakaran besar-besaran buku-buku berbahasa Arab, adalah orang–persis seperti neneknya yang merupakan penganut Kristen taat–yang tidak kebal dengan daya tarik atau keindahan gaya Arab lama. 

Kalakian, sewaktu ditahbiskan sebagai raja oleh Kaisar Suci Roma pada 1519, dalam upacara penyerahan jabatan itu, Charles mengenakan busana kebesaran raja pendahulunya, Frederick II, yang busana model pakaian muslim yang sangat disenangi Frederick; mantel tanpa lengan dengan klim lebar di sekelilingnya yang dihias dengan bordir tulisan bahasa Arab, yang terang isinya merupakan kalimat-kalimat pujian kepada Allah Swt.

Senarai bacaan:

Aberth, John. (2005). The Black Death: The Great Mortality of 1348-1350: A Brief History with Documents, Palgrave Macmillan.

Boccaccio, Giovanni. (2003). The Decameron, Penguin Classics.

Hillenbrand, Carole. (2000). The Crusades: Islamic Perspectives, Routledge.

Joseph P. Byrne (2006). Daily Life during the Black Death, Greenwood.

Kelly, John. (2006). The Great Mortality: An Intimate History of the Black Death, the Most Devastating Plague of All Time, Harper Perennial.

Lord, Evelyn. (2014). The Great Plague: A People’s History, Yale University Press.

Maalouf, Amin. (1983). The Crusades Through Arab Eyes, Saqi Essentials.

Maria Rosa Menocal. (2002). The Ornament of the World: How Muslims, Jews, and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain, Little, Brown and Company.

Paul M. Cobb. (2014). The Race for Paradise: An Islamic History of the Crusades, Oxford University Press.

Susan Wisen Bauer. (2010). The History of the Medieval World: From the Conversion of Constantine to the First Crusade, W. W. Norton & Company.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top