Ketika Perang Dunia I pecah, Emmanuel Lévinas (1906-1995) masih berusia delapan tahun dan saat pecahnya Perang Dunia II, dia berusia 33 tahun. Oleh karenanya, Lévinas besar dan tumbuh di masa-masa ketika mass society sedang terbentuk di Eropa. Selain itu, dua sistem totalitarian, komunisme dan fasisme, mulai bermekaran ke permukaan.
Pribadi yang tinggal di tengah-tengah sebuah mass society (suatu masyarakat yang terbuka terhadap pengaruh nasional maupun global) ini, dicirikan dengan anonimitas, tanpa ikatan sosial, keacuhan pada orang lain, dan sebagai akibat dari hilangnya identitas budayanya, kerapuhan dan kerawanan terhadap kejahatan, berikut akibat-akibat tragisnya; simbol paling tidak manusiawi dari fenomena ini adalah peristiwa Holocaust.
Dengan filsafatnya, Lévinas melawan sikap acuh terhadap orang lain, sikap yang melahirkan suatu atmosfer yang akan dapat mengantar terutama pada Auschwitz. Sepertinya, Lévinas seakan-akan berkata ‘berhenti!’ pada orang yang sedang terburu-buru di tengah keramaian. Di samping Anda ada orang lain. Jumpailah dia. Perjumpaan semacam ini merupakan peristiwa terhebat dan terpenting dalam hidup Anda. Tataplah wajah orang lain itu saat dia di hadapanmu. Melalui wajah ini, dia memperlihatkan diri Anda yang sebenarnya: Lebih dari itu, dia membawa Anda lebih dekat pada Tuhan.
Lévinas melangkah jauh lagi. Menurutnya, Anda tidak cukup hanya sekadar menjumpai, menerima, dan berbicara dengan orang lain, namun juga harus bertanggung jawab terhadapnya. Di sini kita dapati bahwa filsafat Lévinas membedakan individu dan mengkhususkannya.
Dia menyatakan bahwa di luar diriku, ada orang lain, tetapi–jika aku tidak berusaha berusaha menyadarinya atau menunjukkan hasrat untuk bertemu–kita hanya akan berpapasan satu sama lain dengan rasa acuh, dingin, tanpa perasaan, hambar, dan tanpa hati. Padahal, ujar Lévinas, orang lain memiliki wajah, dan wajah ini adalah kitab suci yang di dalamnya segala kebaikan terekam.
Oleh karena itu, membangun suatu relasi etis dengan sesama adalah tanggung jawab diriku. Aku telah terikat pada dirinya sebelum segala sesuatu dibuat, inilah yang dinamakan tanggung jawab primodial yang memiliki semangat persahabatan. Persahabatan selalu mengarah dan menuju pada orang lain dan tidak pernah untuk diri sendiri. Persahabatan yang dimaksud adalah ketidakmungkinan diriku meninggalkan sahabat berada di ambang maut. Yang menjadi kekuatan untuk memungkinkan hal ini adalah adanya semangat persaudaraan yang ada dalam kehadiran atau biasa kita sebut sebagai respons.
Tanggung jawab yang menjadi ikatan mengacu kepada realitas bahwa sejak semula tanggung jawab sudah ada sebelum suatu komitmen dibuat untuk dan demi tanggung jawab. Jelasnya, tanggung jawab itu sudah ada sebelum ada suatu pertimbangan terhadap tanggung jawab itu sendiri. Maka akibatnya aku benar-benar ditawan oleh tanggung jawab terhadap orang lain, dan aku tidak bisa menolaknya.
Bagi Lévinas tanggung jawab itu dimulai ketika wajah orang lain menatap wajahku. Dengan demikian karakter tanggung jawab tersebut adalah asimetris, yaitu akulah pelaksana tanggung jawab itu dan aku tidak bisa tidak bertanggung jawab terhadap orang lain, tetapi aku tidak bisa menuntut tanggung jawabmu terhadap aku. Tanggung jawab asimetris adalah aku tidak peduli apakah dia juga bertanggung jawab terhadap aku. Yang paling penting, aku bertanggung jawab terhadap segala sesuatunya tanpa peduli atau memikirkan balasannya terhadapku. Maka dalam pengertian yang demikian, tanggung jawab terhadap hidup orang lain bisa disebut sebagai cinta yang tulus terhadap alteritas.
Oleh karena rasa tanggung jawab itu aku menjadi tersubsitusi, dimana aku mengambil tempat orang lain dan sepenuhnya bertanggung jawab atasnya. Aku menggantikan untuknya, tetapi tak seorang pun dapat menggantikan tempatku.
Meletakkan diri pada tempat orang lain itu berarti menjawab segala sesuatu yang dibuat oleh orang lain sekaligus bertanggung jawab atas persoalan-persoalan dan kesalahan-kesalahan yang dibuatnya. Berkat substitusi terjadi perubahan arti ego. Ego bukan lagi ego yang bersifat egoistis, melainkan ego yang adalah aku menjawab kehadiran diri untuk semua orang dan segala sesuatunya.
Di sini, perhatian kita adalah pada tesis Lévinas berkenaan dengan makna dasar perbedaan–bahwa kita menerima orang lain, sekalipun dia berbeda–dan bahwa perbedaan ini, adalah suatu hal yang baik, kaya, dan bernilai. Akan tetapi, di saat yang sama, perbedaan ini tidak menghapuskan pengidentifikasianku dengan orang lain, “Aku adalah seorang yang lain.” Orang lain adalah sosok pribadi yang sama dengan kita, seorang anggota keluarga yang satu.
Untuk mengenal diri sendiri, kita harus mengenal orang lain yang menjadi cermin bagi diri kita sendiri; kita sadar bahwa untuk lebih memafhumi diri sendiri, kita harus memahami orang lain, membandingkan dan mengukur diri kita dengan mereka.
Filsuf Emmanuel Lévinas nyatanya mengajak kita melangkah lebih jauh lagi, memproklamasikan penghargaan dan keunggulan orang lain, serta tugas kita untuk mengemban tanggung jawab atasnya. Levinas bahkan terus menapak lebih jauh lagi dengan menyatakan bahwa orang lain itu adalah majikan kita. Dia lebih dekat pada Tuhan tinimbang kita dan bahwa hubungan dengan orang lain itu harus menjadi gerak menuju Tuhan.
Oleh sebab itu, kita berurusan dengan filsafat yang mengemukakan postulat dan dedikasi serta heroisme yang mendalam dan kuat, yang hanya bisa direalisasikan di suatu tempat di luar cakrawala pengalaman sehari-hari kebanyakan orang. Sebuah filsafat dengan perintah utamanya, ‘Jangan membunuh!’
Tentu saja, pasti ada banyak kesulitan lain, tanda tanya, dan bahkan misteri di jalan yang mengantar kita pada perjumpaan dengan orang lain. Bagaimanapun, perjumpaan dan keberadaan bersama di planet kita yang mengglobal ini tidaklah terhindarkan, karena kita hidup di dunia multikultural. Alih-alih, perihal ini dikarenakan sekarang ada lebih banyak kebudayaan ketimbang sebelumnya–kenyataannya, jumlah kebudayaan itu semakin berkurang.
Lévinas menghujam relung kesadaran kita bahwa kini sangat diperlukan upaya keterbukaan yang komunikatif dan melanjutkannya, bukan sekadar sebagai kewajiban etis belaka, tetapi juga sebagai tugas mendesak kita yang tinggal di jagat, tempat segala sesuatunya begitu rapuh dan tempat banyak sikap-sikap yang menyulut emosi dan prasangka, hasutan, disorientasi, fanatisme, dan niat buruk.
Kebudayaan, tak terkecuali manusia itu sendiri, terbentuk melalui kontak dengan orang lain (yang karena itulah kenapa segala sesuatu begitu sangat bergantung pada kualitas kontak ini). Individual dibentuk dalam proses, dalam hubungan, dalam koneksi dengan orang lain.
Tempat terjadinya budaya yang sesungguhnya adalah dari interaksi-interaksi personal. orang lain, sekali lagi, adalah cermin bagi kita untuk melihat diri kita sendiri dan memberi tahu siapa kita sebenarnya.
Arkian, Albercht von Haller, seorang musafir, ilmuan dan filsuf besar Swiss, menulis pada pertengahan abad XVIII, “Untuk bisa memakzulkan prasangka, tiada yang lebih baik dari melakukan perkenalan dengan banyak orang dari pelbagai latar belakang adat, hukum dan pemikiran–sebuah keberlainan yang karena kecilnya usaha yang kita lakukan, telah membuat kita belajar untuk membuang jauh-jauh apa yang membuat orang berbeda, dan menganggap segala hal yang orang setuju tentangnya sebagai suara alam: karena hukum pertama alam pada hakikatnya sama untuk semua orang… Tidak menyakiti orang, tetapi memberikan setiap orang haknya”. Respondeo ergo sum. Saya ada karena saya bertanggung jawab atas orang lain.