Gerakan muslim tradisional di kalangan santri Jawa sejak permulaan sangat dipengaruhi oleh semangat kebangkitan dan patriotisme. Organisasi pertama yang didirikan pada 1914 di Surabaya, Jawa Timur, adalah Nahdlatul Wathan yang berarti Kebangkitan Tanah Air. Pembentukannya diprakarsai oleh seorang ulama muda yang energetik, K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dia lahir di Jombang dari keluarga ulama. Ayahnya, K.H. Hasbullah, adalah seorang ulama yang mengasuh Pesantren Tambak Beras yang didirikan oleh kakek K.H. Wahab Hasbullah, Kiai Sihah.
Latar belakang pendidikan Kiai Wahab Hasbullah murni pesantren. Dia belajar dan nyantri dari satu pesantren ke pesantren lain, termasuk pesantren yang masyhur, Pesantren Bangkalan, Madura, yang diasuh oleh seorang ulama senior, terkenal, dan karismatik, K.H. Muhammad Khalil (1820-1925). Pasca tiga tahun nyantri di Pesantren Bangkalan, Kiai Khalil menyuruhnya kembali ke Jombang dan belajar di Pesantren Tebuireng yang diasuh oleh saudara sepupunya sendiri, Kiai Hasyim Asy’ari (1860-1945). Pesantren Tebuireng mempunyai program khusus untuk santri senior yang disebut “kelas musyawarah”. Kelas ini diasuh oleh Kiai Hasyim Asy’ari dan secara teratur menyelenggarakan seminar perihal pelbagai masalah sosial keagamaan. Dalam kelas ini, Kiai Wahab Hasbullah menunjukkan bakat dan kecenderungannya sebagai ulama yang pendekatannya tidak ketat dari sifat tekstual dan legalistik, tetapi lebih bersifat pragmatik dan kontekstual.
Setelah nyantri selama empat tahun di Pesantren Tebuireng, Kiai Hasyim Asy’ari menganjurkannya pergi ke Makkah untuk melanjutkan pelajarannya. Titimangsa 1908, Kiai Wahab Hasbullah pergi ke Makkah dan belajar di sana selama lima tahun. Guru-gurunya antara lain: Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau. Pada tahun terakhir dia tinggal di Makkah, Kiai Wahab Hasbullah, dengan dukungan rekan-rekannya, memprakarsai pembentukan Sarekat Islam Cabang Makkah. Kala itu terdapat sejumlah pemuda Indonesia yang belajar di Makkah, seperti Ajengan Abdul Halim, Ajengan Ahmad Sanusi, dan Kiai Mas Mansur. Tahun 1913, dia kembali ke tanah air dan menetap di Surabaya. Setahun kemudian, bersama Kiai Mas Mansur, dia membentuk Nahdlatul Wathan yang menandai awal kebangkitan umat muslim santri tradisional.
Tanpa mendesak perubahan metode pendidikan di pesantren yang sebagian besar menggunakan metode halaqah, Kiai Wahab Hasbullah melalui Nahdlatul Wathan mendirikan madrasah yang memakai sistem sekolah. Lebih jauh, berbeda dengan pesantren yang sepenuhnya di bawah kontrol seorang kiai sebagai satu-satunya tokoh utama, madrasah Nahdlatul Wathan diatur oleh tim, Kiai Wahab Hasbullah selaku pengawas para guru dan Kiai Mas Mansur sebagai direktur madrasah.
Perhatian utama Nahdlatul Wathan adalah pendidikan umat muslim. Dalam lima tahun, organisasi ini menunjukkan kemajuan yang berarti, dengan membentuk cabang di sejumlah kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang semuanya mengelola madrasahnya masing-masing. Namun, Kiai Wahab Hasbullah masih tidak jelak. Pada 1918, dia mendirikan organisasi lain yang lebih mengarahkan kegiatannya pada pengembangan pemikiran umat muslim, yang dia beri nama Tasywirul Afkar (Pembentukan Pemikiran). Organisasi ini menyelenggarakan diskusi berkala yang dihadiri oleh ulama muda. Melalui organisasi ini, dia menyebarkan kesadaran baru di kalangan ulama muda santri tradisional untuk menyongsong kedatangan zaman anyar.
Karena terpukau pada gagasan-gagasan Kiai Ahmad Dahlan yang mengunjungi Kota Surabaya beberapa kali untuk menyebarkan paham salafi dan memperkenalkan organisasinya Muhammadiyah, Kiai Mas Mansur bergabung dengan organisasi itu, lantas meninggalkan Nahdlatul Watan dan Tasywirul Afkar. Peristiwa perpisahan ini tidak menyebabkan hubungan mereka terputus. Sebagai orang yang mahardika bergaul, Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Mas Mansur kemudian ikut dalam Indonesche Study Club (Kelompok Studi Indonesia) yang dipimpin seorang tokoh nasionalis, Dr. Sutomo. Melalui kelompok studi ini, Kiai Wahab Hasbullah memasuki arena yang lebih luas, di mana para aktivis yang berasal dari berbagai latar belakang bertemu dan menceritakan pelbagai masalah.
Kiai Wahab Hasbullah tidak menghentikan kerja samanya dengan Kiai Mas Mansur. Bersama-sama mereka membentuk organisasi pemuda yang mereka harapkan bisa menjadi wadah bersama para pemuda muslim. Sayang sekali karena pertengkaran pendapat yang sengit akibat kehadiran gerakan Kaum Muda dan Muhammadiyah, usaha Kiai Wahab Hasbullah tidak berhasil. Akhirnya, para pemuda pendukung Kiai Wahab Hasbullah sepakat mewujudkan cita-cita mereka dan mendirikan organisasi Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).
Di samping itu, cita-cita Kiai Wahab tidak hanya terbatas pada penyelenggaraan pendidikan dan diskusi, tetapi juga membentuk organisasi para pengusaha muslim sebagai kawah candradimuka kerja sama yang dia namakan Nadhlatut Tujjar (Kebangkitan Para Saudagar). Kehadiran Nahdlatul Wathan, Tasywirul Afkar, dan Nahdlatut Tujjar mendedahkan tidak hanya semangat kebangkitan di kalangan muslim tradisionalis, tetapi juga walau tidak dimaksudkan pada awalnya merupakan jalan ke arah kehadiran sebuah organisasi lebih besar yang melibatkan kebanyakan kiai tradisionalis, Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama).
Sebagaimana halnya organisasi-organisasi muslim tradisional lain, Nahdlatul Ulama (NU) didirikan oleh para ulama untuk mempertahankan tradisionalisme mazhabiyah sebagai sarana melestarikan kepercayaan dan praktik-praktik keagamaan yang mereka yakini telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw dan dipraktikkan oleh para Sahabat beliau serta as-Salafus Salihun, para ulama terdahulu. Kepercayaan dan praktik-praktik yang diakui sebagai ajaran Ahlus-Sunnah wal-Jamaah secara populer diringkas oleh kalangan nahdliyin, para warga NU, sebagai Aswaja. Ajaran ini dipelajari dan diajarkan dari generasi ke generasi Sahabat Nabi sampai kiwari melalui mata rantai ulama yang terlembagakan dalam tradisionalisme mazhabiyah.
Kehidupan umat muslim tradisionalis dan latar belakang budaya NU tidak bisa dipisahkan dari budaya Jawa yang sampai batas tertentu sangat bersifat sinkretis. Hal ihwal ini menyebabkan citra NU sebagai organisasi santri diwarnai oleh budaya lokal. Proses kelahiran NU sedikit banyak dipengaruhi oleh pertentangan dan ketegangan antara gerakan salafi dan ulama tradisional. Ideologi ortodoksi ketat yang disebarkan gerakan salafi merupakan tantangan bagi ulama tradisional untuk menjawabnya dengan cara yang sama. Ideologi semacam itu telah menciptakan sikap yang agak tidak toleran, tidak hanya terhadap tradisi lokal dan warisan budaya, tetapi juga terhadap keberagamaan umat muslim tradisional yang mereka anggap telah dicemari oleh pelbagai unsur, kepercayaan praktik-praktik agama sebelumnya dan kepercayaan penduduk asli.
Pandangan ini, yang diikuti oleh serangan terhadap praktik-praktik keagamaan yang dilakukan kaum santri tradisionalis, mengakibatkan pertentangan dan perpecahan di kalangan umat muslim Indonesia. Usaha para pemimpin politik umat muslim Indonesia untuk mempersatukan umat melalui Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) tidak berhasil menjembatani jurang di antara dua kelompok. Keberhasilan kaum Wahabi menguasai tanah suci, Makkah dan Madinah, mendorong para kiai yang sangat mengkhawatirkan ancaman terhadap tradisionalisme mazhabiyah untuk mempercepat pembentukan organisasi ulama tradisional yang mereka namakan Nahdlatul Ulama.
NU bukan hanya sekadar sebuah jam’iyyaah atau organisasi, tetapi juga sebuah jama’ah atau komunitas. Ini berarti, di belakang NU sebagai organisasi terdapat sebuah komunitas yang secara kukuh mendukung keberadaan organisasi NU. Kondisi sosial budaya yang tidak dipunyai kebanyakan organisasi lain menempatkan NU mewakili sayap tradisionalis umat muslim santri di Indonesia. Sebagai organisasi, NU sebagaimana ditunjukkan oleh namanya—adalah organisasi ulama yang didukung oleh komunitas mereka sendiri, dan sebagian besar muslim santri tradisionalis pada umumnya. Kedudukan penting ulama secara struktural dilembagakan dalam bentuk Majelis Syuriah sebagai lembaga tertinggi organisasi NU yang anggota-anggotanya adalah ulama terkemuka di Indonesia. Majelis Syuriah dipimpin oleh ketua dan wakil ketua yang disebut rais ‘am dan naib rais ‘am, yang mengarahkan dan mengawasi NU dalam melaksanakan kegiatannya agar tidak menyimpang dari ketentuan agama. Di bawah Majelis Syuriah terdapat Lajnah Tanfidziyah, sebuah lembaga eksekutif yang dipimpin ketua umum untuk melakukan kegiatan sehari-hari, melaksanakan program organisasi. Masih ada lembaga lain yang mewadahi ulama-ulama senior yang disebut Mustasyar sebagai badan penasihat. Struktur semacam ini dilembagakan sampai ke tingkat akar rumput.
Secara sosial budaya, keberadaan NU didukung oleh komunitas santri tradisionalis. Sebelum jam’iyyah NU didirikan, telah ada jama’ah santri tradisionalis yang mengikuti paham aswaja, ideologi keagamaan yang secara resmi dianut oleh organisasi NU dan secara kultural mengikuti pola kehidupan santri yang menganggap ulama sebagai teladan hidup mereka. Sebagai komunitas umat muslim, santri tradisionalis terdiri dari tiga unsur yang saling berkelindan, paham aswaja sebagai ideologi keagamaan, pesantren sebagai lembaga sosial budaya, dan ulama sebagai pemimpin agama. Ketiga unsur itu membentuk sebuah jama’ah yang kukuh sebagai basis organisasi NU. Kedua-duanya; jam’iyyah dan jama’ah, menciptakan komunitas nahdliyyin yang secara kelembagaan diperkuat oleh keberadaan pesantren yang memainkan peranan penting dalam komunitas santri. Dari pesantrenlah sebagian besar tokoh agama berasal untuk memimpin NU, baik sebagai jam’iyyah maupun sebagai jama’ah.
Kalakian, di antara gerakan tradisionalis yang berusaha melakukan pembaruan tanpa mengancaikan tradisi, saya kira NU-lah yang berhasil melakukannya. Berbeda dengan kalangan tradisionalis liyan yang tetap mempertahankan mazhab Syafi’i dan praktik-praktik keagamaan yang menandai identitas umat muslim tradisionalis, tetapi berubah sepenuhnya menjadi lembaga modern dengan meninggalkan lembaga-lembaga pendidikan tradisional, para kiai NU berhasil mengembangkan pesantren mereka sebagai lembaga tradisional dalam proses modernisasi. Keberhasilan NU terutama terlihat dalam kelangsungan kaderisasi ulama. Pendidikan modern yang diterima para santri telah melahirkan keragaman kiai muda yang memiliki ikatan emosional dengan lingkungan tradisi dari mana mereka berasal dan sikap rasional menghadapi tuntutan objektif dari kehidupan kiwari nan ingar-bingar, di mana mereka berpijak.