Sedang Membaca
Sisi Lain Sejarah Berdirinya NU dan Muhammadiyah

Penulis adalah redaktur pelaksana Alif.id. Bisa disapa melalui akun twitter @autad.

Sisi Lain Sejarah Berdirinya NU dan Muhammadiyah

Logo Muhammadiyah Nu 1

Saya tidak bisa membayangkan, akan jadi apa negara sebesar Indonesia ini jika tidak ada dua ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Saya tidak bisa membayangkan pula, akan seperti apa Islam Indonesia hari ini jika tidak ada peran dari kedua ormas tersebut.

Seperti Suriah, Irak, Afghanistan, Yaman, atau Iran, kah? bisa jadi. Namun bayangan saya tidak ingin semakin liar. Karena saya lebih tertarik dengan asal usul dari berdirinya kedua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut.

Pertanyaannya, mengapa Nahdlatul Ulama selalu diidentikkan sebagai ormas yang tidak jauh-jauh dari kuburan? Sementara Muhammadiyah selalu dipandang sebagai ormas yang tidak jauh-jauh dari rumah sakit dan panti asuhan?

Dalam hal ini, asumsi saya—tentu bisa berbeda dengan anda— karena NU dan Muhammadiyah tidak jauh-jauh dari semangat atau niat para pendirinya. Ayo, kita buktikan dan kita telisik bersama.

Nahdlatul Ulama, bila kita melihat sejarah dari lahirnya organisasi ini adalah ketika adanya Komite Hijaz, yakni ada utusan dari Indonesia (yang di antaranya KH. Raden Asnawi Kudus) untuk terbang menuju Makkah, melakukan negoisasi dengan Raja Saud untuk menolak rencana aksi dari kelompok Wahabi yang hendak menghancurkan situs sejarah Islam maupun pra islam, yang di antaranya keinginan membongkar makam Rasulullah SAW. Bagi Wahabi, tempat-tempat seperti makam atau kuburan sangat rentan dijadikan tempat untuk meminta-minta dan memuja-muja kepada mereka yang sudah meninggal, sehingga dikhawatirkan terjadi ritual syirik.

Baca juga:  Meneladani Ulama-ulama Pati

Dari peristiwa ini, sangat wajar apabila NU selalu identik dengan ritual semacam peringatan haul, istighosah, manaqiban, tahlilan, yasinan, mitong dino, nyewu, dan lain-lain—karena sejarahnya seperti itu. Komite Hijaz sama dengan ngurusi kuburan.

Beda lagi dengan Muhammadiyah. Yang mana pada waktu itu—KH. Ahmad Dahlan (sang pendiri) dihadapkan pada kondisi sosiologis masyarakat sekitar—banyak yang menghardik anak yatim dan membiarkan orang miskin. Lalu, dalam setiap pengajiannya beliau sering mengulang-ulang ayat terakhir dari Surah al-Ma’un (QS. 107 1-3), tentang memuliakan anak yatim dan keberpihakan kepada fakir-miskin.

Suatu ketika ada muridnya yang bertanya: “Mbah Dahlan, mengapa Surah al-Ma’un ayat 1-3 selalu diulang-ulang terus? Padahal kan kemarin sudah diajarkan dan sudah khatam nglotok. Lalu beliau menjawab; “apakah kamu sudah menyantuni anak-anak yatim dengan baik? apakah kamu sudah memberikan makan dan ikut ngopeni orang miskin?” Belum, kan?”. Kurang lebih seperti itu dialog imajiner penulis.

Maka sangat wajar apabila organisasi Muhammadiyah ini lebih “mentereng” dan tidak jauh-jauh dengan rumah sakit dan panti asuhan yatim-piatu.

Kedua organisasi besar itu merupakan warisan agung dari dua sosok yang alim dan tawadlu’. Keduanya sama-sama menuntut ilmu dari Makkah al-Mukarromah. Keduanya sama-sama memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni. Beliau tak lain adalah KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan. Lahuma al-faatihah.

Terima kasihku kepada Allah Swt yang sudah menganugerahi kami dua tokoh besar dan dua ormas besar di dalam rahim yang terdiri dari beragam kelompok, suku, dan agama.

Baca juga:  NU dan Perdebatan Seni Islam

Namun, karena saya dari bayi mecetet, dilahirkan dari sosok pengurus ranting NU, aktivis tahlilan dan istighosahan, saya sangat bangga kalau saya pribadi menjadi orang NU, karena sistem keanggotanya yang “abadi”. Mulai dari sebelum lahir saja sudah didoakan dengan mapati dan mitoni (usia bayi yang sudah menginjak 4 dan 7 bulan dalam kandungan), ketika meninggal pun demikian, masih dido’akan, ditahlili, dikirimi bacaan al-Qur’an, belum lagi setiap tahun dirayakan dengan peringatan haul, dan lain-lain.

Setelah saya amati, banyak juga orang Muhammadiyah saat ini yang sudah bergeser haluan, mereka juga ikut-ikutan dengan tradisi-tradisi yang dilestarikan oleh orang-orang NU. Seperti tahlilan, yasinan, dan ziarah kubur. Mereka sekarang sudah agak asing dengan istilah takhayul, bid’ah dan khurofat (yang dulu terkenal dengan praktik TBC). Mengapa demikian? setelah saya telusuri, yang menyatukan mereka adalah besek dan ingkung ayam.

Tanpa disadari semangat besek dan berkat ingkung ayam adalah visi surah al-Ma’un. Berbagi kepada sesama. Ternyata NU dan Muhammadiyah itu sama, tidak ada bedanya soal pembagian berkat. Yang beda hanyalah niat awal para pendiri dan besaran isi amplop pengurusnya. Wallahhu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
4
Ingin Tahu
2
Senang
5
Terhibur
2
Terinspirasi
4
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top