Salim, Sang Arsitek
Menurut sejarawan Michael Francis Laffan, dalam karyanya The Makings of Indonesian Islam: Orientalism and the Narration of a Sufi Past (2011), Jong Islamieten Bond utamanya adalah proyek Salim. Saat pertengahan tahun dua puluhan, lawan terpentingnya adalah nasionalisme sekuler. Tak dinyana, bahwa Salimlah yang mendorong Raden Sam untuk mendirikan sebuah perhimpunan pemuda Islam, sebuah lawan Jong Java yang sekuler.
Salim juga yang di tahun-tahun itu selalu berbenturan dengan kaum nasionalis sekuler yang lebih tua seperti Soetomo dan Singgih. Dengan enggan Salim melihat bahwa kaum cendekiawan muda lebih berminat kepada dansa, bioskop, dan sepak bola, bukan kepada pembinaan keagamaan. JIB harus menjadi pengimbangnya. Dus, perserikatan itu menjadi pos terdepan Sarekat Islam di tengah para pelajar. Kaum kamitua Muslim khawatir akan kehilangan kontak dengan angkatan cendekiawan muda.
JIB menawarkan alternatif pengganti nasionalisme sekuler. Hanya lewat Islamlaah, kontak yang hilang antara kaum cendekiawan dan rakyat dapat dipulihkan. Jawanisme Jong Java dalam hal ihwal ini dianggap tidak cocok. Menurut Kasman yang dari 1930 sampai 1933 menjadi ketua JIB, rakyat tidak “Hidup di dalam sejarah keemasan zaman lama, melainkan di dalam nasib malang zaman sekarang” (Noer, 1980: 269). Pelbagai ideologi seperti sosialisme dan komunisme itu terlalu jauh melenceng dari “pengetahuan sekolah”. Islam merupakan titik singgung yang logis antara massa dan kaum cendekiawan.
Dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, sejarawan Deliar Noer mendedahkan, bahwa kala didirikannya Jong Islamieten Bond (atau Persatuan Pemuda Islam) terutama menghadapi sikap permusuhan. Dari kalangan Eropa hanya terdengar suara-suara negatif, sepenuhnya segaris dengan prasangka yang biasa menandai sikap Barat terhadap Timur. Seperti dinyatakan oleh Salim berkenaan dengan kritik terhadap “perhimpunan pemuda”-nya:
[blockquote align=”none” author=”Van Miert, 2003: 482-3″]Islam bagi banyak orang Barat […] tetap selalu merupakan masalah yang berbahaya, menyulitkan, dan mengganggu, sehingga dipandang dengan curiga dan tidak dapat didekati tanpa prasangka. Bahkan Prof. Snouck Hurgronje yang di kalangan non-Islam Barat merupakan pakar Islam par excellence, dan bisa bercerita banyak tentang kebaikan Islam, mendukung politik yang secara sadar ditujukan untuk menyelewengkan perhatian kaum muda dari agama yang merupakan agamanya sendiri, terutama kaum muda yang memperoleh pendidikan Barat.[/blockquote]Pelbagai reaksi negatif orang Eropa itu dapat dicari akarnya pada naluri-naluri anti-Islam yang hidup di kalangan masyarakat Barat dalam masyarakat Hindia. Untuk orang-orang Eropa itu, Islam tetap merupakan agama yang tidak dikenal dan tak disukai, yang para pemeluknya gampang tergelincir dalam agitasi yang fanatik dan anti-Kristen. Di dalam lubuk hati banyak orang Eropa, bersemayam rasa takut terhadap suatu pemberontakan berdarah (jihad) atas nama Islam.
Namun, banyak juga organisasi bumiputra yang nampak tidak senang dengan didirikannya perhimpunan pemuda yang baru itu. JIB harus membela diri menghadapi argumentasi keindonesiaan. Perhimpunan baru berarti perpecahan, padahal orang-orang sedang mengusahakan persatuan. Tentu saja perhimpunan itu terutama disesalkan oleh para anggota Jong Java. Mereka melihat bahwa sebagian dari anggotanya tersedot masuk JIB.
Anggota Jong Islamieten Bond menolak tuduhan itu. Mereka pun memperjuangkan persatuan nasional walau dengan dasar Islam, karena itu orientasinya Indonesia. Mereka tidak mengidentifikasikan diri sebagai pesaing perhimpunan-perhimpunan pemuda lain, dan mereka pun memperjuangkan “hubungan persahabatan, bahkan persaudaraan, dan juga kerja sama sebanyak mungkin” (Van Miert, 2003: 483).
Perilhal ini ialah pengakuan yang indah, tetapi dalam memperjuangkan persatuan itu JIB tidak memainkan peranan yang konstruktif di tengah gerakan pemuda. Apa yang terjadi dengan organisasi-organisasi politik, itulah juga yang terjadi dengan klub-klub pelajar: ideologi keagamaan dan ideologi sekuler ternyata tidak dapat dipersatukan satu sama lain.
Proses perkembangan gerakan pemuda di tahun dua puluhan bukanlah proses yang lancar dan teratur menuju persatuan. Di sekolah-sekolah lanjutan, para pelajar dari berbagai suku bangsa saling mengenal dan sampai pada taraf tertentu saling menghargai, dan mereka pun melihat pelbagai keuntungannya untuk bekerja sama, tetapi tidak berarti, bahwa mereka dapat berjalan bersama tanpa reserve apa pun di jalan menuju “Indonesia merdeka” di masa depan.
Adu kekuatan, salah pengertian dan prasangka, perasaan lebih tinggi dalam budaya dan kepentingan-kepentingan etnik–semua itu menjadi perintang bagi kerja sama yang luwes. Proses persatuan itu berjalan tersendat-sendat.
Meskipun demikian, kaum muda yang pecah itu, yang terserak itu, yang centang perenang itu bicara ini dan itu, akhirnya mampu berdiri bersama juga, dalam satu ikrar bernama: Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928.