Sedang Membaca
Ziarah ke Makam Sultan Babullah, Ternate
M Faizi
Penulis Kolom

Penyair, tinggal di Pesantren Annuqoyah, Sumenep

Ziarah ke Makam Sultan Babullah, Ternate

Sehabis melumat ikan Dolosi masak pedas di rumah bibi Khair di belakang pelabuhan Bastiong, kami melanjutkan perjalanan menuju Foramadiahi dengan Yamaha RX King. Tak ada bekal pengetahuan sedikit pun tentang tempat itu.

Setibanya di sebuah tikungan, kami menjumpai pertigaan dan tanjakan. Jalan ditutup. Beberapa pelepah kelapa dilintangkan, tumpukan batu, semak-semak. Saya meloncat dari sadel.

“Ada apa ini? Jalan ditutup?”

“Entah. Biar saya tanya dulu.”

Khair menghampiri seorang lelaki yang berdiri tak jauh dari tempat kami memarkir sepeda motor.

“Galako ngoko ne ana fatih?” (mengapa jalan ini ditutup?)

“Karna sema perbaikan ngoko daku.” (Mungkin ada perbaikan jalan di sana, di atas).

“Dokasa harus ngori note untuk tagi ke Foramadiyahi?” (Kami mesti lewat mana kalau mau ke Foramadiahi?”)

Pertanyaan Khair kepada lelaki itu membuat saya segera membuat asumsi bahwa dia jarang sekali ke Foramadiahi, atau jalan alternatif tersebut memang jarang dilewati.

“Ngana mote STIKP, ciko gubadi mote ngoko fese isa.” (Kamu kembalilah ke STKP, belok kiri di sana, ikuti jalan.)

“Sukur dofu.” (Ya, terima kasih.)

Rupanya, hari itu, STIKP sedang melangsungkan acara wisuda. Kami terjebak macet justru saat melewati jalan pintas, di belakang kampus. Setelah kira-kira hampir 20 menitan, kini kami benar-benar lolos dari jebakan macet itu dan menghadapi sebuah tanjakan dengan kerakal berlepasan. Jalan ini sangat sepi, seperti sebuah jalan yang hanya dilewati beberapa sepeda motor saja dalam sehari.

Di depan, saya melihat; sebuah Yamaha Mio didorong karena tak bisa menanjak. Maklumlah, jalan aspal nyaris tiada beda dengan jalan tanah. Bahkan, RX-King ini pun harus saya bantu dorong pula untuk melewati tanjakan itu.

Begitu belok kanan, tanjakan lebih terjal langsung menghadang. Baru dua menit dibonceng, harus 5 menit berjalan kaki. Gas lagi, dorong lagi. Saya ngos-ngosan. Berhenti. Jalan lagi. Punggung basah oleh keringat. Rasa ciut kembali melintas. “Apa sebaiknya saya kembali?” Batin saya pada diri sendiri.

Baca juga:  Menengok Miqyas al-Nil, Mukjizat Arsitektur Islam di Kairo

“Masih jauh?” Saya bertanya dengan napas tersengal.

“Sebentar lagi.”

“Khair, aneh kalau RX King ini tidak berdaya.”

“Iya. Kampas koplingnya kena.”

“Aduh!”

Melawati sebuah sekolah dasar, motor belok kanan, menyusuri jalan semen, menanjak. Kampas kopling tak bisa melawan tanjakan. Loncat. Saya turun dari sadel.  Apa daya, kami harus berhenti dan menitipkan sepeda motor di sebuah rumah.

“Saya sudah tak sanggup. Kita beli air minum lebih dulu.”

Khair tersenyum. Ia berusaha merahasiakan napas kembang-kempisnya.

“Ini sih bukan mendaki, tapi memanjat,” keluh saya melihat jalan yang begitu terjal. Tapi, sudah tak mungkin, tak tak mungkin lagi saya urungkan niat untuk kembali ke penginapan karena tempat tujuan itu pasti tak jauh lagi.

Setelah membeli air mineral, kami mendaki. Air sebotol buat berdua, ludes dalam sekali teguk. Saya berjalan telanjang kaki. Sandal saya jinjing. Kami terus “memanjat” hingga tiba di sebuah tanah datar: sebuah pintu masuk, jalan semen, dengan pohon cengkeh di kanan-kirinya. Tampak beberapa orang sedang bahu-membahu menggergaji pohon. Udara mulai terasa sejuk. Dari ketinggian itu saya bisa melihat Tidore dan pulau-pulau kerabatnya; Mare, Moti, dan Makian. Jelas keindahan ini tidak bisa dijelaskan oleh lensa optik karena terlalu jauh, namun menggetarkan perasaan hanya dalam sekilas pandang.

Saat kami berjalan, seseorang membuntuti. Saya tidak menaruh curiga apa pun padanya. Gerak-geriknya seperti seorang pencari kayu yang tidak mengamati apa pun selain reranting kering yang jatuh di tanah.

“Hai, ke mana?” tanya Khair pada lelaki itu.

“Jalan-jalan,” jawabnya ketus. “Kamu hendak ke mana?”

Baca juga:  Menelisik Makam di Balik Kuburan Wali (2)

Khair memperkenalkan saya sebagai tamu, sebagai undangan dalam acara Temu Sastrawan Indonesia ke-IV.

“Ini temanku dari Madura. Aku orang sini.”

“Faizi.” Saya mengulurkan tangan.

“Kholil,” sambutnya menjabat tangan saya.

Satu orang bertambah. Kini kami bertiga. Terus terang, kalau harus berjalan seorang diri menuju makam, di tengah siang bolong pun, saya tidak berani. Pantas saja, dari kemarin-kemarin Khair bilang kalau pergi ke Foramadiahi itu sebaiknya tidak di waktu sore. Malam hari lebih-lebih tidak disarankan. Ini rupanya alasan dia. Saya mengerti sekarang.

Setelah naik dan turun, melewati jalan yang hanya sedepa ke bibir jurang, naik lagi, turun lagi, naik lagi, sampailah kami di areal makam. Kira-kira sepuluh meter sebelum pintu gerbang, saya menjatuhkan sandal dari tangan. Saya masuk ke areal makam dengan bertelanjang kaki.

Pusara Sultan Babullah seperti sebuah rumah, sendirian, di tengah hutan pohon pala. Sepi. Sebuah pohon besar tumbuh dengan akar-akar berlumut. Cabang-cabangnya terbuka.

Sepintas, pohon ini tampak sebagai seorang lelaki dengan lengan berotot kekar membuka sedekap, menjaga pusara, menyambut setiap tamu yang datang. Masyarakat menyebut pohon itu pohon “dara”.

Konon, jika lapisan luarnya digores dengan benda tajam, akan keluar getah merah, seperti darah. Pusara sang sultan ada di dalam sebuah cungkup, di kaki pohon ini. Beberapa makam ada di bagian hulunya. Kata kholil, makam-makam tersebut mungkin makam pengikut-pengikutnya.

Sultan Babullah adalah putra Sultan Khairun. Babullah menyerang Portugis karena mereka telah mengkhianati ayahnya di Benteng Kalamata dalan sebuah jamuan makan. Dapat dikatakan bahwa Sultan Babullah merupakan satu-satunya sultan/raja yang mampu meraih kembali kekuasaan secara mutlak atas kekuatan penjajah di Nusantara ini. Sultan dimakamkan di Foramadiahi yang merupakan kampung teritnggi dan tertua di Ternate.

Bau kembang menyemerbak. Saya beringsut. Geletar aneh menyusup. Saya beranggapan, berdasarkan wangi kembang itu, tidak begitu lama orang terakhir yang datang berziarah ke tempat ini. Barangkali, memang tidak banyak yang datang kemari mengingat jalan menuju makam yang tidak dapat dijangkau oleh kendaraan roda empat dan agak susah walaupun menggunakan sepeda motor.

Baca juga:  Omar Khayyam: Saintis Muslim, Sastrawan hingga Penikmat Wine Sejati

Saya bangkit dari cungkup, membalikkan badan. Mana Kholil? Saya mencari. Ia sedang menyapu, membersihkan areal makam.

“Mari pulang. Saya sudah selesai,” kata saya mengajak mereka. Kami pun pulang. Namun, saat hendak pergi, saya mendapati sandal yang sebelumnya saya letakkan 10 meter sebelum pintu makam itu kini telah berada di depan pintu dalam posisi menghadap keluar. Siapa yang memindah? Siapa yang mengubah?

Saya, juga Khair dan Kholil, meninggalkan peristirahatan terakhir Sultan Babullah dengan kesan yang tentu berbeda satu sama lain. Dan setelah tiba di tempat memarkir sepeda motor, saya mengintip: ternyata Kholil kembali bekerja bersama yang lain, menggergaji kayu.

Kini saya tahu, bahwa Kholil tidak benar-benar sekadar jalan-jalan di hutan itu sebagaimana pengakuannya kepada kami saat pertama kali bertemu. Kholil mengantar kami, sebagai tamu yang berziarah  kepada sultannya.

Foramadiahi

—MaqbarahSultan Baabullah

 

Aku tiba di tempat engkau berbaring

napas terengah, langkah tertatih

inilah puncak tertinggi di timur

bagi pasakmu yang menghunjam di barat

 

Menghirup angin hutan cengkeh

kutelan ludah, memangkas jarak

antara pahitnya pengkhianatan

dan manisnya kemenangan

 

Hari ini, aku telah tiba di sisimu, Sultan

menjejak dengan kaki telanjang

di atas tanah makammu

karena aku tahu

engkau, di dalam kesunyian Foramadiahi

tak pernah mati

 

Hidup lalu menggamit tanganku, pergi

meluncur ke arah entah

membawaku ke tempat yang lain

memberi nama, lalu berpindah-pindah

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top