Sedang Membaca
Selera Makan Kakek-Nenek
M Faizi
Penulis Kolom

Penyair, tinggal di Pesantren Annuqoyah, Sumenep

Selera Makan Kakek-Nenek

Selera Makan Kakek-Nenek 1

Bagaimana para orang atau seseupuh Madura mempertimbangkan bahan makanan? Memilih kelezatan atau kehalalan?

Selama bertahun-tahun, saya nyaris tidak mengenal makanan enak. Hampir semua makanan yang saya hadapi, nyaris setiap hari, hanya berkutat di zona degradasi, tingkat terendah, kasta sudra dalam selera.

Makanan yang tersaji selalu hambar, gitu saja dari dulu. Rempahnya tidak kuat, mungkin. Pokoknya, andaikan ada tamu dan orang asing yang makan untuk pertama kalinya bersama kami, saya jamin tidak akan bergairah kecuali mereka termasuk golongan orang-orang yang sangat lapar.

Kapan saya tahu semua makanan itu hambar? Setelah saya mengenal micin. Ya, sebelum merantau, saya tidak kenal micin atau jenis penyedap yang lain. Sejak merantau ke Jawa, mulailah saya meninggalkan gaya makan rumahan, mulai berkenalan dengan boga dari dapur pesantren dan/atau kantin yang dijaja di sekitar pondok, di Tebuireng.

Fase itu terjadi di tahun 1989, saat saya berusia 14 tahun. Ragam makanan, seperti jangan asam, lodeh tewel, dan terutama makanan khas Jawa yang menyimpan rasa manis di lidah, mulai saya cicipi. Dari situ saya ambil kesimpulan: rasanya lebih kuat dari yang sudah-sudah saya telan.

ikan gurami bisa diolah dengan berbagai cara, seperti dibakar, disup, digoreng, atau dibumbui dengan sambal. (foto: alif)

Secara modal mentahan, di rumah saya (saya tinggal bersama nenek yang hanya bersebelah dengan rumah Ibu) lebih hebat lah ketimbang makan di rantau. Daging dan ikan nyaris selalu ada, tapi kok bisa rasanya macam kehabisan gaya? Makanya saya heran. Kadang saya malu kalau ingat urusan begini dipersoalkan. Di saat orang-orang sudah berpikir kemungkinan tinggal di planet lain, saya masih mikir urusan perut dan yang sedaerah dengannya.

Baca juga:  Adab Terhadap Habaib

Pada usia 18 tahun, langkah pertama meninggalkan masa sweetseventeen yang bergairah, adalah masa saya yang pertama mengenal lalapan. Kaget bukan alang kepalang begitu menyaksikan sayur-sayur mentah bersanding ayam goreng dan sambal. Saya kira itu cuma hiasan, semacam ‘kuade’, pemanis panggung pengantin yang fungsinya hanyalah dekorasi. Eh, ternyata, teman-teman saya melahapnya. “Ini kok ada sayur mentah? Dimakan jugakah?” tanya saya dalam hati. Dan ketika saya menjajalnya, rasanya mau muntah.

Maklum, di tempat saya, di Madura yang tandus di musim kemarau namun lumayan di musim tengkujuh, sayur sulit didapat. Kalau pun ada, paling-paling ia sudah layu karena jarak tempuh mobil pengangkutnya terlalu jauh. Produk lokal biasanya hanya sayuran rakyat jelata, seperti kangkung, mentimun, kacang panjang, dan bayam, makanan Popeye. Sudah begitu, nenek kami tetap tidak mau MSG dan berani hambar terhadap makanan. Hal itulah yang memaksa lidah saya, lidah tamu, lidah siapa pun yang sedang dijamu, harus setuju terhadap menu.

Masa puritanisme dalam makan-memakan ini berlangsung hingga kakek dan nenek wafat di tahun yang sama: 2009, pada saat saya sudah berusia 34 tahun.

Bisa dibayangkan, betapa sejak kecil hingga mencapai usia segitu saya hanya makan 1 jenis model sajian: nasi, telur dadar, mi kuning, srundeng kelapa, sayur merunggai, cakalan, dan, ya, sekitar-sekitar itu saja.

Baca juga:  Amuk Massa Nasional

Saya tahu rawon, tapi tidak akrab; tahu ayam panggang, tapi nyaris tak pernah beli; tak kenal tongseng, tak kenal tengkleng, dan entah sekian ratus rupa-rupa masakan Nusantara yang aneka ragam itu. Betapa terbelakang.

sayur lodeh beserta lauk-pauknya plus lontong

Di masa-masa sesudahnya, mulailah kami sedikit ceroboh. Meskipun lidah saya masih sangat reaktif terhadap masakan berpenyedap MSG, sering berasa eneg kalau dalam jumlah berlebih, namun kini sudah bisa beradapatasi, seperti di warung atau di kondangan. Kalau sudah begitu, mulailah saya teringat pada masa kakek-nenek dulu: mereka yang sangat berhati-hati dalam urusan makan dan makanan.

Nenek saya terutama, seperti juga sesaudara atau saudara sepupuan dengan beliau, prinsipnya juga sama. Mereka punya undang-undang yang ketat untuk urusan ini. Aturannya banyak sekali.

Contoh: sumber terjamin halal, bebas MSG, terjamin kesuciannya. Etiket makan pun tak kalah peliknya: tak boleh ngomong, tak boleh ada sisa (bahkan sebutir remah pun di atas piring tak boleh tertinggal saat kita selesai); selalu membawa sangu di perjalanan untuk menghindari makan di tempat umum kecuali di warung tertentu yang sudah diketahui/diperkirakan jaminan kesucian masakannya, dan masih banyak tatib yang lain.

Saya maklum, semua itu—barangkali—dilakukan mereka sebagai bentuk kehati-hatian dan rasa syukur dan untuk selanjutnya dijadikan warisan pelajaran kepada kami, anak cucunya. Ribet sih, tapi akhirnya saya mafhum dan maklum. Ikuti saja!

Baca juga:  Agama, Semiotika untuk Berdusta
Pindang patin khas Sumatera Selatan ini memang sedap

Nah, semua yang saya tulis di atas tersebut barulah micin. Adapun sop dan nasinya adalah yang berikut ini:

Di suatu hari, salah satu sesepuh kami—yang kebetulan sesaudara dengan nenek—berkata kepada Pak Panji (siapa Pak Panji? Sudahlah, tidak perlu diurus). Pertanyaannya begini:

“Arapa, ya, ma’ bindara sateyya lako akareyyongan ding abajanga? Mun lambha’, ding sengko’ ta’ duli atakbir, na’-kana’ langsung esep. Mun sateya, usa esoro esep.” (Mengapa, ya, kok santri sekarang selalu berisik kalau mau salat (berjamaah)? Kalau dulu, manakala saya tidak segera bertakbir (takbiratul ihrom), anak-anak langsung senyap. Kalau sekarang harus dibilangi ‘jangan ramai’ dulu agar mereka diam).

Pak Panji tidak menjawab. Dia diam menunggu karena dia tahu kalau pertanyaan itu pasti ada kelanjutannya, dan ternyata benar.

“Pola mi’ keng polana dha’ara santre e ko-bengkona se korang kaurus, jha’ syubhat, jha’ haram. Ajariya mun tanoro’ ekakan kan pas noro’ dhara, daddi daging, padahal badanna kan egabayya abajang.” (Jangan-jangan karena faktor makanan yang ada di rumah-rumah mereka itu, ya, yang kurang terurus status syubhat dan haramnya. Makanan itu kan ikut darah, jadi daging, padahal tubuh ini ‘kan bakal digunakan untuk beribadah (salat).”

Setelah mendengar kisah ini dari Pak Panji, saya lantas semakin mengerti, mengapa kakek-nenek kami sangat serius dan rumit mengurus makanan: suci-tidaknya, halal-haramanya.

Kuah soto yang berkaldu tentu sudah lezat tanpa micin. Tapi penjual soto kadang-kadang masih juga menaburi micin

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top