Sedang Membaca
Wawancara Khusus Prof. Azyumardi Azra dengan Prof. Nurcholis Madjid 37 Silam: Tentang Demokrasi, Asas Tunggal, Pembaharuan dan Sekulerisasi (3)
Luthfil Hakim
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Tarbiyatul Mubtadiin, Danawarih, Balapulang, Tegal dan Alumni Pesantren Misbahul Huda Al-Amiriyah, Kambangan, Lebaksiu, Tegal.

Wawancara Khusus Prof. Azyumardi Azra dengan Prof. Nurcholis Madjid 37 Silam: Tentang Demokrasi, Asas Tunggal, Pembaharuan dan Sekulerisasi (3)

Makalah Setebal 10 Halaman Yang Pernah Diseminarkan Oleh Prof. Azyumardi Azra

Dalam ceramah Maulid Nabi baru-baru ini Anda memaparkan soal tughyan, thagut, tiran yang kemudian diikuti dengan pernyataan anda di SOKSI bahwa terdapat  kecenderungan sensorisme yang kuat di dalam masyarakat kita. Apa yang Anda maksudkan dengan semuanya itu?

Saya hanya berbicara secara konseptual tentang kecenderungan-kecenderungan yang ada di dalam diri setiap orang. Menurut saya sikap-sikap tughyan, thagut atau sensorisme itu tidak hanya berkaitan dengan kekuasaan, tetapi dengan masyarakat secara keseluruhan. Saya melihat, bahwa sikap-sikap semacam itu bahkan sangat kuat di dalam masyarakat luas. Sikap tughyan, thagut, tiranik dan sensorisme itu timbul dari anggapan bahwa diri sendiri yang paling benar dan paling baik. Konsekuensi logis dari anggapan dan perasaan semacam itu adalah tumbuhnya rasa hak dan wewenang atau otoritas, atau bahkan noblesse oblige, kewajiban mulia untuk menuntun orang lain, seperti sikap yang biasa dipegangi para missionaris. Dengan sikap ini, seseorang beranggapan dirinya sebagai ‘polisi Tuhan’ yang punya hak, wewenang, dan otoritas untuk memaksakan pendapat dan pikiran sendiri kepada orang lain. Sikap semacam itu hanya bisa dihilangkan atau sekurang-kurangnya diperkecil dengan keimanan atau ketauhidan sepenuhnya kepada Allah SWT, bahwa selain Tuhan tidak ada sesuatupun yang sempurna; bahwa manusia masing-masing mempunyai kelemahan atau kedhaifan.

Nabi Muhammad sendiri dalam menyampaikan ajarannya selalu diperingatkan oleh Allah untuk tidak memaksa orang lain. Nabi hanya bertugas menyampaikan berita dari Allah, dan beliau tidak berhak, bahkan tidak bisa memaksa orang lain untuk percaya dan mengikuti beliau betapapun benarnya beliau dan ajaran itu. Bahkan dalam al-Qur’an sendiri dinyatakan bahwa jalan Allah itu banyak. Surat alMaidah ayat 16 misalnya berbunyi; yahdī bihiLlāhu manittaba’a ridlwānahū subulassalām, yang artinya. “Dan Allah dengan kitab suci itu akan memberi petunjuk menuju berbagai jalan keselamatan kepada siapa saja yang mengikuti keridhaan-Nya.” Dalam ayat ini dipergunakan kata subul yang merupakan jamak dari kata sabil atau jalan. Dalam surat Ibrahim ayat 12 bentuk seperti ini juga ditemukan. Dengan banyaknya jalan kebenaran ini, maka seseorang tidak bisa mengklaim bahwa ia satu-satunya pemegang jalan kebenaran.

Kembali ke soal sikap-sikap tiran tadi, maka cara mengatasinya adalah dengan memahami sepenuhnya konsep tauhid, yang meletakkan Tuhan pada tempat yang paing sempurna di atas semua mahluk yang punya kelemahan.

Persoalan sudah bergeser kepada konsep Islam dan umat Islam. Dengan menyatakan bahwa kecenderungan sikap tughyan, thagut, dan sensorisme berakar kuat dalam masyarakat hanya dapat diatasi dengan konsep tauhid dan keimanan yang betul  terhadap Allah, berarti secara mafhum mukhalafah, umat Islam belum lagi menghayati konsepsi keimanan yang benar

Kehidupan beragama kita pada umumnya masih berada pada tahap antusiasme, dan akibatnya kita menjadi lebih banyak berbicara soal qunut dan ushalli. Untuk selanjutnya kita harus melangkah ke pendalaman makna keagamaan yang lebih holistik atau menyeluruh. Di sini kita akan berbicara tentang makna dari amal ibadah yang kita kerjakan. Inilah yang akan membentuk weltanchaung atau pandangan dunia Islam. Saya kira, apa yang dilakukan Buya Hamka dengan konsep tasawuf modernnya sejalan dengan upaya pendalaman makna keberagamaan yang saya maksudkan. Gagasan itu memang tidak orisinil dari Buya Hamka melainkan dari Al-Ghazali, tetapi setidaknya Buya Hamka telah memperkenalkan dan memasyarakatkan  pola kehidupan beragama yang lebih akademis. Perkembangan kehidupan beragama semacam inilah yang kita butuhkan di masa datang, tidak lagi sekadar antusiasme.

Baca juga:  Soetomo dan Sejarah “Berasap”

Dengan pernyataan Anda di atas, terkesan Anda menekankan sikap sufistik dalam kehidupan beragama. Kita tahu kehidupan sufisme menekankan kepada dimensi esoteris semacam sikap zuhud, dan uzlah. Apakah ini relevan dengan modenitas? Tidaklah orientasi ini “bertabrakan” dengan gagasan pembaharuan Anda dulu yang menekankan “sekulerisasi”?

Yang saya maksud dengan pendalaman kehidupan beragama itu, ya seperti tasawuf modernnya Buya Hamka itulah. Dalam pengertian itu, maka zuhud berarti hidup sederhana, disiplin, menghargai waktu dan sebagainya. Zuhud bukan berarti menjauhkan diri dari dunia sebagaimana dipahami selama ini. Dengan pengertian itu, maka zuhud misalnya, jelas sangat relevan dengan modernitas. Bahkan sikap-sikap itu sangat dibutuhkan dalam proses modernisasi. Soal gagasan saya tentang “sekulerisasi” dulu itu tak ada hubungannya dengan masalah ini, karena itu menyangkut bidang sosial umat.

Sebenarnya apa yang Anda maksudkan dengan gagasan pembaharuan dulu itu? Apa yang Anda maksudkan dengan sekulerisasi? Apakah ada pergeseran konsep Anda tentang pembaharuan dulu itu? 

Pada prinsipnya tidak ada perubahan pikiran saya sejauh menyangkut gagasan pembaharuan yang dulu itu. Saya sebenarnya sampai kini masih berfikir mau menjawab Pak Rasyidi itu. Tapi ya, sudahlah. Orang memang sering salah kaprah dalam mengartikan “sekulerisasi” yang saya maksudkan. Saya ingin memperlihatkan kepada Anda apa makna sekulerisasi (Nurcholis lalu masuk ke dalam kamar perpustakaannya dan kembali membawa buku Beyond Belief karangan Robert N. Bellah). Di sini Bellah menyatakan, bahwa Islam di samping agama-agama lain merupakan kekuatan pengsekulerisasian  secularizing forces  yang terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Islam menurut Bellah dengan konsep monoteismenya yang keras mendesakralisasikan atau mendevaluasikan “Tuhan-Tuhan” selain Allah. Inilah yang disebut sebagai sekulerisasi itu. Dengan kata lain, apa yang dipandang manusia selama ini sebagai sakral, disekulerisasikan, sehingga tinggilah Allah semata-mata sebagai Tuhan satu-satunya. Jadi, sekulerisasi jangan diartikan semata-mata menanggalkan kehidupan politik dari keagamaan, atau mencopot agama dari kehidupan sosial. Sekulerisasi menurut saya justeru merupakan pemurnian paham ketuhanan dengan menanggalkan atau mensekulerisasikan apa-apa yang selama ini dipandang sebagai “Tuhan”. Jadi saya masih konsisten dengan gagasan pembaharuan yang dulu itu.

Agaknya ada kaitan kalau diajukan pertanyaan tentang masalah pengasastunggalan Pancasila. Sementara orang berpendapat, bahwa dijadikannya Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berarti agama disingkirkan dalam kehidupan bernegara. Bagaimana pandangan Anda tentang hal ini?

Tidak. Tidak sama sekali. Pengasastunggalan Pancasila sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara hemat saya tidak berarti menyingkirkan agama. Bahkan hal itu sangat relevan dengan apa yang kita kenal sebagai “Konstitusi Madinah” pada zaman Nabi (Nurcholis kembali masuk ke perpustakaannya, sambil membawa kitab kuning karangan Hamidullah yang mencatat peristiwa-peristiwa politik di zaman Nabi Muhammad s.a.w). Dalam buku ini jelas sekali, bahwa apa yang disebut sebagai Konstitusi Madinah mempunyai kesamaan dengan Pancasila kita. Sebagaimana Konstitusi Madinah yang mengakui orang Yahudi dan Nasrani termasuk umatan wahidah, maka Pancasila juga mengakui hak hidup pemeluk agama selain penganut Islam. Dan Konstitusi Madinah merupakan realisasi dari al-Qur’an yang menyerukan agar kaum muslimin mencari titik singgung yang sama dengan penganut agama lain, sebagaimana dirumuskan dalam istilah kalimatun sawa’ (istilah/kata yang sama). Nah, Pancasila ini merupakan kalimatun sawa’ antara umat Islam Indonesia dengan penganut-penganut agama lain yang sebangsa dan setanah air. Jadi, kekhawatiran bahwa pengasastunggalan itu akan mengurangi makna agama tidak beralasan sama sekali. Bahkan ia justeru akan memperkuat kalimatun sawa’ yang merupakan tali pengikat yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Baca juga:  Marwa Al-Sabouni: Perempuan Tangguh, Arsitek Suriah

Tetapi kenapa masih saja ada hal-hal krusial tentang hubungan agama dengan Pancasila ini?

Saya kira banyak faktor yang menyebabkannya. Konstitusi Madinah saja menjadi sirna ketika orang-orang Yahudi yang mempunyai kewajiban yang sama atas tahanan ummatan wahidah berkhianat. Jadi, dalam hal ini Pancasila sebagai kalimatun sawa’ harus dipelihara setiap anggota masyarakat Indonesia sebagai bagian ummatan wahidah.

Sekarang soal kepemimpinan. Bagaimana komentar Anda tentang kepemimpinan sipil yang ahir-ahir ini ramai dibicarakan? Dan apa pula pendapat Anda tentang kepemimpinan Islam Indonesia sekarang?

Ya, soal kepemimpinan sipil ini agak peka, karena tersirat dikonfrontasikan dengan kepemimpinan militer. Tapi syukurlah pembicaraan tentang hal ini telah berani dilakukan. Saya kira, kepemimpinan militer muncul sebagai akibat saja dari keinginan untuk mengejar ketinggalan dari negara-negara maju. Untuk mengejar ketinggalan-ketinggalan itu diperlukan stabilitas politik yang mantap, mobilisasi massa dan sebagainya. Di sinilah militer kemudian muncul. Tetapi bagaimanapun juga kepemimpinan sipil harus senantiasa dikembangkan. Saya kira HMI ini merupakan organisasi yang paling subur untuk menyiapkan kader-kader kepemimpinan sipil. HMI itu pernah saya umpamakan sebagai miniatur Indonesia.

Dan dari miniatur keindonesiaan itulah akan muncul kepemimpinan sipil yang mempunyai wawasan kebangsaan dan keislaman yang mantap. Soal kepemimpinan umat Islam, saya kira untuk persatuan yang monolitik tak akan pernah ada, dan memang tak perlu. Biarkanlah tumbuh keragaman di dalam kesatuan Islam, unity in diversity. Yang penting adalah meningkatkan saling pemahaman dan solidaritas di antara keragaman-keragaman itu.

Itulah hasil wawancara yang dilakukan oleh  Prof. Azyumardi Azra —yang kala itu masih menukangi Panjimas sebagai redaktur pelaksana— yang saya tulis ulang dari majalah Panjimas No. 488  – Tahun XXVII 28 Rabiul Awal 1406 H atau 11 Desember 1985  halaman 49-52.

Jika ditilik dari berbagai fragmen hasil wawancara di atas, meskipun Cak Nur sempat vakum dari catur pemikiran Indonesia selama 87 purnama lamanya, namun ternyata ayah dari Nadia Madjid tersebut masih konsisten dengan gagasan pembaharuannya dulu. Jika Mesir mempunyai sosok Muhammad Abduh (w. 1905) sebagai sang pembaharu dunia Islam, maka Indonesia juga mempunyai sosok Cak Nur yang merupakan mercusuar pembaharuan Islam di Indonesia. Maka menjadi wajar jika kita mengamini Cak Nur sebagai “Bapak Pembaharuan Islam Indonesia”. Karena bagaimanapun juga sepanjang hayat beliau telah diwakafkan untuk kemaslahatan bangsa dan negara Indonesia lewat “piramida” pembaharuannya.

Baca juga:  Dakwah Lembut Habib Nusantara (3): Habib Jindan Dan Membangun Citra Islam

Senin 29 Agustus 2005, sosok manusia irfani tersebut marak sowan maring ngarso daleme Gusti Allah SWT. dalam usia 66 tahun. Jenazah beliau kemudian disumarekan di “kampung pesarean” Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Pasar Minggu, Jakarta Selatan bersanding dengan para Guru Bangsa yang telah mendahuluinya.

Kini buku Beyond Belief besutan Robert N. Bellah yang pernah diwedar untuk membedah makna sekulerisasi di hadapan Prof. Azyumardi Azra 37 silam –bersama buku karya Cak Nur dan ribuan buku koleksi pribadi Cak Nur lainnya serta mesin ketik yang pernah membersamai gagasan pembaharuannya– telah diwakafkan untuk almamaternya yaitu Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Jumat 3 November 2017 dalam bingkai “Perpustakaan Prof. Dr. Nurcholis Madjid”.

Perpustakaan Prof. Dr. Nurcholis Madjid tersebut diresmikan langsung oleh Ibu Omi Komariah Madjid, dan turut dihadiri pula oleh Budhy Munawar Rachman yang merupakan murid sekaligus perawinya yang paling sohih, Prof. Yudi Latief serta Prof. Azyumardi Azra yang kala itu datang dengan membawa makalah setebal 10 halaman dengan judul “Membaca Cak Nur; Pemikiran, dan Praksis Sosial-Politik” yang diseminarkan dalam acara peresmian Perpustakaan Prof. Dr. Nurcholis Madjid di Teater Lantai 5 FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,  Jumat, (3/11/2017).

Alfaqir  yang kala ikut membersamai acara peresmian tersebut sempat melemparkan pertanyaan kepada Prof. Azyumardi Azra tentang Islam, kemoderenan dan keindonesiaan ala Cak Nur serta relevansinya pada abad 21 ini. Beliau pun menjawab dengan begitu luas dan luwes tentang pemikiran dan praksis sosial ala Cak Nur utamanya tentang Islam, kemoderenan dan keindonesiaan, dan saya kira atmosfer dari jawaban Prof. Azyumardi Azra atas pertanyaan alfaqir di atas kala itu begitu “CakNuristik.”

Saya kira kita patut bersyukur bahwa pemikiran dan praksis sosial-politik ala Cak Nur tetap terawat dan terjaga dengan baik hingga kini oleh para Caknurian termasuk di dalamnya yaitu: Kiai Ulil Abshar Abdalla, Budhy Munawar Rachman, Prof. Yudi Latief serta Prof. Azyumardi Azra di bawah naungan bendera Nurcholis Madjid Society.

Terima kasih Cak Nur. Terima kasih Bapak Pembaharuan Islam Indonesia atas segala dedikasinya untuk bangsa dan negara.

Ndhèrèk naksèni, bilih panjenengan menika tiang ingkang saè. Mugi swargi haq ugi langgeng kanggè panjenengan. Amin

Linnabi lahul fātehah …

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top