Sedang Membaca
Bagaimana Ulama Terdahulu Menulis Sejarah Islam?
Kholili Kholil
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Lirboyo-Kediri. Saat ini mengajar di Pesantren Cangaan Pasuruan, Jawa Timur.

Bagaimana Ulama Terdahulu Menulis Sejarah Islam?

Pada mulanya Samaw’al bin Yahya (w. 1180) adalah seorang Yahudi. Dia mengaku menggemari kisah-kisah klasik tentang raja-raja kuno. “Perhatianku tertuju pada karya-karya sejarah,” dia menulis dalam buku perjalanan spiritualnya Badzlul Majhud.

“Aku membaca buku Miskawayh yang dia namai Tajarubul Umam. Aku juga mempelajari Tarikh Thabari dan lain-lain. Dari situ aku berkenalan dengan Nabi saw,” lanjut bin Yahya. Dari situ dia kemudian masuk Islam.

Samaw’al bin Yahya tidak salah. Dia benar soal itu. Dia beruntung bisa hidup setelah historiografi sejarah Islam terbukukan dengan cukup komperhensif. Namun, seperti sudah maklum, buku-buku itu tidak ditulis dengan instan. Ada keringat yang terkuras dan kepala yang pening di balik itu.

Historiografi sejarah pada masa Islam ditulis karena megalomania akan kekuasaan absolut dan keagungan yang diderita para raja. Mereka, raja-raja itu, ingin tahu bagaimana kaisar sebelumnya memerintah sembari membandingkan pencapaian mereka dengan raja kuno itu. Faktor ini bergandengan dengan faktor lain—yakni tradisi oral tentang ayyam al-Arab (hari-hari Arab; resitasi peperangan antar suku), perhatian yang berlebih akan silsilah, identifikasi nama-nama yang dikutip para penyair, dan, setelah kedatangan Islam khususnya, ketertarikan akan jalan hidup Nabi saw dan para sahabatnya, serta konfirmasi kesalehan para perawi hadis. Seluruh faktor ini mengambil peran penting dalam pembentukan historiografi Islam.

Baca juga:

Baca juga:  Kota Islam yang Terlupakan (11): Djenné, Debu-Debu yang Disucikan

Dari beberapa buku yang ditulis pada masa awal pasca Nabi wafat, hanya sedikit sekali yang sampai kepada kita—dan memang sedikit sekali dunia tulis menulis saat itu. Di antara yang sedikit itu adalah catatan ceramah seorang mantan Yahudi dari Yaman yang berumur panjang, Ubaid bin Syariyah.

Para sejarawan banyak berbeda pendapat tentang umur bin Yahya ini, namun semuanya bersepakat lebih dari seratus tahun—ada yang berkata bahkan 350 tahun. Senioritas tampaknya menjadi penyebab kenapa di tatanan umat Islam yang baru berdiri itu ia dituakan. Sebagian sejarawan Barat meragukan eksistensinya dan menyebut ia sebagai, “imajinasi Ibnu Nadim.” Meskipun tuduhan ini—setidaknya menurut penulis— sama sekali tidak berdasar, namun kumpulan ceramah sejarahnya di depan Muawiyah tak pelak lagi cukup mempengaruhi sejarawan selanjutnya dengan bukti larisnya buku kumpulan ceramah Ubayd sebagaimana dicatat Ibnu Nadim dalam al-Fihrist.

Bersama dengan seorang tokoh sufi Wahab bin Munabbih (w. 728), Ubayd menjadi salah satu pelopor ilmu sejarah yang dikenal dengan Pengetahuan tentang “Awal-Mula” (ilmul awail). Setelah itu penulisan sejarah berubah aliran dengan munculnya penulis biografi Nabi dan berkembangnya ilmu hadis.

Banyaknya perawi hadis menuntut para mahasiswa hadis saat itu meneliti riwayat masing-masing perawi. Gelombang ini, seperti bisa diduga, memunculkan dua kecenderungan sejarah Islam klasik: orientasi sanad dalam verifikasi sejarah dan kodifikasi biografi perawi secara masif.

Baca juga:  Saat Kiai Saifuddin Zuhri Mengisahkan Kumis A.M. Sangadji

Namun At-Thabari (w. 923) adalah yang termasyhur dari semuanya. Pria bernama asli Muhammad itu lahir di Tabaristan, sebuah distrik yang terletak di perbukitan sepanjang tepian Laut Kaspia. At-Thabari membawa keperjakaannya hingga mati dan memilih bergumul dengan ilmu dengan tidak menikah.

Dia melakukan safari ke pusat keilmuan saat itu untuk belajar hadis dari bibir-bibir para perawi secara langsung. Tradisi oral ini juga yang menjadi metode penulisan bukunya tentang sejarah sejak masa penciptaan dunia.

Sedangkan al-Mas’udi adalah sejarawan pertama yang menyusun bukunya menurut letak geografis dalam karyanya Murujuz Dzahab (Padang Emas). Sementara sejarawan lain umumnya menyusun bukunya secara kronologis dari tahun ke tahun. Langkah ini yang nantinya ditiru oleh Ibn Khaldun.

Al-Mas’udi juga sejarawan pertama yang memasukkan anekdot dalam bukunya—sesuatu yang nantinya menjadi justifikasi kaum fikih ortodoks untuk melarang belajar sejarah kecuali yang berkaitan dengan Nabi saw.

Namun, sejarawan bukanlah profesi utama bagi seorang terpelajar di masa itu. Harta wakaf yang berlimpah itu tidak memasukkan sejarawan ke dalam subsidinya. Para penderma lebih menyukai ahli fikih sebagai obyek wakaf mereka.

Bagi sebagian sejarawan seperti at-Tabari hal ini tentu tidak terlalu menyulitkan karena ia juga seorang ahli fikih—bahkan ia seorang mujtahid mutlak dan penafsir Alquran termasyhur. Namun bagi beberapa sejarawan lain tentu hal ini memadamkan semangat mereka dalam menulis sejarah. Bahkan sebuah syair pernah digubah oleh al-Muzajjad:

Baca juga:  Merekonstruksi Sejarah Ndalem Jayakusuman

Aku bertanya kepada Kemiskinan, “Di mana kau bersembunyi?”
“Di wadah tinta sejarawan,” Kemiskinan menjawab.

Hal inilah yang menimpa Ahmad bin Yahya Al-Baladzuri (w. 892). Ia adalah sejarawan yang mendokumentasikan pembebasan dan genealogi (nasab) dalam dua buku masyhurnya, Futuhul Buldan (Pembebasan Kota-kota) dan Ansabul Asyraf (Silsilah Bangsawan). Meskipun bukan ahli fikih, pada awalnya dia menikmati hidup nyaman karena menjadi teman minum anggur bagi Raja Mutawakkil yang dikisahkan tidak mau makan kecuali disertai Al-Baladzuri.

Tidak lama setelahnya, al-Baladzuri akrab dengan al-Mustain, adik al-Mutawakkil, dan mendapat pasokan harta yang banyak sekali.

Namun, keahlian dalam sejarah tidak cukup bagi Al-Baladzuri. Pasca wafatnya Al-Mustain, Al-Baladzuri terjebak dalam kemiskinan akut dan dililit hutang. Dia mulai menyendiri dan hidup sebagai peminta-minta di istana para wazir.

Barangkali ketiadaan sokongan material yang kuat inilah yang menandai era keemasan historiografi klasik Islam. Setelah Miskawayh yang wafat pada abad sebelas, historiografi mulai tersungkur—setidaknya itulah yang dikatakan oleh para pengamat sejarah Islam. Meskipun pada faktanya penulisan sejarah masih terus dilakukan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top