Sedang Membaca
Konser Musik dan Budaya Konsumtif Masyarakat Muslim
Khairul Anwar
Penulis Kolom

(Tim Media Ansor Kota Santri, Alumni Pascasarjana UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan)

Konser Musik dan Budaya Konsumtif Masyarakat Muslim

konser musik

Sebelum berita tentang Coldplay, berseliweran di media sosial akhir-akhir ini, saya sama sekali belum pernah mendengar nama grup musik rock asal Inggris tersebut. Ya, maklum, saya bukan penikmat musik barat. Mau bilang saya nggak gaul? Silakan. Yang jelas saya lebih menyukai musik dari musisi lokal tanah air, seperti Nasida Ria, Woro Widowati, atau Nissa Sabyan. Hmm. 

Tapi tulisan ini bukan hendak menjelaskan alasan saya tidak terlalu menyukai musik luar negeri. Itu biar jadi pembahasan lain kali saja hahaha. Jadi, pada tulisan ini, ada sisi lain yang ingin saya ungkapkan. .

Begini. Ketika informasi Coldplay bertebaran di lini media sosial saya, ada fakta yang cukup mengejutkan bagi saya. Apa? Harga tiket konser Coldplay, yang akan manggung di Jakarta pada 15 November 2023 mendatang, ternyata sangat mahal. Sebab harga tiket sendiri dipatok mulai dari Rp 800 ribu hingga Rp 11 juta per orang.

Seketika saya cari tahu lebih jauh tentang Coldplay. Melalui mbah google, saya mendapat informasi kalau ternyata grup musik tersebut memang bukan grup musik biasa. Mereka sangat populer di kalangan anak muda. Sehingga wajar jika harga tiket konsernya pun setinggi langit.

Kabar lain yang cukup menyentak saya adalah tiket konser Coldplay ludes terjual dalam waktu sekejap. Ini menandakan bahwa masyarakat Indonesia sangat antusias terhadap Coldplay. Mereka tak ingin melewatkan pertunjukan berkelas dari Chris Martin dkk.

Bagi fans fanatik nya Coldplay, tak ada alasan buat tidak nonton. Tiket semahal itu pun saya yakin berani mereka jabanin. Ini sama halnya ketika saya membeli tiket laga Indonesia vs Argentina. Tiket dengan harga termurah saya beli, karena saya ingin menyaksikan laga bersejarah tersebut secara langsung di stadion.

Baca juga:  Mengenang Ki Seno, The Master of Bagong

Namun, apakah benar para pembeli tiket konser Coldplay tersebut benar-benar ingin menikmati sajian musik, atau jangan-jangan diantara mereka hanya memenuhi gengsi semata? Ah, saya kok meyakini kalau banyak diantara mereka hanya ikut-ikutan saja. Bukan tak mungkin diantara mereka adalah orang-orang yang hanya mementingkan citra, supaya terlihat tidak ketinggalan zaman dan terlihat keren.

Kalau nggak percaya coba baca pernyataan dari Wakil Direktur Institute of Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto. Dilansir Republika.co.id, ia menyebut gengsi menjadi salah satu alasan generasi muda rela merogoh dompet lebih dalam untuk tiket konser.

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya itu mengatakan, 60 persen penduduk Indonesia saat ini adalah usia muda sehingga sektor hiburan menjadi konsumsi yang dicari di Tanah Air. Menurutnya, media sosial menjadi faktor utama semakin membludaknya industri pentas ini. Hal itu juga dimanfaatkan banyak generasi muda untuk mencari pengakuan.

Generasi yang demikian dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai FOMO atau Fear Of Missing Out yakni rasa takut merasa “tertinggal” karena tidak mengikuti aktivitas tertentu. Tak masalah sebenarnya mereka mau demi gengsi atau bukan dalam membeli tiket Coldplay, yang jadi perkara adalah bahwa kaum FOMO ini sangat merugikan bagi fans asli dari Coldplay yang tidak kebagian tiket. Mereka mengganti posisi fans asli Coldplay yang benar-benar ingin menikmati konser dan dapat menghidupkan suasana.

Generasi yang gengsian ini biasanya tak punya banyak duit. Tapi karena haus pengakuan dari masyarakat, demi nama baik, maka mereka bagaimanapun caranya berusaha untuk dapetin tiket konser tersebut. Saya pernah baca berita daring, yang menyebutkan bahwa beberapa orang bahkan rela utang ke pinjaman online (pinjol) demi tiket Coldplay.

Baca juga:  Ilmuwan Muslim Cum Musisi (2): Al-Kindi, dari Menciptakan Instrumen hingga Merumuskan Bunyi

Fenomena tersebut, tentang orang-orang yang beli tiket Coldplay hanya gengsi semata, menjadi bukti bahwa di era kekinian, banyak orang ingin diakui keberadaannya. Mereka haus akan pujian. Apalagi sekarang eranya medsos, tentu mereka, meski nggak tahu lagu-lagunya Coldplay, akan posting foto sedang nonton konser Coldplay di medsos pribadinya dengan dibubuhi kepsyen “alhamdulillah dapat ikut serta memeriahkan konser Coldplay. Keren banget..”

Soal manusia yang lebih menuruti gengsinya, saya punya contoh lain. Misalnya, ada orang yang rela tidak makan seharian demi membeli hape yang bagus dan harganya yang cukup mahal. Hal ini dilakukan demi mendapatkan pujian dari orang lain dan mengikuti gaya hidup orang lain.

Contoh lain, misalnya, ketika ada anak muda punya duit hanya 50 ribu rupiah, tapi memilih untuk pergi ke restoran demi menghilangkan lapar. Perilaku anak muda ini dalam menggunakan dana untuk konsumsi dilatari oleh gengsi bukan fungsi. Kalau dilatari oleh fungsi, maka masuk saja ke rumah Warteg. Cukup dengan 10 ribu rupiah sudah kenyang.

Apa yang dilakukan oleh anak muda itu, juga oleh orang-orang yang beli tiket Coldplay karena pamor semata, adalah bentuk perilaku konsumtif. Orang yang berperilaku konsumtif akan memakai uang yang berlebihan, hanya untuk mempunyai barang-barang yang tidak begitu dibutuhkan. Bahkan, dalam skala yang lebih parah, gaya hidup yang ditampilkan berbanding terbalik dengan literasi keuangan yang mereka miliki.

Apabila hal tersebut terus terjadi, maka akan berdampak buruk pada anak-anak muda karena mereka akan susah untuk mengontrol diri untuk tidak membeli suatu barang dan akan menjadi boros yang dimana hal ini bisa menimbulkan gaya hidup hedonisme. Hedonisme sendiri adalah ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.

Baca juga:  Orphaned Land, Grup Musik Metal Kontroversial dari Israel

Nah, perilaku boros, dalam agama Islam, merupakan perbuatan yang tercela. Sebab pada dasarnya seorang pemilik harta bukanlah pemilik sebenarnya secara mutlak, penggunaannya haruslah sesuai dengan kebutuhannya dan ketentuan syari’at. Kalaulah seseorang ingin memiliki barang-barang mewah, hendaklah ia meneliti kehidupan masyarakat di sekelilingnya agar tidak timbul kecemburuan sosial dan fitnah. Seorang muslim tidak pantas hidup bermewah-mewah di tengah masyarakat yang serba kekurangan.

Berkaitan dengan perilaku konsumtif, Islam sangat merekomendasikan untuk tidak berperilaku  secara berlebih-lebihan. Allah swt berfirman dalam QS. Al-Isra ayat 26-27. Yang artinya “dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara   boros.Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”

Ayat di atas telah menunjukkan bahwa Islam menuntun perilaku konsumsi yang tidak berlebihan. Jika manusia memahami betul konsep konsumsi yang diajarkan oleh Islam maka manusia dapat membatasi nafsu keinginannya sesuai kebutuhan  saja.

Selain dari larangan bermegah-megahan dalam membelanjakan harta (uang), hal  yang paling  juga harus diingat adalah setiap perbuatan dan semua harta benda yang kita miliki saat di dunia,  akan di hisab atau dimintai pertanggungjawabannya di akhirat. Hal tersebut berdasarkan hadis Rasulullah saw.

“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya” (HR. Tirmidzi).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top