Sedang Membaca
Kemandirian dan Mandat Peradaban Nahdlatul Ulama

Santri Pondok Pesantren Al-Imdad, Bantul, Yogyakarta. Sekarang tinggal di Kartasura.

Kemandirian dan Mandat Peradaban Nahdlatul Ulama

Menghidupkan Gus Dur

Enam hari yang lalu (16/1), Yahya Cholil Staquf atau yang akrab disapa Gus Yahya nge-tweet di akun Twitter resminya (@YahyaCStaquf) begini; PBNU tidak boleh harus ikut Saudi, harus ikut Emirat, harus ikut Mesir atau Yaman. Tak harus ikut mana-mana. Kita harus mandiri dalam wawasan keagamaan, karena kita punya mandat peradaban.

Cuitan tersebut menuai kontroversi. Hingga kalimat ini ditulis (23/1), cuitan itu telah disukai oleh 9.805 orang, di-Retweet sebanyak 1.804 kali, dan dikutip tweet oleh 328 orang. O iya, dan dibanjiri sebanyak 1.387 komentar. Dan sampai hari ini, akun Gus Yahya telah memiliki sebanyak 24 ribu pengikut, dengan tweet pertama bertarikh 11 Desember 2021. Sebelas hari sebelum pagelaran Muktamar Lampung yang mengeluarkan beliau sebagai Ketua Umum PBNU periode 2021-2026.

Sebagai cuitan kontroversial seperti pada umumnya, kita akan menemui banyak komentar yang tak serujuk. Sebagai contoh, saya kutipkan di sini satu komentar netizen secara utuh apa adanya;

Bikin agama pbnu, kitab pbnu, nabi pbnu. Pas udah. Ngapain ikut ikut negara timur tengah. Makinoleng yg dibawah. Coba munculkan mandat peradabannya. Kayak apa?

Pernyataan Gus Yahya dalam cuitannya bukanlah tanpa dasar. Jika kita membaca gagasan atau mendengarkan orasi-orasi Gus Yahya di berbagai kesempatan, itu pun jika kita benar-benar ingin mengerti konteks cuitan beliau, kita akan menemukan alasannya.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (41): Nihâyatus Sûl dan Sikap Obyektif Al-Isnawî

Misalnya dalam Menghidupkan Gus Dur (2021), catatan kenangan Gus Yahya yang disadap dan ditulis oleh AS Laksana ini. Di sana kita akan tahu mengapa kita (lagian, di cuitannya, Gus Yahya menyebut PBNU dan bukan “kita”) tidak boleh harus ikut siapa-siapa. Kita simak alasan beliau;

Pada 2020, media Inggris The Guardian menurunkan tulisan panjang bernada menyesalkan tentang bagaimana proyek keagamaan Saudi Arabia telah mengubah wajah Islam Indonesia. Sementara itu, Indonesia merupakan bangsa yang sejak lama dianggap sebagai negeri Islam paling toleran. Dan kini menjadi sangat konservatif (hal. 88).

Gus Yahya merasa aneh dengan laporan tersebut. Bagaimana tidak aneh, sebuah negara dengan 235 juta muslim, sejak lama dikenal toleran, begitu mudah dipengaruhi oleh negara lain dengan penduduk muslim hanya 30 juta (bahkan dua kali lipat dibandingkan dengan total populasi negara-negara Teluk) dan tidak pernah menjadi teladan tentang toleransi? Mestinya kita yang memasok wawasan keagamaan kita ke mereka, ungkap Gus Yahya.

Fakta yang lain, di Irak, sebelum perang, ada sekitar 3,5 juta orang Kristen. Perang meletus pada 2003. Sekarang, jumlah orang kristen di sana tinggal 200 ribu. Mereka dipersekusi. Tidak ada yang menjamin keamanan mereka, kemudian tidak ada lagi imam yang kuat. Tindakan-tindakan tersebut juga tidak berdosa menurut ushul fikih. Hukumnya jelas; orang kafir halal darah dan hartanya, kecuali mereka yang dijamin oleh imam. Akhirnya muncul ISIS mengangkat imamnya sendiri.

Baca juga:  Ada Jodoh di Balik Buku!

Hal seperti itu, menurut Gus Yahya, jelas tidak mungkin dibawa ke dalam konteks hari ini. Mereka bahkan tidak pernah bisa menemukan jalan keluar untuk menyelesaikan pertumpahan darah di antara mereka, lanjut Gus Yahya (hal. 89).

Itulah alasan kenapa Gus Yahya mengatakan bahwa PBNU (dan kita?) tidak boleh harus ikut Timur Tengah. Kita harus mandiri. Kemandirian itu dapat kita lihat dalam NU. Organisasi terbesar di Indonesia (bahkan di dunia) ini telah membuktikan keberaniannya. Munas NU 2019 telah mengeluarkan keputusan bahwa kategori kafir tidak lagi relevan dalam konteks negara modern. Semua warga negara setara di depan hukum (hal. 91).

Lalu apa mandat peradaban yang dimaksud Gus Yahya?

Dari buku Menghidupkan Gus Dur ini, banyak sekali permasalahan yang dibicarakan oleh Gus Yahya beserta tawaran-tawaran solusi yang telah dikerjakan oleh Gus Dur dulu. Namun yang jelas, kesemua permasalahan beserta tawarannya itu bermuara pada satu tujuan, yakni ukhuwah basyariyah, persaudaraan sesama manusia.

Nilai ukhuwah basyariyah inilah yang juga mendasari NU untuk menghormati keberagaman. Lalu kita juga diingatkan oleh Gus Dur bahwa tidak penting apa agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk manusia, orang tidak pernah tanya apa agamamu. Itulah yang dilakukan dan diperjuangkan oleh Gus Dur sepanjang hayat: rasa hormat terhadap perbedaan—respek terhadap kemanusiaan dan seluruh keragaman yang ada di dalamnya (hal. 106).

Baca juga:  Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Kitab Badzl Al-Ma’un Fi Fadl Al-Thaun

Dalam timbangan Gus Yahya, tawaran tersebut akan menarik simpati seseorang ketika yang kita tawarkan adalah maslahat untuk mereka, untuk masyarakat luas. Dan agar tidak terkesan label lokal semata, Islam Nusantara yang esensinya adalah Islam untuk kemanusiaan (ukhwah basyariyah), diubah menjadi Humanitarian Islam untuk ditawarkan di kancah Internasional (hal. 122-123).

Walakhir, buku Menghidupkan Gus Dur ini perlu (bahkan wajib) dibaca oleh semua nahdliyin, baik struktural maupun kultural, dan para netizen yang berkomentar seperti di atas, guna memahami situasi lintas zaman, dulu dan kini, untuk mewujudkan Islam yang rahmah, Islam untuk kemanusiaan, di masa yang akan datang. Wallahu a’lam.

Judul Buku: Menghidupkan Gus Dur; Catatan Kenangan Yahya Cholil Staquf

Penulis: AS Laksana

Penerbit: LBBooks

Cetakan I: 2021

Tebal:158 halaman

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Scroll To Top