Arfi Pandu Dinata
Penulis Kolom

Mahasiswa, Pegiat Toleransi dan Perdamaian di Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) dan Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung.

Untuk Apa Belajar Teologi di Era Modern?

Santri Lirboyo

Seharusnya namanya bukan teologi lagi, sebab secara harafiah nama tersebut lebih merujuk pada ilmu tentang Tuhan, sedangkan Tuhan identik dengan Sosok yang Mahakudus. Padahal tidak semua agama percaya terhadap konsep ketuhanan yang seperti itu, maka alangkah lebih baiknya kita perluas makna dari teologi itu sendiri.

Teologi yang dimaksud dalam bahasan kali ini lebih mengacu pada ilmu agama yang memiliki cita-cita normatif untuk membangun spiritualitas, etika, iman, dan religiusitas dari penganutnya. Sebuah ilmu agama yang mengajarkan cara menjadi orang percaya yang utuh, membangun ketaatan, dan menjalankan ajaran agamanya dengan baik.

Teologi tentunya bekerja untuk memproduksi banyak argumen-argumen apologetik. Ia tak menungu rangsangan eksternal untuk berdialektika, antitesis lahir dari dirinya sendiri. Teologi berdiri di atas suatu aksioma dasar yang bernama kepercayaan. Umat muslim mengambil kepercayaan bahwa Tauhid adalah konsepsi yang benar tentang keesaan Allah. Pada hari-hari berikutnya, Tauhid ini akan terus menjadi pijakan bagi berteologi dalam konteks Islam, sekalipun bisa jadi hasilnya saling bertentangan antarsesama teolog muslim.

Di atas aksioma tersebut, para teolog terus mengupayakan eksplorasi yang mendalam terkait narasi-narasi di lingkup imannya sendiri. Sebisa mungkin seorang teolog Yahudi akan mencari penjelasan yang argumentatif untuk membenarkan bahwa peristiwa Paskah itu sungguh adanya. Dalam agama Hindu, tentunya banyak deskripsi yang berusaha menjangkau tentang kebenaran tradisi-tradisi Veda.

Baca juga:  Menjelajahi Kasepuhan Islam Ciptagelar

Oleh karena itu teologi memang cenderung menyuguhkan pengetahuan agama yang kreatif dan variatif, sebab ia terus diproduksi sepanjang masa. Teologi merupakan penjelajahan tanpa henti yang dengan sekuat tenaga mendorong terjadinya relevansi dan konteksualisasi ajaran agama tehadap pengalaman manusia yang partikular. Seorang teolog akan terus ditantang untuk menjawab segala macam persoalan yang kerap dibenturkan dengan agama. Sebagai contoh Buddha di Indonesia mesti memformulasikan konsep ketuhanan agar tetap bisa beradaptasi dalam suatu iklim politik yang menyeret-nyeret identitas keagamaan. Sama halnya dengan penerbitan dokumen Nostra Aestete oleh pihak Gereja Katolik Roma sebagai respons akan keberagaman agama. Inilah dunia teologi.

Pada awalnya teologi zaman klasik lebih suka menyoal ketinggian langit, sangat mungkin tujuannya diarahkan untuk membangun resistansi ajaran agamanya itu sendiri. Wacananya meliputi teodisi atau keadilan Tuhan, kehendak bebas manusia, sumber otoritas keagamaan, dan hal-hal metafisik lainnya. Sedangkan pada perkembangan selanjutnya, rupanya teologi menumbuhkan kepekaan terhadap realitas sehari-hari yang lebih konkret.

Perlu diakui bahwa kajian teologi cukup berkembang pesat dalam tradisi Kekristenan dan Islam. Alasannya bisa jadi sangat banyak, tapi kita sama-sama tahu kalau keduanya begitu mengutamakan ortodoksi sebagai identitas religius.

Kembali pada bahasan tentang teologi modern yakni sebuah teologi yang membumi, yang dapat dimengerti sebagai perjumpaan langit dan bumi yang ‘pernah’ berjarak. Bahasa langit dialihbahasakan dalam bahasa dunia yang manusiawi. Kehendak Supranatural selalu dikondisikan dengan pengalaman manusia itu sendiri sebagai pengamalnya. Pada zaman kini agama-agama ditantang untuk mampu menyelesaikan persoalan keadilan gender, krisis lingkungan, kemiskinan struktural, dan perdamaian dunia. Karenanya agama menjadi lebih mampu untuk sintas dalam situasi kini, walaupun gempuran modernitas terus datang bertubi-tubi.

Baca juga:  Berkanjang di Ruang Ambang: Ronggawarsita dan Kesendiriannya

Orang-orang yang bergelut di dunia teologi, bukan sekedar orang-orang yang berdiam di suatu lokus untuk menerima warisan ajaran agama dari para gurunya. Tradisi ini akan terus berlangsung tanpa pernah meninggalkan aspek kegunaan berteologi dalam masyarakat. Teologi mau tidak mau harus menyentuh tanah.

Maka berbagai bidang hermeneutika kitab suci, kajian filsafat agama, atau metodologi penetapan hukum agama tidak pernah terpisah dari persoalan tagar yang sedang ramai di jagat Twitter, challenge yang sedang viral di Instragram, hoaks yang lagi menjamur di grup Whatsaap, dan video yang sedang trending di Youtube.

Agama tidak pernah lepas dari kehidupan di bumi, dengan begitu teologi adalah bentuk cinta agama pada kehidupan ini. Teologi meluruskan distorsi iman yang menepikan segala hal-ikhwal duniawi. Apalagi berbicara tentang teologi modern yang tidak lagi menyangkal kehidupan dunia dengan memaki-makinya sebagai realitas semu, sumber kebodohan, nafsu, najis, kotor, dosa, dan ilusi. Tapi kini, teologi terus membaca ulang segala hal tentang dunia.

Setelah agama yang semula sifatnya ideal-imajiner lalu masuk dalam keseharian manusia, pada saat itu jugalah agama menjadi bagian dari suatu kebudayaan. Agama menjadi serupa dengan ideologi, sistem ekonomi, pemikiran filsafat, atau gerakan politik, yang berarti siap untuk dihujani kritik. Dalam tataran agama yang kultural ini, sifatnya menjadi sangat fleksibel dan terbuka. Tafsir-tafsir keagamaan bisa dengan mudah diperdebatkan, atau dicarikan alternatif lain. Begitu seru bukan berteologi?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top