Beredar taushiyah (nasihat) yang menyatakan bahwa virus Corona belum bisa disebut “wabah-tha’un”, karena korbannya belum mencapai ribuan, tetapi baru mencapai ratusan. Atas dasar ini, tidak ada alasan untuk menjadikan Corona sebagai alasan syar’i (usdzur syar’i) untuk meninggalkan salat Jumat, jama’ah lima waktu, apalagi menutup umroh dan haji.
Dengan alasan itu, maka fatwa al-Azhar, Kerajaan Saudi Arabia, Pemerintah Indonesia, fatwa MUI, dan NU serta Muhammadiyah, yang menyatakan boleh meninggalkan, bahkan wajib meninggalkan Jumat karena pandemi Corona adalah keliru. Inilah pandangan sebagian (kecil) ulama dan masyarakat kita. Apakah benar pandangan dan kesimpulan ini?
Jawabnya adalah kesimpulan ini tidak salah, karena ia dirumuskan dari logika (mantiq) yang secara formil benar:
Jum’at gugur karena udzur syar’i
Corona bukan udzur syar’i
Maka corona tidak mengugurkan Jumat.
Inilah logika manthiqi. Namun logika mantiqi bisa salah dalam perumusan kesimpulan, jika premis premisnya tidak di tashawwur dan tashdiq secara benar. Misalnya premis yang menyatakan bahwa “Corona bukan udzur syar’i”.
Atas dasar apa Corona di-tashdiq bukan udzur syar’i? Menurutnya, karena bukan wabah. Mengapa bukan wabah?
“Karena korbannya sedikit,” jawab mereka. Berarti untuk menyebut Corona sebagai wabah harus menelan korban ribuan atau puluan korban dulu. Setelah menelan korban ribuan atau puluhan ribu, baru disebut wabah dan baru bisa sebagai alasan syar’i menggugurkan kewajiban tertentu.
Nah, ditingkat premis inilah, seseorang bisa “tersesat” karena tashawwur (konsep, deskripsi) dan tashdiq-nya “tersesat”. Pertanyaannya, apakah untuk menyebut Corona sebagai wabah harus membunuh ribuan orang dulu? Apa tidak cukup dengan “adanya potensi membunuh” puluhan ribu orang sudah bisa disebut mewabah? Dan apakah contoh lockdown di China, Italia, dan di banyak negara tidak cukup buat kita?
Perdebatan ini dalam tradisi fikih sesungguhnya sudah jamak terjadi. Misalnya dalam kasus minuman khamer yang memabukkan. Khamer adalah haram karena memabukkan (definisi mabuk apa? Ini bahasan tersendiri). Apakah untuk membuktikan memabukkan harus minum khamer dulu? Setelah benar benar mabuk (bil fi’li) baru haram? Apakah cukup “dengan adanya potensi memabukkan (bil quwwah)” berdasar tajribah (pengalaman) dan kajian ilmiyah bahwa khamer memabukkan? Ada contoh juga yang menggelikan, yang sering jadi bahan humor, tentang apakah hadiah surah al-Fatihah bisa diterima si jenazah atau tidak. “Kalau kamu tidak percaya, coba mati dulu,” jawabnya, meski ketus tapi benar..haha..
Menurut kitab kitab fikih, untuk menyatakan bahwa khamer memabukkan dan karenanya haram tidak perlu dibuktikan dengan meminum dulu, terus mabuk, terus haram. Tetapi cukup “dengan adanya potensi memabukkan” berdasar pengalaman dan kajian ilmiyah oleh ahlinya: khamer haram.
Kalau didekatkan dengan virus Corona, untuk menyatakan bahwa Corona adalah wabah, pandemi, di indonesia tidak perlu menunggu Corona di Indonesia membunuh puluhan ribu orang, melainkan cukup dengan “adanya potensi membunuh” berdasar pengalaman di berbagai negara dan kajian ilmiyah dari ahlinya, jika tidak dicegah dan diantisipsi sejak awal.
Jadi putusan MUI, LBM NU, dan juga kebijakan pemerintah sudah tepat secara fikih, syar’i, secara tradisi dalam Islam. Kalian bisa mendapat dua pahala, pahala ijtihad dan pahala kebenaram ijtihad. Dua pahala ini jika diterima, cukup sebagai bekal masuk Surga.
Tapi saya menyarankan tidak perlu ada gerakan mengawal fatwa, apalagi dengan demo segala. Yang terahir ini tidak perlu.
Pemahaman agama tidak cukup hanya berpijak pada teks Qur’aniyah Tanziliyyah, melainkan perlu juga pendekatan teks Kauniyah Ilmiyah. Wallahu A’lam