Sedang Membaca
FPI Bubar, Politisi Gusar
Imam Jazuli
Penulis Kolom

Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon, Jawa Barat.

FPI Bubar, Politisi Gusar

Habib Rizieq Shihab Pulang 26 169

Pembubaran ormas FPI oleh Kemenkopolhukam di akhir tahun 2020 adalah sebuah kado dan ini membuat gusar banyak politisi, diantaranya Anggota Komisi VIII Fraksi PKS, Bukhori Yusuf. Setelah sebelumnya kegusaran yang sama ditunjukkan oleh Fadli Zon dari Gerindra terkait Menteri Agama.

Menurut Bukhari Yusuf, pemerintah telah melakukan langkah mundur dengan menciderai amanat reformasi, khususnya kebebasan berserikat. Topik ini menyusul populisme Islam versi Fadli Zon, yang bau-baunya mau dipolitisir untuk mendukung eksistensi ormas FPI.

Sebenarnya, ide yang jauh lebih kritis dibanding politisi Gerindra dan PKS itu, adalah gagasan yang dilontarkan politisi Partai Gelora, Fahri Hamzah. Dengan nada cukup ilmiah, Fahri mengatakan para intelektual pemerintahan tidak gemar membuka dialog. Padahal dialog adalah ciri ilmu pengetahuan. Dan ilmu pengetahuan lebih abadi dibanding kekuasaan di tangan pemerintah.

Fahri menambahkan, dialog keterbukaan dan demokrasi adalah jalan bersama untuk mengkritik kekuasaan yang sering menyimpang. Dengan kata lain, Fahri ingin menyimpulkan, pemerintah yang condong menutup dialog terbuka dan demokrasi hanya ingin melanggengkan kekuasaannya yang sering menyimpang.

Dari semua argumen politisi senior di atas, hanya representasi Partai Gelora yang paling tajam. Namun, Fahri harus ingat dua momentum dalam sejarah kebangsaan kita, pertama: ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) resmi dibubarkan, dan kedua: ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga dibubarkan tahun lalu.

Baca juga:  Newt Scamander dan Mazhab Sihir Wasatiyah

Dua peristiwa di atas menunjukkan pemerintah sah dan berwenang membubarkan ormas, bahkan partai politik, yang dinilai berbahaya.

Bagi pemerintah, pembubarkan ormas FPI tidak jauh beda dengan HTI. Prof. Mahfud MD, sebagai representasi kekuasaan pemerintah, menyebutkan FPI berbaiat kepada kelompok teroris Islamic State in Iraq and Syria (ISIS).

Dengan kata lain, argumentasi politisi dari tiga partai ini hanya bisa diterima bila bagi mereka ormas yang anti-Pancasila boleh eksis, entah atas nama kebebasan berserikat, atau dialog terbuka dan demokrasi.

Ditambah lagi, anggota FPI pernah menyatakan baiat terhadap ISIS. Jika ormas dengan anggota demikian itu masih layak dipertahankan, maka atas nama dialog terbuka, demokrasi, dan kebebasan berserikat, ormas HTI tidak sah dibubarkan. Bahkan, Partai Komunis Indonesia juga tidak sah dibubarkan, atas nama amanah reformasi, demokrasi, kebebasan.

Dengan dasar inilah, penting kiranya kita bersama-sama memaknai pengertian spirit reformasi yang objektif dan tidak parsial. Jika spirit reformasi (kebebasan berserikat) yang dimaksud Bukhari Yusuf (PKS) itu hanya untuk FPI agar tidak dibubarkan, betapa sempitnya itu.

Bukan saja ormas FPI yang harus dibela, tetapi juga ormas radikal seperti HTI. Bahkan, partai politik seperti PKI juga layak mendapatkan pembelaan, atas nama amanah reformasi, kebebasan berserikat dan dialog demokrasi. Puncaknya, tidak satupun ormas boleh dibubarkan walaupun mengancam bangsa dan negara.

Baca juga:  Wabah Corona, Momentum Memperkuat Keluarga dan Kekeluargaan

Jika ini maksud amanah reformasi, sungguh tidak bisa dibayangkan apa masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Amanah reformasi tidak demikian. Kebebasan berserikat harus konstruktif, bukan destruktif, serta harus taat hukum. Sementara ormas FPI menolak taat hukum. Tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Bagaimana mungkin ormas yang tidak taat hukum harus dibela atas nama amanah reformasi dan dialog demokrasi?

Jauh hari pemerintah sudah membuka ruang dialog terbuka sebagaimana diusulkan Fahri Hamzah. Pemerintah hanya minta satu hal dari FPI, yakni pernyataan tegas untuk setia pada Pancasila. Jika syarat itu terpenuhi, pemerintah bisa menerbitkan SKT buat FPI. Apakah ormas semacam itu masih patut dibela?

Jelas memang benar bahwa ilmu pengetahuan lebih abadi dibanding jabatan dan kekuasaan, seperti Fahri Hamzah katakan. Salah satu bukti ilmu itu abadi adalah ingatan publik bahwa ormas yang tidak setia pada Pancasila seperti HTI pantas dibubarkan. Atas dasar konsistensi inilah, FPI layak dibubarkan, baik menurut penguasa maupun sebagian publik di luar kekuasaan.

Di Twitter, misalnya, Tagar Pembubaran FPI sempat viral. Bersaing dengan Tagar Dukungan pada FPI. Apapun argumentasi mereka, polarisasi publik adalah kenyataan sosial politik. Polarisasi ini menuntut sikap dari penguasa. Hanya kebetulan saja, penguasa pro terhadap pembubaran FPI. Ini sah-sah saja.

Baca juga:  Piala Dunia dan Qiyas dalam Kisah Maroko

Jika Fadli Zon, Bukhari Yusuf, dan Fahri Hamzah kebetulan tidak sepakat pada kebijakan penguasa membubarkan FPI, masih ada kesempatan untuk memperbaiki keadaan, yakni di Pilres 2024 nanti. Tiga politisi senior ini harus mampu partai-partai mereka duduk di tampuk kekuasaan.

Bila kelak sudah berkuasa, silakan membangun argumentasi apapun untuk membangkitkan kembali FPI secara administratif, bahkan silahkan mengatur rencana untuk membebaskan Habib Rizieq Shihab (HRS) dari penjara. Mekanisme politik sudah jelas. Silahkan tiga partai bersekutu untuk membuktikan FPI dan HRS itu benar.

Sampai di sini, kegusaran politik dari Fadli Zon, Bukhari Yusuf, dan Fahri Hamzah adalah hal wajar. Kritik-kritik mereka kadang-kadang perlu didengar. Namun, bukan berarti di luar pemikiran mereka tidak ada pemikiran tandingan lain, yang lebih layak untuk publik, untuk kehidupan bersama. Wallahu a’lam bis sowab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top