Dalam berbagai kisah lama, seperti riwayat Uwaisy al-Qarni, banyak ulama yang dianggap mencapai derajat kewaliannya karena penghormatannya yang luar biasa terhadap ibu. Setelah ibunya wafat, barulah ia menikah dengan pasangan yang dipilihkan oleh guru untuknya. Tentu saja, peristiwa seperti ini cukup langka terjadi.
Lalu, kapan seorang santri merasa pantas untuk mukim? Jawaban yang paling tepat adalah saat sudah mendapat perkenan ajengan.
Mukim adalah berdiam untuk selamanya di suatu tempat setelah dianggap cukup mengaji. Bisa di kampung halaman, bisa pula di tempat lain yang memintanya untuk datang mengabdi. Lain pesantren berbeda cara dalam me-mukim-kan santrinya.
Di Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya misalnya, setelah seorang santri dianggap pantas untuk mukim, ia akan diantarkan. Ajengan akan datang ke tempat santri dan menitipkannya kepada masyarakat sekitar, agar mendukung kehadirannya di tempat tersebut.
Ada pula pesantren yang membekali seorang calon ajengan dengan beberapa orang santri.
Saat pulang, beberapa orang santri diminta menemani ajengan muda ke tempat baru. Para santri titipan itulah yang menghidupkan sebuah pesantren baru. Keikutsertaan mereka menjadi semacam pemancing bagi warga sekitar untuk ikut mengaji. Dengan cara ini, sejak awal kehadiran di suatu tempat, ajengan baru itu bisa langsung berativitas, yakni mengajar santri.
Di sejumlah pesantren proses mukim sepenuhnya diserahkan kepada kesiapan santri. Tidak ada proses penitipan kepada masyarakat atau pembekalan santri saat pulang.
Namun ajengan tidak sepenuhnya lepas tangan. Diam-diam, ajengan menemui ulama setempat yang paling berpengaruh. Ia menitipkan muridnya agar mendapat bimbingan dari sang ulama. Lalu suatu waktu saat santrinya datang sowan, ajengan menganjurkannya agar menjalin hubungan baik dengan ulama tadi. Ajengan tidak menjelaskan bahwa ia telah menitipkan atau apa pun. Dengan cara ini dimaksudkan agar santri itu bisa mandiri sejak awal. Kalau ia bermental kuat maka semua ujian akan mampu dilewati. Sebaliknya kalau ia epes meer, bermental lemah, sekalipun dititipkan dan dibekali santri, ia tetap tidak layak jadi panutan umat.
Lain koki lain masakan, beda pesantren beda cara mengkader santrinya.