Al-Qur’an merupakan sebaik-baiknya teman membaca, seberapa pun orang membacanya berkali-kali pasti tidak menemukan rasa bosan. Hal ini senada dengan syair gubahan Syekh Ibn ‘Iraq al-Dimasyqi (878-933 H) yang berbunyi:
كَلَامٌ قَدِيْمٌ لَا يُمَلُّ سَمَاعُهُ * تَنَزَّهَ عَنْ قَلْبٍ وَفِعْلٍ وَنِيَّةٍ
(Al-Qur’an adalah kalamullah yang qadim, yang tidak ada kebosanan untuk didengarkan)
Makna samâ’uhu (didengarkan) tentu tidak lepas dengan kata turunannya, yakni tilâwatuhu (membacanya). Artinya orang yang membaca Al-Qur’an tersebut, tentu membacanya dengan tartil, bagaimana mungkin pendengar tidak merasa bosan bila pembacanya saja tidak tartil?. Sebuah maqâla ulama menyebutkan:
كُلُّ مُكَرَّرٍ مَمْلُوْلٌ اِلَّا اْلقُرْآنُ
(setiap yang diulang-ulang itu membosankan kecuali Al-Qur’an).
Kenapa Harus Tartil?
Alasan membaca Al-Qur’an harus tartil adalah:
Pertama, perintah Allah dan Rasulullah; warattilil qur’âna tartîlâ (dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil)[surat al-Muzammil: 4]. Imam Al-Razi dalam tafsirnya memberi penjelasan pada ayat tersebut: lafal tartîlâ (ترتيلا) merupakan penegasan terhadap perintah wajib tartil bagi qari (pembaca).
Lanjutnya, Imam Al-Razi mengutip pendapat Imam Az-Zajjâj, bahwa maksud dari tartil adalah:
رَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا، بَيِّنْهُ تَبْيِينًا، وَالتَّبْيِينُ لَا يَتِمُّ بِأَنْ يَعْجَلَ فِي الْقُرْآنِ، إِنَّمَا يَتِمُّ بِأَنْ يَتَبَيَّنَ جَمِيعَ الْحُرُوفِ، وَيُوَفِّيَ حَقَّهَا مِنَ الْإِشْبَاعِ
Artinya, membaca dengan jelas di setiap hurufnya. Membaca jelas tidak akan sempurna bila seseorang membacanya terburu-buru. Menyempurnakan bacaan hanya bisa dilakukan dengan menjelaskan seluruh huruf dan memenuhi hak bacaan dengan benar. (Al-Râzi, Mafâtih al-Ghaib, [Beirut, Dâr Ihyâ’ al-Turâts: 1420 H], juz. 30, halaman 683).
Intinya, secara umum tartil adalah membaca Al-Qur’an dengan pelan dan jelas. Sebab dengan membaca demikian, seseorang akan menyesuaikan hak-hak huruf dan hukum bacaannya.
Kedua, agar bisa menghayati kandungan makna Al-Qur’an.
Hal ini telah diungkapkan oleh Imam Al-Suyuthi dalam kitab al-Itqân, halaman 225, bahwa menghayati dan memahami isi kandungan Al-Qur’an merupakan goal yang dituju. Sebab hal itu akan membuka dan mencerahkan hati seseorang.
Dengan begitu, orang yang membaca Al-Qur’an dengan tartil, akan menemukan makna-makna agung yang tersirat di setiap ayat-ayat Al-Qur’an. Ia akan memperhatikan ayat-ayat perintah dan larangan sehingga bila ia merasa telah berbuat buruk, ia akan memohon ampunan.
Bilamana ia melewati ayat tentang rahmat, ia akan senang dan memohon rahmat-Nya. Bila ia membaca ayat tentang siksa ia akan memohon kasih sayang dan perlindungan-Nya. Bila ia melewati ayat tentang keagungan Allah ia mengagungkan-Nya, atau ayat doa ia akan merendah dan memohon kebaikan-Nya.
Hal inilah yang dipraktekan Nabi Saw., sebagaimana kisah sahabat Hudzaifah yang melaksanakan shalat malam bersama Rasulullah. Ia mengatakan bahwa saat Nabi melewati ayat tentang tasbîh, beliau mengagungkan-Nya. Saat melewati ayat permohonan, beliau memohon kepada-Nya, dan saat melewati ayat perlindungan, beliau meminta perlindungan kepada-Nya. [Lihat kitab shahîh Muslim, no. 772, bâb istihbâb tathwîl al-qirâ’ah fî shalât al-lail].
Batasan atau Tingkatan Tartil
Syekh Nuruddin ‘Itr dalam kitabnya Ulûm al-Qur’ân al-Karîm membagi batasan tartil ke dalam 3 batasan: batasan minimal wajib (أدنى واجب), batasan sempurna sunah (كمال مستحب), dan batasan paling sempurna (أكمل الترتيل)
Pertama, batasan minimal wajib adalah jelas dalam pelafalan huruf. Artinya seseorang tidak membacanya dengan tumpang tindih (mencampurkan huruf satu dengan lainnya) serta tidak ada kekeliruan dalam pengucapan makharijul huruf dan kewajiban hukum bacaan, seperti idzhâr, idghâm, mâd (panjang), atau selainnya. Sebab pengamalan semua ini hukumnya wajib.
Menambahkan pendapat Imam Al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
أقل الترتيل ان يأتي بما يبين ما يقرأ به، وان كان مستعجلا في قراءته
Artinya: minimal tartil adalah seseorang membaca dengan jelas apa yang ia baca meskipun ia cepat dalam membacanya. (Al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, [Kairo, Dâr al-Turâts:-], juz I, halaman 450).
Kedua, batasan sempurna tartil adalah memenuhi kewajiban huruf dengan sempurna. Artinya membaca huruf mâd dengan sempurna, membaca dengan pelan, berhenti di antara nafas satu dengan lainnya, dan memperhatikan wuqûf (tempat berhentinya lafal/ayat), dan seterusnya.
Ketiga, batasan paling sempurna tartil adalah berhenti pada huruf dan mâd-nya, selama jeda itu tidak berlebihan. Maksudnya adalah orang yang membaca Al-Qur’an dianjurkan berhenti sejenak demi menghayati maknanya.
Seperti halnya ia membaca ayat ancaman, ia mengucapkan doa perlindungan, bila ia membaca ayat ta’dzîm, ia mengucapkan keta’dzimannya, dan seterusnya. (Nuruddin ‘Itr, Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, [Damaskus, al-Mishbâh: 1993 M/1414 H], halaman 282).
Kisah Bacaan Rasulullah dan Sahabat
Sedikit saya kisahkan suatu waktu sahabat Anas Ra. pernah ditanya tentang bagaimana cara Rasulullah membaca Al-Qur’an, ia menjawab bahwa Rasulullah membacanya dengan mad (panjang). Hal ini terpotret dalam hadis riwayat Bukhari no. 5046:
عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: سُأِلَ اَنَسٌ كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: كَانَتْ مَدًّا، ثُمَّ قَرَأَ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، يَمُدُّ بِبِسْمِ اللهِ، وَيَمُدُّ بِالرَّحْمٰنِ، وَيَمُدُّ بِالرَّحِيْمِ.
Artinya: diriwayatkan dari Qatadah Ra. ia berkata: Anas pernah ditanya: bagaimana bacaan Rasulullah saw. (saat membaca Al-Qur’an), Ia menjawab: bacaan Rasulullah dibaca mâd (panjang), lalu Anas membaca: bismillâhir rahmânir rahîm, dengan memanjangkan lafal Allâh (pada lam jalalah), ar-rahmân (pada mimnya), dan ar-rahîm (pada ha’nya). (Al-Bukhari, Shahîh Bukhârî, [Beirut, Dâr Ibn Katsîr: 1423/2002], halaman 1287).
Kisah berikutnya saya sajikan dari segi bacaan sahabat Nabi. Salah satu sahabat yang diberikan anugerah akan suara dan tajwid Al-Qur’an yang bagus adalah Abdullah bin Mas’ud Ra.
Ibnu Mas’ud bercerita: Nabi Saw. pernah menyuruhku membaca Al-Qur’an. Nabi berkata: “bacakanlah Al-Qur’an untukku” pinta beliau. Ibnu Mas’ud berkata: Wahai Rasulullah, apakah saya akan membacakan Al-Qur’an kepada Anda, padahal Al-Qur’an diturunkan kepada Anda”.
Nabi menjawab: “Iya, benar”. Akhirnya saya membaca surat an-Nisa’ hingga pada ayat (ke-41):
{فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ، وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا}
(Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), jika Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka).
Nabi berkata: “Cukup sekarang”, lalu saya menoleh kepada Nabi, dan saya lihat kedua mata beliau berlinang air mata. (Al-Bukhari, Shahîh Bukhârî, no. 5050, halaman 1288). Wallahu a’lam.