Irfan Fauzi
Penulis Kolom

Santri di PP. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Alumni Kajian Kepenulisan NU Online 2021. Tim Jurnalistik di PP. Al-Munawwir dan PP. Kempek.

Kitab Sunda ‘Al-Risalah Al-Nafisah’ Karya Kiai Abdurrohim: Pemahaman Seputar Najis

Risalah Al Nafisah

Salah satu khazanah keilmuan lokal di Indonesia yang kurang perhatian oleh khalayak umum adalah karya-karya Ulama Nusantara. Meskipun para filolog dan masyarakat tertentu menaruh perhatian dalam melestarikan manuskrip karya ulama setempat, namun tetap saja beberapa informasi akan eksistensi karya-karya tersebut masih terbilang kurang terekspos. Di sini, penulis menemukan sebuah kitab yang telah terkodifikasi dalam bentuk tulisan tangan berisi pembahasan fiqhiyyah yang fokus pada bab najis.

Nama kitab yang dimaksud adalah Al-Risalah Al-Nafisah fi Bayan Al-Najasah (naskah kecil yang indah dalam menjelaskan masalah najis). Kitab cetakan Al-Tanwir asal Cianjur ini disusun oleh ulama lokal yang berkediaman di desa Cipeundeuy, Bojong, Purwakarta, beliau adalah K.H Abdurrohim.

Latar Belakang Penulisan Kitab

Nama penyusun kitab ini adalah Abdurrohim bin Tarmidzi. Beliau dilahirkan di desa Mirat Majalengka pada tahun 1917 M. Beliau meninggal pada tanggal 10 Oktober 1993 dan dimakamkan di desa Ciparay Majalengka. Sejak kecil sampai beranjak dewasa, Abdurrohim memiliki jiwa semangat dalam mencari ilmu, beliau melakukan pencarian ilmu dari satu daerah ke daerah lain. Di antaranya Dukuhasih Mirat yang diasuh K.H Anshor bin Muthohir, Kempek Cirebon yang diasuh K.H Umar Sholeh, hingga Sempur Purwakarta yang diasuh K.H Tb. Ahmad Bakri.

Persoalan najis sampai saat ini selalu menjadi momok obrolan di kalangan masyarakat. Sebab kodratnya perihal najis selalu berdampingan dalam kehidupan ini. Oleh karenanya, persoalan najis meskipun telah dipelajari tetap saja dalam hal-hal tertentu sebagian masyarakat kerap mempertanyakan perkara suci dan najis.

Baca juga:  Sabilus Salikin (50): Sejarah Perkembangan Tarekat Junaidiyah

Kitab Al-Risalah Al-Nafisah ini merupakan sedikit jawaban atas keresahan-keresahan yang terjadi di kalangan masyarakat. Pembahasan yang dibalut dalam bentuk puisi (nadzam) sunda ini memang diperuntukkan khusus kalangan warga setempat yang mayoritas bumi sunda. Tak ayal, tulisan dalam karangan-karangannya pun mengikuti budaya bahasa lokal yang ada.

Kitab setebal 29 halaman ini, berjumlah 340 butir nadzam (termasuk di dalamnya ada 3 fasal). 20 butir untuk muqaddimah kitab, 16 butir untuk fasal pertama, 304 butir untuk fasal kedua, dan terakhir untuk fasal ketiga, penutup.

Berikut penulis nukilkan 3 bait nadzam puisi bahr wafir ini, yaitu:

“Ari sadayana puji nu sampurna – Kagungan Allah anu shifat karimna”
(Segala puji yang sempurna – Hanya milik Allah dzat yang Maha Mulia)
“Tur dzat anu netkalana ngajanjian – Ku fadhalna mangka nya terus nyumponan”
(Dan dzat yang bila memberikan janji – Dengan anugerah-Nya, Ia kabulkan)
“Ari rahmat Allah sinareng salamna – Mugi tetep kajeng Nabi nu raufna”
(Rahmat dan keselamatan Allah – Semoga tercurah pada Nabi sang pemberi maaf)

Fasal pertama, Muallif menyinggung pengertian najis dari sisi lughat dan syara’. Ia menagatakan bahwa najis secara lughat (terminologi) adalah hal-hal yang dianggap jijik menurut adat meskipun suci secara syara’. Di antara contohnya adalah ingus, ludah, kotoran mata/hidung, riak, dan sebagainya.

Secara syara’ (etimologi) najis adalah hal-hal yang mampu mencegah keabsahan shalat (mubthilatis-shalah) selama tidak ada kemurahan dari syariat. Apa saja kemurahan syariat itu? Muallif menyebutkan seperti orang yang tidak menemukan air dan tanah, maka boleh untuk shalat dalam kondisi membawa najis, namun wajib mengulang (i’adah) shalatnya ketika sudah menemukan air dan tanah. Kemurahan syariat lainnya adalah najis-najis yang dimaafkan (ma’fu) sebab hal itu tidak membatalkan shalat.

Baca juga:  Kuntowijoyo Memantik Geliat Politik Umat

Pasal Kedua, Muallif membagi jumlah najis ke dalam 22 macam. Jumlah tersebut didapatkan berdasarkan hasil penelitian Muallif. Penulis akan menyebutkan beberapa penjelasan yang dirasa penting, yaitu: 1) Seluruh air kencing; 2) Air madzi, indikatornya cair, bening, kental, dan keluarnya disaat syahwat tengah memuncak; 3) Air madi, cirinya cair, keruh, agak putih, dan kental.

4) Kotoran manusia atau hewan kecuali kotoran yang dimaafkan; 5) Anjing; 6) Babi; 7) Keturunan anjing dan babi, kemudian Muallif mengulas sepuluh sifat terpuji yang dimiliki anjing (terlampir di dalam kitab). 8) Mani Anjing dan Babi, artinya hewan yang selain kedua ini seperti kucing atau harimau, air maninya dianggap suci; 9) Air luka yang sudah berubah kecuali air luka yang belum berubah hukumnya suci; 10) Darah bening berwarna semu merah atau nanah abu-abu; 11) Nanah berwarna agak semu hijau; 12) Air Empedu, yaitu air berwarna hitam atau kuning dan rasanya pahit. Sedangkan kantungnya hukumnya mutanajjis.

13) Benda cair yang memabukkan, seperti arak. Sementara benda padat yang memabukkan, seperti Opium atau Ganja, hukumnya tidak najis namun mengonsumsinya hukumnya haram; 14) Sesuatu yang keluar dari mulut melebihi batasan makhraj ha’ (ح), seperti muntah yang ada rasanya atau yang bentuknya masih utuh; 15) Air liur yang keluar dari dalam perut.

Baca juga:  Sabilus Salikin (26): Akhlak Mulia (Husnul Khuluq)

16) Air susu dari hewan yang haram dimakan dagingnya, seperti kucing/monyet. Adapun susu manusia hukumnya tetap suci meskipun haram memakan dagingnya; 17) Semua bangkai kecuali bangkai Manusia, Belalang, dan Ikan. Juga hewan yang disembelih tidak sesuai dengan tuntunan syara’. 18) Telur yang diambil dari bangkai hewan; 19) Darah kecuali Hati dan Limpa; 20) Makanan yang sudah dikunyah hewan; 21) Asap hasil pembakaran barang najis; 22) Racun hewan yang memiliki bisa, seperti Ular, Kelabang, atau Kalajengking. Adapun anggota hewan yang terputus dari tubuh disaat hidupnya hukumnya sama halnya dengan bangkai.

Fasal ketiga, penulis berasumsi Muallif belum sempat melanjutkan fasal ini secara sempurna, sebab pembahasan yang diuraikan Muallif berhenti pada redaksi, “Seluruh najis terbagi menjadi empat bagian”. Setelah itu, redaksi ditutup dengan keterangan penutup.

Kitab Risalah ini sebagaimana sesuai dengan maknanya yakni naskah kecil yang unik namun luas maknanya, disusun dalam bentuk untaian puisi sunda serta di dalamnya terselip semangat Muallif bahkan beliau sendirilah yang meneliti dan menelaah kasus-kasus najis yang selalu dipersoalkan di masyarakat umum. Kitab yang ditulis oleh Muhammad Amin murid dari Asef Abdurrahman al-Khathath ini berkolofon pada tanggal 14 Muharram 1414 H atau 04 Juli 1993 M.

Sumber Referensi: Hasil wawancara dan olah data penulis pada yang bersangkutan.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Scroll To Top