Sedang Membaca
Ibu dalam Islam
Husein Muhammad
Penulis Kolom

Pencinta kajian-kajian keislaman, utamanya di bidang ilmu fikih, tema-tema keperempuanan, dan ilmu tasawuf. Menulis beberapa buku, aktif di pelbagai forum kajian, baik nasional ataupun internasional. Tinggal di Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, Jawa Barat

Ibu dalam Islam

Ibu dalam pandangan Islam adalah sumber dan poros kehidupan. Di tangannyalah kebahagiaan manusia dipertaruhkan. Nabi mengatakan :

الجنة تحت اقدام الامهات

“Sorga ada di telapak kaki ibu”.

والطبراني في “المعجم الكبير” بإسناد حسن، وصححه الحاكم ووافقه الذهبي، وأقره المنذري، من حديث معاوية بن جاهمة: أنه جَاءَ النَّبِيَّ صلَّى الله عليه وآله وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُكَ أَسْتَشِيرُكَ، فَقَالَ: «هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ»؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَالْزَمْهَا؛ فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلِهَا».

Imam al-Thabarani dalam “Al-Mu’jam ak-Kabir” (Ensiklopedi hadits) menyebutkan melalui transmisi yang baik, disahihkan oleh Imam Al-Hakim, disepakati oleh Imam al-Dzahabi dan diakui oleh Imam al-Mundziri sebuah hadits dari Muawiyah bin Jahimah: “dia menemui Nabi dan menyampaikan keinginannya ikut perang. Nabi bertanya : “apakah kamu masih punya ibu?”

Ia menjawab :”Ya, masih”. Nabi mengatakan: “temani dan berbaktilah kepadanya. Karena sorga ada di bawah kakinya.”

Syeikh Muhammad al-Ghazali menyampaikan kata-kata yang indah :

إن ربت البيت روح ينفث الهناءة والمودة فى جنباته ويعين على تكوين انسان سوى طيب

“Seorang ibu adalah semilir angin sejuk yang menghembuskan nafas kedamaian dan kasih sayang ke seluruh ruang kehidupan. Dan ia sangat berpengaruh dalam pembentukan manusia yang baik”. (Muhammad Syeikh al-Ghazali, As-Sunnah an-Nabawiyyah Baina ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadits, Dar as-Syuruq, Beirut, 1988, hlm.125

Ibu juga adalah sosok manusia yang memperoleh penghargaan utama dibandingkan ayah. Ketika Nabi ditanya seorang sahabatnya:

من أحق الناس بحسن صحابتي؟ قال: أمك، قال ثم من ؟ قال: أمك ، قال ثم من ؟ قال: أمك، قال ثم من ؟ قال : أبوك . رواه البخارى ومسلم .

Baca juga:  Perempuan dalam Perspektif Islam dan Psikoanalisis (4): Lelaki Feminin dan Perempuan Maskulin

“Siapakah orang yang paling utama mendapat perlakuan yang baik?. Nabi menjawab: “Ibumu”. Sesudah itu?. Nabi mengatakan :”Ibumu”, lalu setelah itu?. Nabi sekali lagi menegaskan:”Ibumu”. Kemudian?. Nabi mengatakan: “ayahmu”. (Shahih Bukhari dan Muslim)

Lihatlah, Nabi yang mulia, mengulang-ulang kata “ibumu” sampai tiga kali. Boleh jadi saat beliau mengucapkannya, suara beliau naik perlahan dari nada rendah ke nada sedang lalu meninggi. Sesudah itu kata “kemudian ayahmu” diucapkan dalam nada datar. Jika demikian, maka Nabi sungguh-sungguh ingin agar audien yang diajak bicara benar-benar menghormati ibu.

Pernyataan Nabi di atas, agaknya merupakan penjelasan beliau atas wahyu yang diturunkan Allah kepadanya :

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang terus semaki lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.(Q.S. Luqman, [31]:14).

Di tempat lain disebutkan “

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan
sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. (Q.S. Al-Ahqaf, [46]:15).

Baca juga:  Catatan Refleksi Peran Perempuan di Masjid Selama Bulan Ramadan

Sungguh menarik bunyi dua ayat al-Qur’an di atas. Meski disebutkan agar seorang anak berbakti kepada kedua orang tuanya, yang tentu saja berarti ayah dan ibu, akan tetapi Allah tampaknya meminta perhatian agar berlaku baik itu lebih ditekankan kepada ibunya. Ini karena ibu dalam faktanya menanggung beban penderitaan jauh lebih berat daripada ayah. Ia mengandung selama kurang lebih sembilan bulan dalam keadaan sangat berat dan semakin berat, lalu melahirkan. Saat ibu melahirkan adalah saat beliau seperti sedang mempertaruhkan nyawanya. Jika kondisi kesehatan reproduksi ibu rapuh, karena banyak menanggung beban, maka potensi kematian itu ada di depan matanya. Dan ini semakin sering terjadi, sebagaimana fakta-fakta kematian ibu yang besar di atas. Sesudah itu ibu menyusui anaknya selama sekitar dua tahun, dengan mengorbankan kesenangan dirinya.

Naguib Mahfouz, pemenang Nobel Sastra, berkebangsaan Mesir, amat menarik ketika ia menyenandungkan puisinya yang teramat indah :

Jangan biarkan masa bayimu melupakan
Betapa melelahkannya pekerjaan ibumu setiap hari
Demi kesenanganmu. Ia mengandungmu di dalam rahimnya
selama Sembilan bulan, mendekapmu erat-erat…
memberimu makan dengan air susunya.
Janganlah membuatnya marah karena Tuhan mendengar keluhannya
Dan menjawab permohonannya.

(Nadjib Mahfouzh dalam “Khufu’s Wisdom”)

Bila kita sepakat bahwa ibu adalah sumber yang di tangannya terletak masa depan peradaban manusia, maka tergantung kita bagaimana memperlakukannya. Jika kita memandangnya sebagai manusia yang paling terhormat di muka bumi ini dan memperlakukannya dengan sebaik-baiknya, dengan penghormatan yang penuh kepadanya, maka masa depan kemanusiaan yang sejahtera akan segera lahir. Sebaliknya jika kita menganggapnya rendah, hanya karena dia seorang perempuan, lalu memperlakukannya dengan ucapan atau tindakan yang menyakitkan hatinya, bahkan melakukakan kekerasan terhadapnya, maka dunia kemanusiaan akan hancur berantakan.

Baca juga:  Adil Terhadap Perempuan (5): Kampus Darurat Kekerasan Seksual

Penyair Nil (Sya’ir al-Nil) ; Hafiz Ibrahim menyenandungkan puisi manis

الام مدرسة اذا اعددتها
اعددت شعبا طيب الاعراق
الام روض إن تعهده الحيا
بالرى اورق ايما إيراق
الام أستاذ الاساتذة الالى
شغلت مآثرهم مدى الافاق

Ibu adalah madrasah
Bila kau mempersiapkannya dengan baik
Kau mempersiapkan bangsa yang baik
Ibu adalah taman
Bila engkau merawatnya dengan air bening
Taman itu akan menumbuhkan pohon
Dengan dedaunan yang lebat menghijau
Ibu adalah maha guru
Jejak kakinya terpateri sepanjang zaman

Agama sudah memberikan petunjuk dan bahkan perintah kepada penganutnya untuk memuliakan ibu dan mengharamkan menyakitinya. Maka konsekuensi paling masuk akal dan bertanggungjawab bagi para pemeluknya adalah mematuhinya.
Catatan penting kita adalah bila idealitas agama ini tidak sejalan dengan realitas sosialnya, maka ini tentu menimbulkan sejulah pertanyaan adakah yang salah dalam pemahaman kaum muslimin terhadap ajaran-ajaran agamanya? Mengapa? Lalu bagaimana memperbaikinya?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top