Sedang Membaca
Mengulik Keunikan Kota Kudus: Antara Kerbau, Kurban, dan Kulinernya
Husna Zuhaida
Penulis Kolom

Lahir di Kudus, sekarang mengajar di SD Islam Al-Kautsar, Krian, Sidoarjo. Akun media sosial ig/facebook : @husnazuhaida/Husna Zuhaida

Mengulik Keunikan Kota Kudus: Antara Kerbau, Kurban, dan Kulinernya

Kuliner Kota Kudus

Kenapa di Kudus tidak menyembelih sapi saat perayaan Idul Adha? begitulah pertanyaan yang sering terdengar di telinga saya. Entah ingin memastikan atau sekadar basa basi kepada saya yang asli wong Kudus.

Pertanyaan itu tidak hanya saya dapat dari teman atau tetangga saja. Tapi juga dari sopir travel saat pulang kampung atau balik pondok. Biasanya mereka basa-basi bertanya,

“Mau pulang kemana, Mbak?”

“Kudus, Pak”

“Wah, Kudus itu ngga boleh nyembelih sapi ya pas Idul Adha?”.

Ketika momen Idul Adha, pertanyaan semacam itu akan lebih banyak ditanyakan lagi. Topik itu juga selalu hangat diperbincangkan sesama warga Kudus saat Idul Adha.

Alasan Mereka Bertanya

Sebagian orang yang bertanya tentang kenapa sapi tidak boleh disembelih di Kudus tidak mendapat informasi lebih lanjut. Jadi mereka memastikan apakah hal itu benar? Lalu bertanya bagaimana ceritanya ada larangan seperti itu?

Dengan pengetahuan seadanya saya akan bercerita jika tradisi itu terjadi karena dulu Sunan Kudus menjaga toleransi antara umat Hindu dengan muslim Kudus. Sehingga beliau melarang muslim menyembelih sapi, karena sapi adalah hewan yang dimuliakan umat Hindu. Cara dakwah bil hikmah Sunan Kudus ini juga bertujuan untuk menarik simpatisan hingga akhirnya mayoritas masyarakat Kudus memeluk Islam. Begitulah singkat ceritanya.

Aizid (2016) menuliskan bahwa pola akulturasi budaya dalam dakwah Sunan Kudus sebenarnya juga terlihat pada seni arsitektur menara Kudus yang dibangun menyerupai pura/candi sebagai peninggalan umat Hindu/Budha. Selain itu, konon dulu Sunan Kudus juga mengikat sapi di halaman masjid sehingga masyarakat Kudus yang menganut paham politeisme tertarik datang untuk melihat sapi kemudian Sunan Kudus akan memberi wejangan ringan terkait ajaran Islam.

Baca juga:  Kisah Orang Islam di Minang yang Suka Berteman dengan Anjing

“Itu kan dulu, ya? Kalau sekarang?” Nah, pertanyaan ini akan muncul ketika lawan bicara saya kritis sekaligus kepo.

Sekarang larangan itu memang tetap eksis di penjuru Kudus. Ketika Idul Adha pasti warga Kudus  ramai bertanya “Berapa sapinya?” atau “Berapa kebo-nya?” “Ada sapinya nggak?” atau “Ada kebo-nya nggak?”

Berangkat dari larangan menyembelih sapi, kebo (kerbau) lahir sebagai hewan pengganti yang sering dikorbankan di Kudus. Maka tidak heran pertanyaan semacam di atas muncul.

Meski larangan menyembelih sapi masih dipercaya, akan tetapi sekarang, sebagian mushola atau masjid di desa-desa Kudus sudah tidak lagi menggunakan pedoman itu. Hewan kurban sapi sekarang sudah banyak disembelih di desa-desa di penjuru Kudus. Saya jujur tidak tau tepatnya kapan tradisi ini mulai luntur. Warga Kudus juga sudah terbiasa menyantap daging kurban sapi.

Meski begitu, Menara Kudus yang menjadi sentra keagamaan warga Kudus, tempat dimana ajaran Sunan Kudus untuk tidak menyembelih sapi lahir, tetap mempertahankan tradisi tersebut. Tidak ada sapi yang disembelih oleh pihak Menara Kudus. Pihak Menara Kudus kemungkinan akan tetap merawat tradisi tersebut.

Alasan Tradisi Tidak Menyembelih Sapi Mulai Luntur

Ada beberapa alasan mengapa tradisi tidak menyembelih sapi mulai luntur. Pertama, tradisi tersebut sudah tidak relevan dengan keadaan sekarang. Dulu memang banyak umat Hindu di Kudus, tetapi sekarang sudah jarang sekali. Umat Hindu di Kudus per tahun 2023 hanya 23 jiwa saja menurut data BPS Kab. Kudus dan menjadi populasi paling minoritas. Saya pribadi tidak pernah bertemu dengan warga Hindu selama di Kudus.

Baca juga:  Masjid Tongas, Masjid Andalan Pelintas di Probolinggo

Alasan kedua yang pernah saya dengar adalah harga kerbau bisa melonjak lebih mahal dibandingkan sapi, terutama menjelang Idul Adha. Sama-sama bisa untuk kurban 7 orang, orang-orang akan lebih memilih sapi karena harganya yang relatif lebih murah.

Alasan ketiga menurut pemahaman saya adalah daging sapi jelas lebih populer daripada daging kerbau. Masyarakat lebih familiar dan lebih banyak yang menyukai daging sapi daripada kerbau. Beberapa dari mereka bahkan berpendapat daging kerbau lebih alot daripada daging sapi.

Kerbau sendiri menjadi hewan kurban yang ketersediaannya paling sedikit. Dilansir dari betanews.id, Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian dan Pangan Kab. Kudus, Arin Nikmah, mengungkapkan bahwa ketersediaan hewan kurban kerbau di Kudus untuk Hari Raya Kurban 2025 masih kurang sehingga kemungkinan mengandalkan pasokan dari daerah lain.

Tradisi tidak menyembelih sapi dan beralih ke kebo lah yang akhirnya menjadi local wisdom dan mengantarkan Kudus sebagai kota yang sangat khas dengan kuliner daging kerbaunya.

Kudus Terkenal Dengan Kuliner Khas Kerbaunya

Salah satu kuliner local pride-nya warga Kudus tidak lain tidak bukan adalah soto kudus yang khas dengan daging kerbau. Selain itu ada juga satai kerbau, nasi pindang (nasi kuah hitam dengan daging kerbau), dan rambak kerbau.

Si kebo ini akhirnya terkenal sebagai pemilik daging terenak bagi sebagian orang, termasuk saya. Dulu teman saya pernah tanya, bagaimana rasanya daging kerbau? Jujur saya lebih suka daging kerbau daripada sapi atau kambing. Kalau dapat jatah daging kurban, kami sekeluarga juga senang dapat daging kerbau di antara banyaknya daging kambing dan sapi.

Baca juga:  Perbincangan dengan Andree Feillard: Islam yang Berubah

Nah, orang-orang yang mengenang setiap kota dengan lidahnya pasti punya pertanyaan lain ketika tahu saya dari Kudus. Mereka pasti akan bertanya atau cerita pernah mencicipi soto kerbau dan ingin menikmatinya lagi. Saya bahkan pernah dititipi rambak kulit kerbau sama dosen pembimbing skripsi saya di Solo.

Akhirnya, tradisi yang lahir karena toleransi inilah yang mengantarkan Kudus dikenal dengan kuliner kerbaunya—selain dikenal dengan kretek dan jenangnya. Merujuk tulisan Sri Utami, doktor Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dari UI, dalam ‘Kuliner Sebagai Identitas Budaya: Perspektif Komunikasi Lintas Budaya’ (2018), menuliskan bahwa apa yang kita makan menunjukkan banyak hal tentang siapa diri kita dan budaya keberadaan kita, we are what we eat and what we don’t eat.  Ungkapan ini selaras dengan pernyataan bahwa kuliner adalah identitas dan budaya suatu daerah serta makanan sebagai medium masyarakat menunjukkan siapa dirinya. Sebagaimana kuliner khas daging kerbau yang kini menjadi identitas kota Kudus dan memiliki arti penting serta lahir dari sejarah yang panjang dan tradisi yang masih terus diruwat hingga kini.

Tapi meski begitu, saya masih suka sedih ketika sebagian orang yang saya temui tidak kenal dan tidak tahu di mana Kudus itu berada.  “Kudus itu mana ya?,” begitulah pertanyaan lain yang saya dapat dari beberapa orang. Lalu saya akan menjawab: “Hmm, deketnya Semarang, hehe”.

 

Referensi:

Aizid, R. 2016. Sejarah Islam Nusantara. Yogyakarta: DIVA Press.

Utami, S. 2018. Kuliner Sebagai Identitas Budaya: Perspektif Komunikasi Lintas Budaya. Journal of Strategic Communication 8(2):36-44.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top