Sedang Membaca
Tentang “Kerata Basa”: setelah “Pasa” lalu “Bada” dan “Kupatan”
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Tentang “Kerata Basa”: setelah “Pasa” lalu “Bada” dan “Kupatan”

Kupatan Masal Tulungagung

Pedagogi Nusantara, khususnya Jawa, secara teoritis bersifat lentur, tidak (selalu) jelas dan pasti, laiknya pedagogi modern. Khazanah kesusastnraan Jawa mengenal ilmu kerata basa, misalnya. Kita mengenal istilah pasa (puasa), yang bagi kalangan kasepuhan Jawa dimaknai sebagai ngepasna rasa (olah rasa).

Makna istilah pasa (dibaca poso) didapatkan dengan merangkai beberapa suku kata, lantas istilah itu menjadi istilah tersendiri yang langsung merujuk pada maknanya. Hal ini kemudian lazim disebut sebagai kebiasaan othak-athik mathuk, othak-athik gathuk, yang sering dianggap sebagai ketakbecusan orang-orang Jawa di masa lalu dalam memahami satu persoalan, atau mencerminkan cara berpikir mereka yang tak ilmiah.

Saya kira orang-orang yang berpandangan demikian (menilai othak-othak gathuk)  justru menunjukkan ketakbecusannya  dalam mempelajari kesusastraan Jawa. Terlepas apakah othak-athik gathuk itu ilmiah atau tidak, ilmu kerata basa menjadi satu unsur terpenting dalam ilmu kesusasteraan Jawa, sebagaimana tembung garba, yang dipelari di jurusan Sastra Jawa fakultas ilmu budaya.

Ilmu kerata basa adalah satu metode dalam memaknai kata maupun istilah. Penggunaannya pun tak bersifat serta merta. Ia kerap digunakan dengan cara merangkai beberapa suku kata yang memiliki kedekatan musikal (baca: bunyi). Taruhlah kata pasa di atas yang secara kerata basa dapat dimaknai sebagai ngepasna rasa.

Tentang unsur musikal kata-kata, dalam khazanah perpuisian Indonesia modern, Sutardji C.B. pernah memakai cara dan gaya ini sebagai kredo kesusastraannya: membebaskan kata dari belenggu makna. Maka jagat perpuisian Indonesia mengenal gaya puisi Sutardji sebagai gaya puisi mantra.

Namun sesungguhnya kesusastraan Jawa  telah mengenal dan menempatkan musikalitas kata-kata ini sebagai salah satu unsur penting kesusastraannya. Unsur musikal kata-kata ini lazim disebut purwakanthi swara, yang berbeda dengan aliterasi dalam konvensi persajakan Indonesia modern.

Seandainya aliterasi tak mensyaratkan fungsi musikal dan psikologis puisi, maka purwakanthi swara justru sebaliknya, bahwa kata-kata, dan secara khusus puisi, mestilah dapat ditembangkan. Prinsip inilah yang kemudian mendasari keberadaan seni tembang Jawa yang disebut sebagai macapat (Wedhatama dan “Kuluban” di Bulan Ramadhan, https://alif.id).

Baca juga:  Hari Santri dan Presiden Jokowi

Pedagogi Jawa senantiasa bersifat samar dan tak telanjang sesuai dengan ungkapan Jawa nggone semu (Jawa tempatnya pasemon). Hal ini berkaitan dengan penempaan sisi psikologis orang (landheping panggrahita, alusing rasa pangrasa) yang akan dengan sendirinya memengaruhi sisi fisiologisnya (adab ataupun budi pekerti).

Karena itulah dalam pedagogi Jawa kecerdasan seseorang dapat diukur dengan seberapa tanggap ia memahami satu isyarat (tanggap ing sasmita). Letak pentingnya instrumen rasa dalam kebudayaan Jawa berkaitan dengan prinsip jagat gedhe (makrokosmos) sebagai cerminan jagat cilik (mikrokosmos) dan sebaliknya. Pengandaian utamanya adalah ketika rasa itu meneb atau tak beriak (yang dalam khazanah sufisme lazim disebut sebagai suasana tatmainul qulub), maka dengan sendirinya dunia (jagat gedhe) tak akan bergejolak.

Ilmu kerata basa yang mengandung unsur pedagogis di atas, kita temui pula ketika memaknai kata Gusti (baca: Tuhan). Gusti = bagusing ati. Sisi pedagogisnya adalah ketika hati seseorang itu baik, bagus atau bening, maka dekat pula seseorang itu dengan tuhannya, sebagaimana dikatakan oleh Wedhatama: kedhap kilap linilinging kalbu/ minangka colok celaking Hyang Widhi.” Dapat dikatakan pula bahwa (sifat-sifat) Gusti atau Tuhan akan termanifestasikan (tajalli) pada hati yang bening (qalbu al-salim) sebagaimana yang dinukil oleh al-Ghazali: qalbu al-mu’min baitullah.

Karena itulah di lingkungan muslim pedesaan Jawa, khususnya yang dekat dengan corak Islam nusantara, ibadah puasa pada bulan Ramadan diidealkan untuk tak melulu menahan haus, lapar, dan syahwat di siang hari, tapi juga ajang berolah rasa (ngepasna rasa), yang oleh al-Ghazali dikategorikan sebagai lakunya orang-orang khusus (khawas), sesudah tingkatan awam dan sebelum tingkatan khawas al-khawas.

Seusai sebulan penuh berolah rasa, maka muslim di pedesaan Jawa mengadakan sebentuk selebrasi kemenangan yang diistilahkan sebagai bada (ba’da yang berarti sesudah atau mbadarna nyenyuda yang bermakna membatalkan puasa). Bada ini adalah hari raya Idul Fitri, ditandai dengan mengumandangkan takbir.

Baca juga:  Mungkinkah Pesantren Tanpa Sanad?

Keeseokan harinya lazimnya mereka akan saling beranjangsana untuk bermaaf-maafan. Ketika anjangsana itu dilakukan secara berombongan, maka tradisi ini di wilayah Ponorogo dan sekitarnya disebut sebagai tradisi mbarak, yang maksudnya adalah arak-arakan atau konvoi. Umumnya tradisi mbarak ini dilakukan dengan berjalan kaki keluar-masuk rumah orang sekampung atau sedusun yang kebetulan mengadakan bukak lawang (open house).

Adapun anjangsana yang dilakukan perseorangan atau dengan sedikit orang lazimnya disebut sebagai sejarah. Tradisi sejarah ini sering dimaknai secara kerata basa sebagai seja kang den arah atau “maksud yang dipilih dan dipilah.” Secara filosofis, yang menjadi maksud pokok orang sejarah adalah meminta sekaligus memberi maaf. Aneka macam jajanan dan angpao sekedar hal yang tak substansial yang dapat melenakan maksud atau tujuan yang sebenarnya.

Ada sebait tembang dolanan yang terkait dengan seja kang den arah atau yang saya sederhanakan sebagai pemantaban maksud—atau dalam khazanah tasawuf dikenal sebagai laku nata ati.
E, dhayohe teka
E, gelarna klasa
E, klasane bedhah
E, tambalen jadah
E, jadahe mambu
E, pakana Asu
E, Asune mati
E, kelekna kali
E, kaline banjir
E, selehna pinggir

E, tamunya datang
E, gelarkan tikar
E, tikarnya koyak
E, tamballah jadah
E, jadah-nya basi
E, berikanlah pada Anjing
E, Anjingnya mati
E, larungkan ke kali
E, kalinya banjir
E, letakkan di pinggir

Tembang tersebut adalah satu pasemon tentang kelurusan niat yang terkadang terbengkokkan oleh berbagai begalan atau godaan sehingga terkesan plin-plan atau membingungkan, dan akhirnya hanya akan menjadikannya seorang pecundang. Tembang yang dari rangkaian nada lagunya bersifat mengejek itu berkaitan pula dengan orang yang bimbang atau selalu canggung dalam bertindak: bahwa niatnya adalah menerima tamu tapi sebelum tamu itu datang pikirannya sudah melayang ke mana-mana sampai pada hal-hal yang tak ada korelasinya dengan niat awal.

Baca juga:  Hikayat Pasai, Mengungkap Peran Habaib dalam Islamisasi di Nusantara

Tikar yang koyak, jadah yang basi, Anjing yang mati, dan kali yang banjir (hal-hal yang tak substansial) seharusnya dipinggirkan dahulu sebelum si tamu datang. Ibaratkan orang yang berniat kawin, jodohnya belum ada tapi sudah berpikir tentang rumah, mobil, motor, payudara besar atau kecil, bokong bola basket atau triplek, mata sipit, betis tiang listrik, dan seterusnya.

Saya kira tradisi sejarah tersebut juga memiliki kaitan dengan istilah sejarah di hari ini: kisah-kisah masa silam. Karena tak jarang orang-orang saling bertemu bercengkrama tentang masa silam, zaman kecil atau mudanya dahulu, tentang bapak-ibu atau kakeknya dahulu, hingga  mereka kerap menemukan sesuatu yang tak terduga-duga: ketersambungan saudara.

Maka dapat dikatakan pula bahwa tradisi sejarah adalah semacam pelacakan masa silam yang dilakukan secara tak sistematis laiknya para sejarawan, karena mereka adalah pelaku sekaligus penyambung sejarah. Di sinilah kemudian istilah silaturrahim mendapatkan makna historis sekaligus kulturalnya.

Kuliner khas bada di pedesaan Jawa pada umumnya adalah kupat atau ketupat: tanakan nasi yang dibungkus dengan anyaman daun kelapa (janur) dengan bentuk kubus maupun persegi panjang. Pada lebaran hari ke-7, di sebagian wilayah Jawa Timur biasanya digelar kenduri sebagai sebentuk syukuran, dengan ambeng atau berkat. Isinya seporsi makanan dan variasinya, yang dahulu ditata pada anyaman bambu yang disebut sebagai encek. Berkat ini dibawa masyarakat dari rumah masing-masing, dan setelah acara berdoa ditukar dan dibagikan kembali kepada mereka untuk dibawa pulang.

Pada lebaran ketupat, nasi buceng yang jamaknya ditata mengerucut pada ambeng, diganti dengan ketupat. Secara kerata basa ketupat atau kupat dimaknai sebagai ngaku lepat (mengakui kesalahan) yang masih terkait dengan esensi lebaran: leburnya segala kesalahan. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top