Sedang Membaca
Sumarah
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Sumarah

Kapitayan

Sipating Khaq mardi ananing ngilmi ujare wis iman

Nanging isih pating barendhil

Lagi eling bae isih lali

Durung marbawa

Rasakna kukuming Iman kang nyata

Mung kudu mangerti babaring Sumarah iki minongka garanira

Majibi pemimpin ngayoma marang Gusti

—R.Ng. Soekinohartono

 

Dalam Serat Dharmagandul terdapat fragmen dimana Brawijaya V berpisah jalan dengan abdi setianya, Sabdapalon. Perpisahan itu dikarenakan Brawijaya V seolah sudah menyimpang dari jalur yang seharusnya. Ia seperti lebih memberi ruang pada agama Islam beserta dengan segala kepentingan politiknya daripada kebudayaan yang telah melahirkan dan membesarkannya.

Perpisahan itu pun diakhiri dengan nujuman Sabdapalon bahwa kelak ia akan kembali berada bersama dengan kebudayaannya yang selama setengah abad mengendap ataupun bersembunyi di antara warisan-warisan tradisi yang sudah mengalami transformasi. Di antara beberapa persembunyian kebudayaan Sabdopalon itu adalah kisah tentang pemberangusan Syekh Siti Jenar dan pahamnya beserta dengan segala pengikutnya pada masa kerajaan Demak.

Dalam khazanah Jawa berlaku kepercayaan bahwa seandainya sang raja bercerai dengan abdinya, maka tak berselang waktu yang lama raja itu akan tinggal nama belaka. Sebab, abdi di sini tak sekedar berarti pesuruh. Ia dinamakan sebagai panakawan karena secara ideal ia mesti pandai dan tahu duduk segala perkara. Pada konsep panakawan ini pengertian abdi itu berarti sepadan dengan seorang penasehat. Adapun dengan istilah wulucumbu, seorang abdi itu secara ideal mesti memiliki kemampuan intelijen atau deteksi dini—laiknya bulu kuduk yang terkadang bergetar ketika merasakan sesuatu yang aneh.

Baca juga:  Paham Tasawuf yang Dianut Gus Dur: Antara Akhlaqi dan Wujudiyah

Pada era perang kemerdekaan, sang ksatria itu adalah Soekarno dan para abdinya, yang seturut dengan deskripsi atas, adalah para pelaku kapitayan atau yang kini lebih dikenal sebagai aliran penghayat (Kemerdekaan dan Para Ahli Waris Syekh Senan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Salah satu pribadi yang memang berdiri di belakang Bung Karno ketika itu adalah R.Ng. Soekinohartono, sang warana Paguyuban Sumarah.

Di tilik dari sejarahnya, sebagaimana aliran-aliran penghayat lainnya, Paguyuban Sumarah lahir dari situasi yang tak menentu dimana hal-hal yang bersifat transnasional cukup mewarnai keadaan nusantara, “Sifatnya Khaq mencari ilmu dimana klaimnya sudah beriman/ Namun ternyata masih tak karuan/ Ketika ingat pun masih lupa/ Belum berwibawa/ Rasakanlah hukumya iman yang nyata/ Hanya butuh dedahan Sumarah sebagai pegangan/ Mewajibkan pemimpin untuk mencari pengayoman pada Tuhan.”

Sebait tembang R.Ng. Soekinohartono itu konon terkucur saat ia tengah sujud (meditasi ala Sumarah), yang bagi para pengikutnya berasal dari Sang Hakiki. Dalam sebait tembang itu digambarkan bahwa keadaan Nusantara masih kacau dan kurang berwibawa. Banyak orang yang mengklaim beriman dan beragama, tapi kenyataannya hanyalah kebohongan belaka. Sumarah, karena itu, lahir sebagai pegangan agar tak terarus oleh keadaan dimana semua mesti kembali pada Tuhan sebagaimana yang kini tercantum pada sila I Pancasila.

Baca juga:  Marxisme dan Wayang Purwa

Di sinilah, bagi saya pribadi, Sumarah adalah salah satu perwujudan kapitayan yang sejak lama sudah dipeluk oleh bangsa Nusantara jauh sebelum agama-agama resmi yang ada datang dan berkembang. Dalam bahasa kawi, istilah “Taya” bermakna tunggal dimana ketika ia diubah menjadi kata benda akan berwujud kapitayan yang secara harfiah berarti kepercayaan. Dengan demikian, pada istilah “kepercayaan” dengan sendirinya sudah mengandung pengertian Yang Maha Esa (Taya). Maka tak salah ketika banyak pengkaji kebudayaan Nusantara menyimpulkan bahwa jauh sebelum agama-agama yang ada saat ini berada di Nusantara, para orang-orang Nusantara sudah bertuhan dan mengesakanNya.

Dengan demikian, sudah dengan sendirinya Sumarah dan kapitayan-kapitayan lainnya berseberangan dengan radikalisme yang sudah pasti bersifat transnasional. Sebagaimana gambaran Mangkunegara IV tentang “Sayyid” dan komplotannya dalam Serat Wedhatama yang ditulis pada abad ke-19.

Durung pecus

Kasusu kaselak besus

Amaknani rapal kaya Sayid weton Mesir

Pendhak-pendhak angendhak gunaning janma

 

Masih goblok

Tapi berlagak sudah pintar

Memaknai ayat laiknya Sayyid keluaran Mesir

Yang kerap merendahkan orang lainnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top