Kultur pedesaan Jawa seolah-olah memang menjadikan bulan Ramadan benar-benar sebentuk rahmat bagi semesta alam, apalagi ketika Ramadan tahun ini beriringan dengan Hari Raya Nyepi yang sama-sama diisi dengan tradisi management diri. Apa yang tersisa di hari ini pada bulan Ramadan, dari sudut pandang kebudayaan Jawa, adalah sebentuk pendidikan rasa.
Rasa atau rasa memang cukup pokok dalam kebudayaan Jawa, sampai-sampai saking pokoknya rasa itu, ada adagium yang menyatakan bahwa “Jawa nggone semu” (Jawa adalah tempatnya kesamaran). Samar adalah laiknya Kyai Lurah Semar yang tak jelas atau tak dapat didefinisikan. Konon, dalam kebudayaan Jawa, hanya rasa yang dapat memahaminya.
Bagi orang yang paham instrumen gender dalam gamelan, pasti paham bentuk permainan grambyangan yang merupakan sebentuk improvisasi. Grambyangan lazimnya digunakan untuk mengiringi sebuah dialog dalam pagelaran wayang. Maka, otomatis, penggender mesti memiliki kemampuan interpretatif yang bagus yang sesuai dengan dialog yang tengah terjadi. Kemampuan interpretatif itu sama sekali tak bersumber dari nalar, namun jelas-jelas bersumber dari rasa. Karena itulah lazimnya penggender dianggap sebagai pemain gamelan yang memiliki maqam yang sudah tinggi. Ia sudah pasti bisa memainkan instrumen-instrumen gamelan lainnya.
Tepatlah bulan Ramadan dikatakan sebagai kesempatan untuk berolahrasa. Tak mesti ketika orang berbicara rasa, lantas ia akan menyelami samudera tasawuf yang renik. Ada satu tradisi di kala Ramadan yang terkait erat dengan pelajaran tentang rasa: kuliner Ramadan.
Di pedesaan Jawa cukup karib orang dengan jangan atau sayur seperti jangan bobor yang terbuat dari sayur bayam yang disantani. Adalagi nasi pecel yang cukup berasa ketika dicampuri oleh kembang turi. Adalagi krawu yang terbuat dari sayur-sayuran yang kemudian dicampuri oleh parutan kelapa yang berasa gurih lagi asin. Belum lagi yang manis-manis seperti kolang-kaling sebagai pengimbang rasa yang kemudian dijadikan minuman cau atau cincau. Pendeknya, segala macam rasa pencecapan manusia di kala Ramadan cukuplah dimanjakan: pahit, manis, kecut, gurih, asin, dsb.
Dalam kebudayaan Jawa, yang berprinsip “Jawa nggone semu,” ternyata kuliner Ramadan yang sedemikian memanjakan rasa itu adalah sebuah cara yang diwariskan oleh kebudayaan agar orang mengerti tentang rasa pangrasa. Pahit, manis, kecut, gurih, dan asin yang bersumber dari indera penyecapan itu adalah rasa pangrasa atau rasa yang sekedar cabangnya rasa (panging rasa).
Ketika terdapat cabang, otomatis orang akan bertanya tentang batang atau bahkan pokoknya. Seperti halnya pohon yang terdiri dari cabang, batang, akar, dan bahkan biji, begitu pula rasa, Jadi, dapat dipahami kenapa orang-orang Jawa di pedesaan masih kelan atau nyayur jangan bobor yang berbahan utama daun bayam dengan santan serta garam—yang ketika tak disantani dan digarami dapat bertransformasi menjadi jangan bening yang anta atau tak berasa.
Itu semua, pada dasarnya, adalah cara para leluhur mendidik rasa dengan cara yang cukup sederhana kelihatannya. Ketika rasa sudah cukup terlatih, pengandaiannya orang akan, konon, dapat menjalanii hidup yang hanyalah soal karnaval rasa, silih-ungkih dan tumpang-suh rasa pangrasa. Bertemu perempuan ayu, manis, kecil unyu-unyu, orang akan menjadi berbunga-bunga. Sedetik kemudian isterinya yang judes tak terima ketika keberadaannya terjeda, orang pun sudah pasti tak akan berbunga-bunga lagi.
Keterkaitan antara rasa-rasa pencecapan dengan rasa-rasa yang merupakan perasaan ketika orang menikmati kuliner Ramadan ternyata dijelaskan oleh kuliner itu sendiri. Taruhlah bayam atau bayem, yang dapat ditansformasikan menjadi kulineran yang kontras antara jangan bobor dan jangan bening, bagi orang Jawa diartikan sebagai ayem atau tenteram. Karena itulah, manusia yang tak hanya terdiri dari raga (yang mengalami silih-ungkih rasa-rasa inderawi) dan jiwa (yang mengalami tumpang-suh rasa yang konon kerap melanda para ABG atau yang akrab disebut sebagai perasaan), hanyalah semacam ruang yang dialiri oleh karnaval rasa.
Dari rasa pangrasa itulah harapannya, orang yang melakoni ritus bulan Ramadan dalam kerangka budaya Jawa, akan sampai pada apa yang dikenal sebagai Rasa atau Rasul yang merupakan kesatuan dari pangrasa (maligining rasa) yang sangat beranekaragam, sebagaimana kondisi perasaan manusia di setiap menitnya. Rasa sebagai Rasul inilah yang konon ditemukan oleh Ki Ageng Suryamentaram saat hanyut di kali Opak, yang tetap ketika segala sesuatunya owah-gingsir atau dapat berubah.
Memang Ki Ageng Suryamentaram tak pernah mengajarkan atau bahkan menyuruh orang untuk berpuasa. Namun ternyata, lewat ibadah puasa dan ritus-ritus agama yang sudah berbaur dengan kearifan-kearifan lokal di kala Ramadan, apa yang dicari oleh putra HB VII itu dapat pula didekati dengan tata cara yang berbeda.
Dari kuliner Ramadan di pedesaan Jawa yang tampak sederhana, ternyata agama tetap saja memiliki nilai guna ketika orang mampu menggunakannya, bahkan pun ketika hal itu ditautkan pada wilayah-wilayah yang mengatasi agama.