Sedang Membaca
Ramadan dan Islam Kalijagan
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Ramadan dan Islam Kalijagan

Jelang Munas Alim Ulama (1): Lima Riwayat Sunan Kalijaga di Pulau Lombok 1

Bagaimana seandainya orang sadar bahwa selama ini ternyata Islam yang banyak berkembang dan mendekam di relung kalbu orang Jawa adalah secorak Islam yang konon dibabarkan oleh seorang mantan brandal? Akankah kadar keimanannya menjadi berkurang?

Di pesantren, barangkali, orang akan paham bahwa ilmu-ilmu keislaman dan cara berislam yang selama ini mereka hidupi akan menuntun pada nama-nama tenar yang berasal dari luar Nusantara: Imam Syafi’i, Abu Hasan al-Asy’ari, al-Ghazali, dst.

Namun ketika orang bersinggungan dan menyelami keislaman orang-orang Jawa pedesaan, yang di hari ini mayoritas sudah berusia lanjut, dan keislaman orang-orang di keraton-keraton Jawa, secara intim mereka akan menemukan nama yang tak bergema di pesantren-pesantren: Sunan Kalijaga.

Ketika mujur, orang itu pun akan sadar betapa dekatnya sang mantan brandal itu di kalbu orang-orang Jawa kasepuhan. Ketika mujur, orang itu pun akan paham bahwa Islam ternyata tak selebar daun talas. Ketika kembali mujur, orang itu pun akan mengerti bahwa pada akhirnya bukanlah jubah, sorban, songkok, sarung, jilbab, dan bahkan bukan sekedar melakoni rukun Islam yang menjadikan seseorang itu Islam.

Meskipun secara kultural Kalijaga sudah lama meninggalkan corak keislaman yang khas dirinya (Kalijaga: Wulung yang Agung, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id, Wali yang Bukan Wali: Kalijaga, Struktur, dan Hierarki Para Wali Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id), namun secara struktural, barulah pada masa Sultan Trenggana di Demak sang mantan brandal ini benar-benar menancapkan pengaruhnya.

Seorang sejarawan, De Graff (Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, 1989), mencatat bahwa pada masa Trenggana terdapat perbedaan dalam menentukan awal bulan Ramadan antara Kalijaga, yang waktu itu “bukanlah siapa-siapa,” dengan Sunan Kudus, yang waktu itu menduduki posisi imam besar masjid Demak. Meskipun “bukanlah siapa-siapa” ternyata pendapat Kalijaga lebih dipercaya oleh Trenggana dalam menentukan awal Ramadan di kesultanan Demak daripada pendapat Sunan Kudus.

Baca juga:  Sahur dan Kembara Malam

Dalam catatan De Graff, kemenangan pengaruh Kalijaga itulah yang menyebabkan Sunan Kudus mundur dari posisi imam besar masjid Demak dan memilih menyisih dari pusat kekuasaan. Otomatis, Kalijaga yang kemudian ditunjuk untuk menduduki posisi imam besar masjid Demak yang telah ditingalkan Sunan Kudus yang menyisih karena kalah pengaruh dengan sang mantan brandal.

Kemenangan pengaruh Kalijaga sebenarnya sudah tampak ketika ia belum berada di Demak. Tercatat, banyak orang yang kemudian masyhur pernah menjadi para murid dan kadernya: Sultan Trenggana, Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, Ki Ageng Sela (pembabar wiji Mataraman), Adipati Pandanaran atau Sunan Bayat, Ki Cakrajaya, dan Saridin atau Syekh Jangkung.

Dalam catatan De Graff, alasan itu pula yang menyebabkan perselisihan antara corak keislaman Kalijaga dan corak keislaman Sunan Kudus. Sebab, ketika Sunan Kudus masih menjabat imam besar masjid Demak, Trenggana dan Hadiwijaya adalah juga murid Sunan Kudus. Ketika para elit Demak itu juga berguru pada Kalijaga, berarti mereka telah menduakan kepercayaan seorang guru pada muridnya. Belum lagi kisah Saridin yang mampu menggelitik segala ortodoksi Sunan Kudus di Panti Kudus, yang ternyata juga menganggap Kalijaga sebagai guru sejatinya.

Dengan fakta-fakta sejarah itu, maka tak mengherankan seandainya Kalijaga lebih menghunjam kalbu orang-orang Jawa kasepuhan, yang khususnya berada di luar pesantren, daripada wali-wali lainnya. Di samping meningalkan corak Islam Kalijagan yang orang tahu dari peninggalan para muridnya, taruhlah keberadaan keraton-keraton Mataraman di hari ini, Kalijaga sendiri kondang dengan peninggalannya perihal syahadat yang di Jawa lebih dikenal sebagai Syahadat Sunan Kalijaga.

Sampai detik ini, barangkali, orang belum pernah mendengar ada syahadat ala wali lainnya, seumpamanya Syahadat Sunan Giri, Syahadat Sunan Kudus, dst. Blusukan ke pedesaan Jawa dan keraton Jawa manapun yang akan banyak dijumpai adalah Syahadat Sunan Kalijaga. Tercatat, hanya Siti Jenar yang memiliki syahadat khusus sebagaimana Kalijaga yang dikenal sebagai Sasahidan.

Dengan demikian, orang menjadi paham bahwa Kalijaga bukanlah semata wali historis yang pernah membabarkan agama Islam. Namun, ia adalah juga semacam “penghulu tarekat” semacam Syekh Abdul Qadir al-Jilani di Baghdad, Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili di Mesir, dst. Corak keislaman yang selama ini hidup dan berkembang di keraton-keraton dan pedesaan Jawa adalah corak-corak keislaman peninggalannya. Karena itulah, dalam banyak literatur Islam-Jawa masa Mataraman, sampai-sampai sang mantan brandal itu digelari sebagai “Guru Suci Wong Tanah Jawi.” Kenapa gelar yang begitu intim bagi orang Jawa ini tak dikenakan pada Sunan Giri dan Sunan Kudus, misalnya?

Baca juga:  Moderatisme Beragama dalam Kacamata Sufisme Nusantara (4): Deradikalisasi dalam Sufisme Nusantara

Barkaca pada sinisme Saridin pada ortodoksi Sunan Kudus, predikat “guru sejati” yang disematkannya pada Kalijaga jelas bukanlah predikat yang sembarangan. Pada kisah wayang, “guru sejati” itu mengacu pada Dewa Ruci dimana Arya Sena menemukannya di relung samudera. Pada banyak literatur sufi, “guru sejati” itu mengacu pada Khidhir. Lantas, jika demikian kasusnya, siapakah sejatinya yang dikatakan terbaring di Kadilangu, di Medalem, Ploso Songo, Senori, Tuban, dan entah daerah mana lagi? Dan bagaimana mungkin Kalijaga dipercaya hidup di rentang waktu yang mustahil untuk dimengerti: masa akhir Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram era Senapati hingga Sultan Agungan dimana salah satu putrinya diberikan untuk dinikahi oleh Saridin, sang murid Kalijaga? Dapatkah hal ini dipahami dalam kerangka teks-teks dan nalar pesantrenan?

Kiprah historis Kalijaga beserta dengan segala misterinya dapat dipahami dalam menentukan awal Ramadan yang menyebabkannya berselisih dengan sayap ortodoksi yang diwakili oleh Sunan Kudus. Sampai detik ini tak ada yang mengetahui secara pasti dengan metode apa Kalijaga menentukan awal bulan Ramadan. Sunan Kudus pada waktu itu jelas menggunakan metode hisab laiknya kalangan Muhammadiyah di hari ini. Namun jelas, meskipun berbeda dengan Sunan Kudus, Kalijaga tak pula menggunakan metode pencarian hilal laiknya kalangan NU di hari ini.

Baca juga:  Berkanjang di Ruang Ambang: Ronggawarsita dan Kesendiriannya

Satu hal yang pasti, Kalijaga pernah mewariskan hitungan pasaran Jawa yang penting untuk digunakan orang Jawa saat itu. Taruhlah neptu 40-an yang konon merupakan warisan Kalijaga. Neptu 40-an adalah waktu 3 hari yang secara kualitas setara dengan waktu 40 hari. Disebut sebagai neptu 40 karena ketika dijumlah angka hari dan pasarannya selama 3 hari itu berjumlah 40. Konon neptu 40 hari ini diciptakan Kalijaga untuk menyiasati tuntutan syari’at Islam yang jelas-jelas mengarah pada sebentuk moderatisasi diri.

Dengan demikian, ketika Islam Kalijagan memiliki syahadat tersendiri, yang dalam ortodoksi dikenal sebagai rukun pertama agama Islam, maka derivasinya akan pula memiliki corak tersendiri. Dan apa yang tersisa di Ramadan hari ini, seperti peristiwa megengan di pedesaan dan keraton-keraton Jawa hingga kebiasaan maleman atau selikuran hanyalah variasi dari ijtihad sang mantan brandal.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top