Sedang Membaca
“Mudhammataan” dan Suspensi Kenikmatan
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

“Mudhammataan” dan Suspensi Kenikmatan

20200806 181303

Don’t save it for another day

Don’t save it for another day

Don’t save it for another day

Light My Way, Audioslave

Dengan puasa di bulan Ramadan, pada dasarnya, kita patut merenungkan kembali surga yang digambarkan oleh berbagai kitab suci. Bukankah surga, dalam hal ini, adalah sebentuk proyeksi karena proses fisiologis tertentu?

Taruhlah ketika kita dalam kondisi lapar dan haus yang disengaja seperti halnya puasa, bukankah pada nantinya ketika kita berbuka angan itu sedikit banyak menjadi ambyar.

Seporsi ayam goreng beserta nasinya, semangkuk es buah, dan bahkan kemolekan tubuh isteri yang muncul ketika kita berpuasa, ternyata sekedar umuk atau omong-besar syahwat kita yang dapat bungkam atau bertransformasi hanya dengan sebatang rokok, secangkir kopi, dan sepotong diskusi?

Saya tak ingin berpendapat laiknya Feuerbach,  tokoh yang Karl Marx cukup berhutang-budi padanya. Namun, terkait dengan suspensi kenikmatan dalam ibadah puasa, ada satu rahasia tentang apa yang dalam bahasa agama disebut sebagai “ridha,” yang dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa dalam kondisi kejiwaan yang demikianlah orang dapat kembali dan beroleh— satu di antaranya—“mudhammataan.”

Saya katakan rahasia karena tak ada parameter yang pasti untuk mengukur ridha kita yang seturut dengan ridha Tuhan sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Qur’an (radhiyatam mardhiyyah). Tapi ternyata, lewat puasa, saya kira orang menjadi paham tentang apa itu ridha.

Al-Qur’an pun seperti menampar kesombongan angan kita dengan berulangkali menegaskan sebuah pertanyaan yang bersifat meyakinkan: “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

Baca juga:  Orang Minang di Bulan Ramadan: Dari ‘Puasa Ular’ ke ‘Puasa Mekkah’

Dengan pertanyaan yang sepintas kalkulatif itu, orang seperti ditampar atas ketakberadabannya dalam merenungkan, melalui ibadah puasa. Kenikmatan yang bersifat angan dengan kenikmatan yang nyata, yang ternyata tak selalu sebangun, laiknya angan orang-orang berpuasa dengan kenyataan ketika berbuka.

Dengan perspektif itulah saya kira orang-orang yang selama ini dikategorikan sebagai “orang besar” dapat hidup tak sebagaimana yang kita bayangkan. Orang-orang itu, dalam kearifan Jawa, disebut sebagai “Manungsa wus waskitha ing dunung” (Sangkan-Paran, Heru Harjo Hutomo, Bintang Madani Pustaka, Yogyakarta, 2021 ).

Atas dasar itulah, Chris Cornell, vokalis Audioslave yang mati bunuh diri itu, sebelum dan seusai memekik dengan suaranya yang tercekik, “Tak usah simpan untuk esok,” juga menyambat, “Tak maukah Kau menerangi jalanku?”

Dari lagu dengan nuansa postgrunge yang kental itu, vokalis dengan lengkingan suara yang khas itu seperti ingin berhujah bahwa ketika orang tak dapat menangguhkan kenikmatan—seperti laku orang yang berpuasa—kegelapan, kebingungan, dan kesesakkanlah yang akan ia tuai.

Ibadah puasa, tak pelak lagi, adalah bagaimana agama mendidik para penganutnya tentang arti dan fungsi dari suspensi. Dari suspensi inilah, saya kira, kenapa laku etis sabar yang terasosiasi dengan kekurangan, selalu terkait dengan laku etis syukur yang terasosiasi dengan kelebihan.

Kedua laku ini mestilah seimbang sebagaimana Derrida dan dekonstruksinya meletakkan oposisi biner secara setara. Yang satu tak mendominasi yang lainnya, seperti pengabaran al-Qur’an: “Bainahuma barzakhul laa yabghiyan.”

Baca juga:  Pengertian, Pensyari’atan, dan Referensi Ilmu Jarh wa Ta’dil

Tak ada yang dapat menyimpulkan secara pasti apakah Derrida dan dekonstruksinya itu, karenanya, lantas bersifat religios. Sebab, saya kira, “ruang ambang” yang di hasilkan oleh dekonstruksi itu tak mutlak menjadi monopoli agama dalam perspektif tasawuf.

Menarik pemikiran Derrida pada ranah tasawuf memang terkadang seperti tak bisa dihindari. Bukan karena Derrida pernah bersinggungan dengan teologi negatif ala Dionisios yang memang berkecenderungan mistis.

Bagi Derrida, secara konseptual, pada dasarnya menjadi seorang mistikus dan ateis tak jauh berbeda. Sebab, ketika seorang mistikus mengalami kenyataan bahwa Tuhan bersifat “layukhayafu,” maka konsekuensinya adalah seperti halnya penalaran seorang ateis.

Layukhayafu ini menandakan bahwa sama sekali tak ada kebenaran final terkait dengan apa yang orang katakan sebagai Tuhan. Jadi, metafora kamus dari Derrida yang terkenal itu adalah laiknya sederetan teofani Tuhan dalam kacamata kaum sufi yang mustahil untuk digayuh batasnya.

Dalam khazanah sufisme Nusantara, persinggungan antara mistisisme dan ateisme pernah pula dialami oleh R.P. Natarata atau yang tenar dengan nama pena Sasrawijaya. Seorang wartawan sekaligus pelaku spiritualitas Jawa, Bratakesawa, pernah memandangnya sebagai pembabar ateisme.

Serat Bayanulah karya R.P. Natarata yang disinyalir bersifat ateistik segera disanggah oleh sang wartawan dengan karyanya, Serat Bayanul Chaliq.

Di sinilah kemudian “ruang ambang” yang sebenarnya disuguhkan oleh tasawuf dan berbagai tradisi kapitayan mengajak orang untuk tak secepat kilat menghakimi laiknya kalangan “masturbasif” dan “wis wani wirang.”

Baca juga:  Kebingungan Sekularisme Menghadapi Islam Politik

Ada sebuah kisah perihal pengais rumput yang kumal dan tak tampak penting sehingga disepelekan dan bahkan direndahkan oleh Adipati Pandanarang.

Tak disangka, ketika sang adipati tahu bahwa pengemis itu adalah Sunan Kalijaga atau Syekh Malaya yang terkenal itu, segera berbalik menjadi seorang gembel yang tak punya apa-apa demi menjadi salah satu murid dari sang sunan.

Demikianlah Derrida di mata saya, meskipun bukanlah seorang yang religius, adalah seorang peracik sebuah penyikapan yang dapat menangguhkan segala judgment: dekonstruksi.

Dan demikian pula R.P. Natarata, meskipun penalaran dan gaya bahasa yang ia gunakan dalam Serat Bayanulah adalah laiknya seorang ateis sebagaimana yang dituduhkan oleh Bratakesawa, ternyata iman yang ditunjukkannya sangatlah tinggi sehingga tak perlu lagi memerlukan bukti dan saksi.

Laku puasa, pada akhirnya, adalah laiknya laku dekonstruksi yang membongkar segala oposisi biner yang bersifat hierarkis dengan menunjukkan adanya suspensi makna, ketika hierarki itu menjadi goyah karena tak memiliki dasar yang pasti.

Seperti catatan yang merupakan hasil perenungan dan pengalaman pribadi Syekh Ibn ‘Athaillah yang kurang-lebihnya mempertanyakan, bagaimana mungkin Tuhan dapat terhijab, sebagaimana terang matahari –yang dianggap padam ketika malam– yang tak memiliki eksistensi sendiri datang menjelang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top