Sedang Membaca
NU dan Konsep Kekuasaan
Ahmad Suaedy
Penulis Kolom

Dekan Fakultas Islam Nusantara UNUSIA. Peneliti Islam Asia Tengara, menyelesaikan S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis beberapa buku.

NU dan Konsep Kekuasaan

pilpres 2024

Pada Musyawarah Alim Ulama (Munas) PBNU 18-20 September lalu, dibahas hubungan ulama dan umara dengan metodologi khas Aswaja NU atau ahlussunnan wal jamaah an-nahdliyah. Pertanyaan yang dimunculkan adalah  bagaimana konsep hubungan ulama dan umara dan apa karakter relasi ulama dengan umara? 

Pertanyaan yang tampaknya parsial dan praksis itu sesungguhnya didasarkan pada konsep kekuasaan di dalam NU, apakah agama dan negara menjadi satu kesatuan sebagaimana konsep Islam ideologis atau terpisah sebagaimana pada doktrin sekularisme?

Para peneliti Barat umumnya pesimistis terhadap konsep kekuasaan Islam, juga Jawa atau Nusantara, terkait dengan demokrasi dan check and balances. Ben Anderson dalam esainya yang panjang dan telah menjadi klasik The Idea of Power in Javanese Culture, misalnya, menteorisasikan setidaknya ada empat perbedaan antara konsep kekuasaan Jawa dan Barat modern.

Di antaranya terpenting adalah, bagi Ben, kekuasaan Jawa bersifat konkret, melekat pada individu dan bersifat homogen sehingga menyatu pada individu dan nirkritik. Sulit untuk tumbuhnya kritik di konsep kekuasaan seperti itu. Sedangkan dalam konsep Barat kekuasaan bersifat abstrak dan heterogen serta tersebar, karena itu berjarak dan bisa dikritik.

Transformasi  

Secara doktrin konsep kekuasaan dalam Aswaja NU sama dengan kelompok Islam yang lain bahwa kedaulatan di tangan Allah SWT. Namun NU memiliki cirinya sendiri dalam transformasi kekuasaan itu dalam realitas sosial politik. Konsep kekuasaan Aswaja NU tidak sama dengan Islam ideologis maupun sekularisme. Aswaja NU juga berbeda dengan konsep Aswaja klasik yang menyatu dengan kekuasaan seperti di Malaysia dan Brunei Darussalam.

Sebagaimana pernah ditulis oleh Gus Dur, NU memiliki kekhasan sendiri dalam memandang eksistensi negara dan kekuasaan. Bukan berdasarkan ideologi tertentu melainkan keabsahan menurut fiqh dan ushul fiqh. Tentu ada dasar rasionalnya, yaitu Mashlahah ‘Ammah (kepentingan umum) atau apa yang dalam ilmu sosial disebut public reason.

Nilai tertinggi dari pesan kekuasaan adalah tercermin dari qaidah fiqhiyyah yang menjadi pedoman dalam konstruk pemikiran Aswaja NU, yaitu “tasharruf al-imam ala roiyatih manuthun bi al-mashlahah (sebuah kekuasaan harus ditujukan untuk kemashlahatan/keadilan).

Baca juga:  Menerka Fenomena ber-Masjid

Atau sebuah potongan ayat Al Qur’an, “Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antra orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS: Al-Hasyr : 7). Pesan keadilan dan kesetaraan yang berbasis pada spiritual sangat jelas.

Check and balances

Pertanyaan pada Munas itu penting ketika personil atau pimpinan NU menjadi penguasa puncak dalam suatu pemerintahan atau bagian dari pemerintahan, terutama hubungannya dengan demokrasi dan prinsip check and balances. Akankah semua ulama sebagai kelompok hegemonik di dalam NU sesuai namanya Nahdlatul Ulama menjadi satu barisan di belakang kekuasaan sebagaimana di Iran atau di Arab Saudi, misalnya, atau ulama bisa memilih menurut kecenderungan masing-masing.

Dalam sejarah Islam, pasca Khulafa al-Rasyidun sebenarnya sudah terjadi dinamika hubungan kekuasaan semacam itu. Lepas dari pemerintahan dinasti Umayah dan juga dinsti Abbasiyah yang otoriter, ulama mengambil tempat masing-masing baik masuk ke dalam sistem negara atau pun berada di luarnya.

Sebagai bagian dari dinamika itu, pendiri mazhad empat fiqh yang dinisbahkan pada nama, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafii dan Imam Hambali pernah bersitegang dan pernah akur dengan penguasa saat itu. Bahkan ada yang pernah dipenjarakan.

Hal ini secara historis mengandung isyarat bahwa tidak ada doktrin dan pola umum hubungan ulama dan umara kecuali berdasarkan konteks historis, mengikuti tempat, waktu serta sistem yang dibangun.

Hubungan dinamis

Era sebelum kolonial di nusantara hubungan ulama dan umara sangat dinamis sebagaimana sejarah pasca Khulafa Ar-Rasyidun tersebut. Sebagian para pangeran dan keluarga kerajaan menjadi murid tarekat para kyai dan tidak sedikit mengaji ke pesantren. Ronggowarsito, misalnya, sebagai budayawan terkemuka ndalem kraton pernah nyantri di pesantren Kyai Hasan Besari,  di daerah Ponorogo sekarang.

Baca juga:  Pemetik Puisi (25): Yudhistira ANM Massardi, Ya Allah, Orde Baru

Raden Patah, misalnya, sebagai sultan Demak, kesultanan Islam pertama di Jawa, tidak berdiri sendiri melainkan sesungguhnya didorong oleh para ulama –belakangan disebut Wali Songo. Jadi, secara historis terbangun struktur masyarakat Islam terlebih dahulu, terdiri dari berbagai bentuk komunitas: pedagang, budayawan, negosiator politik, guru tarekat, pesantren dan sebagainya yang dicerminkan oleh keahlian masing-masing kesembilan wali tersebut.

Secara historis, dengan demikian, ulama mencerminkan masyarakat sipil independen yang mengontrol kekuasaan, meskipun penguasa itu sendiri berasal dari kalangan mereka.

Namun ketika Pemerintahan Hindia Belanda  mengambil alih VOC terutama sejak Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811 M) maka struktur kekuasaan nusantara dipaksakan sekularisasi mengikuti arus besar revolusi Prancis. Daendels adalah pensiunan Laksamana satu-satunya berkebangsaan Belanda di bawah kekuasaan Prancis dan pengagum berat Napoleon Bonaparte.

Dalam kebijakan Daendels itu, kekuasaan para Sultan diambil alih sepenuhnya oleh Gubernur Jenderal tinggal  hanya formalitas namun kebutuhan hidupnya dijamin dan tidak boleh berpolitik.

Sedangkan para kyai atau ulama diputus hubungannya dengan para Sultan dan keluarga istana serta akses politiknya dilucuti dan diawasi secara politik. Itulah sebabnya mengapa mereka minggir ke kampung-kampung dengan mendirikan pusat pendidikan dan kebudayaan: pesantren.

Menurut Sartono Kartodirdjo, saat itu,  begitu otoriternya pemerintahan Hindia Belanda sehingga tidak ada satu pun institusi yang bisa dipakai untuk menyalurkan aspirasi rakyat, kecuali para guru tarekat. Dari sanalah berbagai pemberontakan sebelum kemerdekaan yang dipimpin oleh para kyai dan guru tarekat terjadi di hampir seantero nusantara. Di antara yang paling fenomenal adalah perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa 1825-1830.

Baca juga:  Diaspora Santri (4): Peran Nahdlatul Ulama dalam Isu Xinjiang

Hingga diterapkannya politik etis, sementara para elit birokrasi dan pekerja serta keluarga kraton diberi kesempatan akses pendidikan, juga gerakan Islam modern. Sedangkan kelompok ulama, guru tarekat dan pesantren masih dikejar-kejar dan diawasi gerak gerik politiknya. Itulah sebabnya mengapa kelompok masyarakat Muslim yang kemudian menjadi basis warga NU, sebagian besar mereka merupakan pengikut para ulama menjadi kelompok paling tertinggal dalam akses pendidikan dan teknologi hingga kini.

Arus perubahan

Pasca Reformasi Indonesia sebagaimana diamati oleh para Indonesianis seperti Ricklefs, Hefner dan Bruinessen di samping terjadi perubahan demografi dimana kelompok putihan atau santri taat lapisannya semakin tebal dan akses ke dalam kekuasaan makin dominan. Pada saat yang sama terjadi pergulatan baru dalam hubungan Islam dengan struktur negara. Berbagai elemen dalam fiqh Islam masuk menjadi bagian dari sistem negara dan pemerintahan.

Namun Aswaja NU mengusung arus deidologisasi Islam. NU membangun suatu konsep kekuasaan yang identik dengan Pancasila dan UUD 1945 dengan dasar syar’i tanpa mengabaikan perlunya meng-insert nilai-nilai dan regulasi Islam ke dalam sistem negara dan pemerintahan dengan mendasarkan pada mashlahah ‘ammah atau public reason.

Hubungan dinamis antara NU dengan pemerintahan Jokowi kini mendekati tipe ideal cerminan dari revitalisasi konsep kekuasaan Islam Nusantara pra kolonial dalam bentuknya yang modern dalam sistem negara-bangsa.

Check and balances tercermin dalam persebaran para kyai sebagai penopang demokratisasi. Dalam kasus mutakhir sengketa dan kekerasan investasi Pulau Rempang, meskipun sangat dekat dengan pemerintah dan presiden Jokowi, tapok  yang juga menjadi pembahasan di Munas, misalnya, kritik NU tidak kalah tajam.

NU melihat pembebasan tanah tanpa kerelaan dari pemilik asli adalah haram. Pembebasan tanah harus dilakukan dengan partisipatif dan atas dasar kerelaan pemilik. Karena itu, pemerintah direkomendasikan mengulang proses pembebasan tersebut.

Tidak hitam putih bukan?

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top