Sedang Membaca
Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi (2): Dakwah Bil Hal dalam Jejaring Bisnis Pesantren
Habibussalam
Penulis Kolom

Ketua Badan Ekonomi Pesantren Al Anwar 3 Sarang Rembang dan Dewan Pengurus Himpunan Ekonomi dan Bisnis Pesantren/HEBITREN Wilayah Jawa Tengah.

Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi (2): Dakwah Bil Hal dalam Jejaring Bisnis Pesantren

Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi (2): Dakwah Bil Hal dalam Jejaring Bisnis Pesantren

Gerakan pemberdayaan ekonomi Pesantren bukan hanya gerakan yang berorientasi keuntungan secara finansial semata. Gerakan ini dilakukan oleh Pesantren juga sebagai dakwah dan implementasi ajaran dan nilai-nilai keislaman. Kemampuan dan keistimewaan pesantren berupa sosok kiai sebagai tokoh sentral yang memberi kepercayaan serta teladan, dan para santri sebagai sumber daya insani produktif dengan basis keilmuan agama yang mumpuni, merupakan kekuatan luar biasa yang sejak zaman dahulu, yang terbukti telah menjaga pesantren tetap bertahan dan eksis ditengah pasang surutnya kondisi zaman.

Kekuatan luar biasa itu juga berpotensi besar untuk menjadi penggerak kesadaran kolektif umat dalam pembangunan ekonomi inklusif. Karena selain figur kiai dan para santri, masyarakat di sekitar pesantren juga merupakan elemen penting yang keikutsertaannya sangat mempengaruhi keberhasilan pesantren dalam membangun ekosistem perekonomian mulai dari lapisan paling bawah.

Pemberdayaan yang dilakukan pesantren juga dalam rangka memberikan kesempatan usaha baru bagi masyarakat secara umum dan meningkatkan usaha di pesantren secara khusus. Upaya ini diharapkan dapat berperan menurunkan defisit neraca belanja (Current Account Deficit/CDA) yang menurut Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah (DEKS) Bank Indonesia, akan dapat memperlihatkan progres dan pengaruh positif terhadap perputaran ekonomi masyarakat, terutama yang ada di lingkungan sekitar pesantren, sehingga pesantren tidak dicitrakan sebagai kelompok yang eksklusif.

Baca juga:  NU dan Tradisi Otokritik: KH M. Hasyim Asy'ari Saja Dikritik

Terlebih, dengan bersatunya pesantren dalam sebuah wadah bernama HEBITREN, potensi dan kekuatan pesantren tentu diharapkan mampu menjadi warna dan harapan baru ekonomi umat di tengah pertembuhan ekonomi nasional yang melemah, terutama ketika pandemi berkepanjangan yang penuh ketidakpastian.

Walau jumlah pesantren yang tercatat sebagai anggota HEBITREN sendiri masih terbilang sedikit jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan pesantren di Indonesia karena hanya mewakili sekitar 0,7 persen dari jumlah total  sekitar 26.000-an pondok se-nusantara. Sehingga, tidak cukup rasanya untuk menjadi patokan bahwa pesantren secara umum telah berhasil melakukan perannya dalam membangun perekonomian nasional.

Namun demikian, upaya pesantren secara berjamaah dalam membangun kemandirian dan kesejahteraan umat ini memang belum selesai dan bahkan baru saja dimulai. Upaya ini, selain membutuhkan waktu, juga membutuhkan kesadaran kolektif dari setiap elemen masyarakat tentang pentingnya membangun kekuatan ekonomi umat sebagai sarana memberikan rasa berkecukupan dan aman bagi umat utamanya yang berkenaan dengan dakwah bil hal.

Sebab, selama ini stigma pesantren lebih dekat pada peran-peran sosial keagamaan yang menyebabkan banyak potensi besar pesantren justru termarjinalkan (Nadzir, 2015). Hal ini diperburuk dengan salah persepsi berbagai pihak bahwa urusan ekonomi bersifat duniawi, sehingga tidak perlu diperhatikan serius oleh kalangan pesantren.

Baca juga:  Khilafah dan Fikih Muamalah (Refleksi Pasca Putusan PTUN atas Gugatan HTI)

Padahal dengan dinamika zaman seperti sekarang, pesantren diharapkan untuk tidak hanya berkutat pada fungsi tradisionalnya semata, tetapi bagaimana pesantren juga dapat turut serta menjadi aktor problem solving masyarakat senyata-nyatanya. Apalagi dengan kekuatan dan kapasitas pesantren kini, pesantren mempunyai peluang besar untuk menjadi pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama (center of excellence) yang mencetak sumber daya manusia (human resource) sekaligus sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat (agent of development), utamanya dari segi ekonomi. Mengingat dalam Islam, ekonomi bisa dikatakan sebagai wasilah bukan maqashid, atau salah satu cara untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat.

Oleh karena itu, diharapkan agar seluruh pesantren yang tersebar di Indonesia dengan segala potensi dan keunikannya, dapat bersama-sama mengambil peran dalam upaya kesejahteraan masyarakat dengan menerapakan program pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Hal ini sesuai dengan nilai-nilai Islam yang tidak menginginkan umatnya terkubang dalam lubang kemiskinan mendalam karena dikhawatirkan bisa menyebabkan munculnya penyimpangan akidah, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Kemiskinan dapat mengakibatkan kekafiran” (HR. Abu Na‟im dari Anas).

Latar belakang tadi perlu terus ditanamkan pada kalangan pesantren, yang juga diiringi dengan langkah-langkah berikut: mempersiapkan para santri dengan bekal keahlian spesifik, seperti kewirausahaan hingga beternak; menekankan bahwa pemberdayaan ekonomi umat akan membawa lebih banyak maslahat di masa depan, serta memberikan pemahaman bahwa persoalan sosial di masyarakat seperti kemiskinan, ketidakadilan, juga merupakan tanggung jawab pesantren sebagai bagian dari hablum min al anas dan dakwah bil hal.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top