Banyak orang rasis di Amerika menganggap bahwa orang kulit hitam hanya jago di bidang olahraga, namun bagi Kareem, opini tersebut tidaklah berlaku. Asupan otak dan otot harus sama seimbangnya. Kemampuan intelektual sama pentingnya dengan kapasitas fisik. Oleh karenanya ia selalu berpesan pada anak-anak basket yang ia latih, “more people need to start spending as much time in the library as they do on the basketball court.”
Sebagai peraih enam kali MVP NBA, nama Kareem Abdul Jabbar tentu tak asing bagi seluruh pemerhati dan fans liga basket Amerika. Selain dikenal sebagai salah satu legenda hidup basket Amerika, ia juga adalah pelatih, pemain film, penulis buku laris, serta duta global Amerika untuk misi perdamaian dan budaya. Lahir di Kota New York tahun 1947 dari orangtua yang disiplin, Kareem yang bernama asli Ferdinand Lewis Alcindor Jr. adalah seorang anak tunggal yang penurut. Tak sekalipun ia membangkang dan membuat hati ayah dan ibunya, Cora Lillian serta Ferdinand Lewis Alcindor Sr., kecewa. Tiap hari ia berusaha memaksimalkan potensinya baik itu di bidang akademik, sosial, dan olahraga. Namun, di antara semuanya, basket merupakan hal yang paling ia tekuni. Dengan postur badan tinggi besar, basket sudah menjadi passionnya sejak kecil. Bahkan kala masih SMA, ia telah mencetak rekor 2.067 poin, yang membuatnya dijuluki ‘the tower from power’.
Memasuki bangku kuliah, Lew, panggilan akrabnya sebelum memutuskan menjadi muslim, semakin menunjukkan kegemilangannya dengan berbagai raihan prestasi, termasuk mendapatkan gelar ‘Player of the Year’ di tahun 1967 dan 1969. Permainan apiknya bahkan menarik perhatian media Sports Illustrated yang mendeskripsikannya sebagai ‘Superstar Baru’. Di bawah kepelatihan John Wooden, ia juga berhasil menjadi kontributor utama dalam raihan 88 kemenangan tim dan hanya dua kali menelan kekalahan. Meski masa remajanya terbilang istimewa dengan bermacam-macam penghargaan, Lew Alcindor sempat mengalami sakit mata yang menyebabkan korneanya bermasalah. Karena problem fisik tersebut, ia pun selanjutnya diharuskan bermain basket dengan menggunakan kacamata.
Menariknya, popularitas yang ia peroleh dalam dunia basket justru malah membuat Lew tidak nyaman. Bagi seorang pemalu sepertinya, pergulatan pribadi untuk memenuhi ekspektasi publik sebagai panutan dan bintang tenar menjadikannya gelisah luar biasa. Di saat itulah, ia berkenalan dengan Islam, yang ajaran serta nilai-nilainya membuat Lew jatuh hati. Tak lama setelah belajar Islam secara singkat, ia memutuskan mengucapkan syahadat pada musim panas di tahun 1968, dan berganti nama menjadi Kareem Abdul Jabbar. Keputusannya berganti keyakinan tersebut ternyata tidak mudah diterima oleh orang-orang sekelilingnya termasuk orangtuanya sendiri. Padahal, menurut Kareem, ayah dan ibunya bukanlah tipikal yang relijius. Namun, bagi mereka Islam adalah agama yang asing. Mereka juga terlanjur percaya bahwa ajaran Kristus tidak bisa diganggu gugat meski mereka bukan pemeluk agama yang taat.
Penolakan keluarga terdekatnya tidak sontak membuat Kareem menyerah dan seketika meninggalkan Islam. Keinginannya untuk mendalami Islam justru semakin menguat. Ia bahkan sempat belajar kepada Abdul Khalis dari Hammas, sebelum kemudian berpisah dari sang guru karena banyak hal yang ia tak setujui. Dalam proses memahami Islam, ia sempat menikah dengan Janice Brown yang kemudian mengikutinya menjadi mualaf. Saat prosesi akad dan resepsi pernikahan dilangsungkan, sempat terjadi kesalahpahaman antara guru spiritual dan kedua orangtua Kareem. Akibatnya, ayah dan ibunya tidak dapat masuk ke aula acara. Merasa tidak dianggap, ayah dan ibu Kareem pun mendiamkannya cukup lama. Hal itu tentu membuat Kareem bersedih, padahal tidak ada secuil pun niat untuk melarang keduanya datang. Untuk membayar kesalahannya tersebut, tiap kali diwawancarai oleh media secara langsung, ia selalu menyapa ayah dan ibunya sebagai upaya permohonan maaf.
Tantangan Kareem dalam memeluk Islam tidak hanya datang dari keluarga terdekatnya saja. Banyak fans beratnya juga kecewa atas keputusan personalnya itu. Tak terhitung cacian, cercaan yang ia alami sebagai seorang muslim baru. Beberapa penggemar pun melabelinya sebagai seorang yang kurang nasionalis karena memeluk Islam. Puncak ketidaksetujuan publik terhadap keislamannya terjadi ketika rumah serta keluarga Kareem diserang oleh kelompok sayap kanan Ku Klux Klan.
Pertengahan tahun 1972, Kareem memutuskan belajar Bahasa Arab secara intensif di Harvard. Pada saat bersamaan, ia juga dianugerahi puteri pertama yang dinamai sama persis dengan istrinya, Habiba. Kesibukan studi dan menjadi ayah baru ternyata tidak semudah yang dibayangkan Kareem. Kesulitan menjalankan kedua peran itu, ia dan istrinya sempat terlibat konflik. Meski sempat diredam bertahun-tahun, perpisahan tak dapat terelakkan. Di tahun 1978, keduanya sepakat bercerai. Dari pernikahannya tersebut, ia memperoleh tiga orang anak: Habiba, Sultana, dan Kareem Jr.
Dilanda berbagai isu personal tidak menyurutkan niat Kareem untuk mempelajari Islam lebih serius. Kurang cocok dengan ajaran gurunya dari Hammas, ia kemudian terbang ke Libya dan Arab Saudi untuk mendalami Bahasa Arab dan Al-Quran. Dari perjalanan panjang tersebut, ia semakin yakin bahwa pilihannya memeluk Islam tak pernah salah. Ia sangat percaya visi misi Islam sejalan dengan cita-cita hidupnya. Oleh karenanya, tak lama setelah pensiun dari dunia basket, ia mencoba menginternalisasi ajaran Islam soal berderma melalui berbagai lelang amal dan organisasi non-profit yang dibinanya, Skyhook Foundation.
Melalui organisasi nirlaba tersebut, ia berhasil memberikan beasiswa bagi anak-anak kurang mampu untuk melanjutkan sekolah. Di usianya yang kini tak lagi muda, menumpuk emas permata tak lagi menjadi minatnya. Ia hanya berharap generasi mendatang, terutama dari kalangan tak berpunya, bisa memiliki masa depan cerah dan menorehkan prestasi seperti dirinya, “Looking back on what I have done with my life, instead of gazing at the sparkle of jewels or gold plating celebrating something I did a long time ago, I’d rather look into the delighted face of a child holding their first caterpillar and think about what I might be doing for their future.”