Sedang Membaca
Haul Keenam Mbah Liem: Kritik untuk Ulama
Hasan Basri Marwah
Penulis Kolom

Pengurus Lesbumi PBNU, penulis, Pengajar di Pesantren Kaliopak Jogjakarta, serta pegiat dan pemerhati budaya. S2 Cultural Studies di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Berasal dari Mataram Nusa Tenggara Barat dan kini menetap di Yogyakarta

Haul Keenam Mbah Liem: Kritik untuk Ulama

Mbah Liem atau lengkapnya Kiai Muslim Imam Puro (1921–2012), Allah selalu menyayanginya, adalah ulama panutan dalam banyak sisi. Tapi yang paling dikenang masyarakat adalah kecintaannya kepada NKRI dan Pancasila. Nama pesantrennya saja Alpansa, Pesantren Al Muttaqien Pancasila Sakti, Karanganom, Klaten, Jawa Tengah.

Mbah Liem sering terlihat memakai seragam hansip, seragam banser, dan selalu ada aksesori Pancasilanya. Lengkap dengan peluitnya.

Kalau ada acara NU atau acara tertentu, Mbah Liem tanpa beban ikut mengatur lalu lintas dan parkir seperti petugas keamanan swadaya seperti anggota hansip atau Banser di kampung.

Penampilan, popularitas, perkakas, dan penghormatan sudah terlampui oleh Mbah Liem. Capaian semacam ini jarang dimiliki orang maupun tokoh saat ini. Ini sebenarnya “style” kiai-kiai pesantren yg mungkin sekarang sudah tergerus zaman.

Pesantren memang membutuhkan kemampuan merespons tantangan zaman. Dinamika Pesantren itu “slowly” tapi terus berjalan. Riaknya di dalam, di permukaan terlihat tenang. Tetapi kesederhanaan sebagai cerminan dari zuhud para kiailah menjadi penggerak utama tradisi pesantren.

Lepas dari kebutuhan akan inovasi, respons dan kemajuan lainnya, teladan atau eksemplar moral yang hidup dalam kehidupan nyata kiai-kiai seperti pada sosok Mbah Liem menjadi hal utama yang menggerakkan orang pesantren.

Baca juga:  Islam di Banjar (1): Ritual, Makhluk Gaib hingga Tingkah Generasi Milenial

Terlebih pada zaman sekarang, terlihat bagaimana ragam modernitas dan tradisionalitas itu memancar dari kehidupan masyarakat. Bentuk yang paling umum, ya perayaan agama di hampir seluruh aspek kehidupan. Fanatisme keberislaman (taassub bil islam) tumpah di semua bidang.

Dan hal itu bukan khas Islam tapi semua agama. Ada kontestasi akan perhatian. Politik perhatian menjadi sesuatu yang penting dalam beragama. Upacara agama tertentu yang dulu tidak memakai pengeras suara, sekarang memasang TOA empat penjuru seperti upacara agama lain.

Perayaan harus dipastikan tingkat perhatiannya. Seperti anak zaman now yang mengandaikan bahwa semakin banyak yang me-like status Facebook atau Instagram-nya, maka itu ukuran dari perubahan.

Siapa yang bebas dari hasrat akan perhatian? Semua golongan intra agama atau di antara pemeluk semua agama “autis” akan perhatian. Bahkan mereka yang masuk golongan anti agama juga menghasrati perhatian.

Agama yang dulunya ditaksir bubar oleh para sekuleris ternyata semakin marak. Seharusnya dulu taksiran begini: agama akan semakin marak melebihi zaman sebelumnya, dan perayaan agama yang terjadi belum pernah ada sebelumnya. Tetapi kemarakan agama itu tidak kaitannya dengan pemaknaan terdalam atas agama atau kehidupan. Perayaan tidak ada kaitannya dengan kualitas.

Saya tidak ingin menghakimi kebanalan keberagamaan yang semarak sebagai fenomena hitam putih. Saya hanya mengatakan bahwa fenomena tersebut akan menjadi gejala umum tetapi setiap orang masih memiliki pilihan lain. Masih ada pilihan. Hanya saja, orang sering mengabaikan keragaman pilihan yang ada, dan cenderung lebih memilih saling unlike dan bully.

Mbah Liem adalah sosok ulama yang melampui kategori yang bertentangan sekalipun. Pertentangan kategoris itu hijab bagi seorang ulama. Mbah Liem adalah kritik bagi semua kelompok yang merasa paling benar, paling islami, paling pesantren, paling cinta tanah air dan seterusnya. Dan sosok beliau masih sempat disaksikan oleh generasi milineal pesantren. Al Fatehah…

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top