Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Mengapa NU Online Mengalahkan Web-Web Islam Puritan?

Tadi malam, Direktur NU Online Savic Ali mengunggah foto di Facebook. Foto itu menunjukkan peringkat terkini media-media keislaman. Dia mengatakan NU Online mengatasi web-web keislaman garis keras seperti eramuslim dan sejenisnya. Narasi Savic Ali begitu bahagia dan gagah. Kenapa?

Karena Savic Ali dan timnya berhasil memenagi pertandingan, setelah menjalani musim kompetisi yang panjang sekali, menguras emosi, tenaga, pikiran. Lebih-lebih, mereka menang tanpa tim dan anggaran yang ideal. Otomatis, NU Online mengandalkan cita-cita bersama, jaringan, keguyuban, pengabdian, dan kerja keras. Skil pun sebenarnya belum ideal, kemampuannya tidak merata.

Bertahun-tahun web-web keislaman yang masuk 20 besar dalam peringkat Google diisi oleh kelompok-kelompok Islam garis keras. Baru 2-3 bulan terakhir NU Online menduduki peringkat atas. Dan mungkin baru tiga-empat tahun belakangan ini NU Online masuk “sirkuit”, menggesar web-web keislaman yang kerjanya justru membajak nilai-nilai kenabian. Ada dua jawaban lagi yang ingin saya sampaikan kenapa NU Online jadi juara.

Pertama, anak-anak muda cepat sekali belajar. Mereka, yang sebagian besarnya berlatar belakang pedesaan dan pendidikan keagamaan, mengejar ketinggalan, gigih belajar dalam bidang teknologi, belajar bagaimana mengelola dan memperbarui media. Namanya juga belajar, maka berjuang dan sehari-hari rela makan apa adanya, persis santri yang sedang gigih mencari ilmu di pesantren: banyak puasa dan tidur seadanya.

Satu orang guru yang sangat berpengaruh, melecut semangat para anak-anak muda dari desa itu, belajar di bidang teknologi: Hasyim Wahid, dikenal dengan Gus Iim, seorang yang saat ayahnya wafat –Kiai Wahid Hasyim– masih dalam kandungan. Gus Iim telah berhasil membuat semboyan yang mengagetkan: Teknologi sebagai Tradisi. Kata-kata dahsyat seperti ini –kemudian menjadi kredo– hanya bisa mencul dari seorang yang memiliki gagasan besar, amat besar, bukan dari orang yang tiap hari kampanye “penataan organisasi”, “menertibkan organisasi”, “menguatkan menejemen”.

Jawaban kedua, adalah sejarah panjang media NU. Izinkan saya sedikit mengulas sejarah di bidang media, utamanya majalah. Media NU, hampir setua NU itu sendiri. Mari kita lihat.

Baca juga:  Santri, Ikan, dan Malaikat

Tak lama setelah NU lahir di Surabaya tahun 1926, terbit majalah bulanan berbahasa Jawa bernama Swara Nahdlatoel Oelama, terbit pertama bulan Juni 1927.

Baca juga:

Disusul munculnya majalah Oetoesan Nahdlatoel Oelama, Januari 1928. Kemudian majalah Berita Nahdlatul Oelama, tahun 1931. Tiga majalah itu hidup berdampingan. Majalah yang disebut terakhir masih terbit hingga tahun 1953.

Informasi bahwa tiga majalah itu pernah terbit dalam waktu bersamaan ada di Oetoesan Nahdlatoel Oelema Nomor Pertama:

NU seyogyanya tidak hanya menerbitkan majalah Swara Nahdlatoel Oelama yang berhuruf Pego dan berbahasa Jawa, namun menerbitkan majalah berbahasa Melayu dan berhuruf latin.” Itulah pengantar Oetoesan Nahdlatoel Oelema. Di terbitan itu juga tertera iklan bersama majalah Swara NO dan Oetoesan NO.

Ketika GP Ansor lahir, tak lama juga menerbitkan majalah: Soeara Ansor. Majalah bernama Soeloeh NU juga terbit mendampingi berdirinya Lembaga Pendidikan Ma’arif.

Begitu juga ketika ada konsolidasi sosial warga NU lewat Lailatul Ijtima’, terbit pula Buletin Lailatul Ijtima’ Nahdlatoel Ulama (Buletin LINO). Ketika didirikan MIAI dan diterbitkan majalah bernama Soeara Muslimin Indonesia, aktivis dari NU-lah yang menjaga majalah tersebut.

Baca juga:  Era Digital adalah Eranya Anak-Anak NU

Tahun 50-an, ketika NU keluar dari Masyumi, lalu mendirikan Partai NU, didirikan pula koran yang berskala nasional: Duta Masyaratkat. Koran tersebut berhasil, bukan hanya melahirkan dan mengkader penulis-penulis handal di lingkungan NU, tapi juga menjadi bacaan masyarakat luas, bukan hanya NU.

Momentum lahirnya IPNU juga tercatat dan digerakkan oleh majalah bernama Chazanah, begitu juga Sarbumusi yang memiliki Buletin Berkala Sarbumusi. Dan Misi Islam, tahun 1970an, menerbitkan majalah dengan tulisan-tulisan memikat pada jamannya: Risalah Islamiyah.

Menghadapi Muktamar NU 1984 di Situbondo, aktivis muda NU mempersiapkan buletin stensilan yang disebarkan ke pengurus cabang, pesantren, dan kiai: Buletin Khittah. Pasca muktamar, suasana NU menjadi segar dengan konsep Khittah yang bersejarah itu. Suasana itu tercermin pada tabloid “hasil” muktamar bersejarah: Warta NU. Terbitan perdana menampilkan berita utama yang gagah, “NU dengan Gerak Baru”.

Jurnal Tashwirul Afar terbit pertama kali saat Muktamar Cipasung yang “genting” itu. Meski baru terbit lagi tahun 1997, jurnal tersebut sampai sekarang masih terbit dan menjadi satu-satunya jurnal yang terbit dari ormas serta beredar luas di masyarakat. Majalah Santri telah berhasil mengikuti dinamika RMI, demikian juga jurnal Pesantren.

Sekelumit catatan di atas tergambar bahwa babak-babak sejarah penting NU selalu diikuti oleh lahirnya media. Ini artinya, sejak awal NU sadar bahwa media menjadi salah satu aktor utama dalam gerak NU. Dari catatan di atas juga tergambar bahwa NU sangat lekan dengan dunia keilmuan atau keulamaan. Ya, namanya juga ulama, mereka tak bisa “hidup” tanpa ilmu yang tertata rapi dan teruji.

Baca juga:  Nabi Muhammad, Sokrates, dan tentang Orang-Orang Bodoh

Masih banyak lagi media-media yang tidak tercatat dalam pengantar ini, terutama yang terbit di daerah, seperti al-Mawaizd di Tasikmalaya, Aula di Surabaya, Bangkit di Jogja, Suara NU di Jawa Tengah serta media-media elektronik (radio) yang tidak terpantau satu per satu. Dan ketika revolusi teknologi informasi bergulir, NU tak mau ketinggalan, tumbuh di mana-mana website NU yang menembus batas-batas geografis, baik yang dikelola secara amatir ataupun profesional.

NU Online, dengan segenap kekuarangan dan kelebihannya, telah berhasil menampilkan NU di dunia maya. Dan hari ini, kerinduan warga NU akan media audio visual pelan-pelan terobati dengan hadirnya TV9, meski terbatas di Surabaya.

Dengan catatan di atas, timbul harapan bahwa NU patut diperhitungkan di kancah media. Namun, pada saat yang bersamaan muncul pula kendala dan problem-problem dalam pengelolaan media. Ada pertanyaan mengemuka, dari banyaknya media di NU, adakah benang merah yang bisa ditarik? Bahkan ada pertanyaan yang lebih mendasar, apakah media-media itu punya cita-cita yang sama dengan organisasi induknya: NU?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
8
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (3)
  • Mimin… Gimana pandangan mimin dengan Al washliyah …?? Krn di daerah Medan tu kebanyakan al wasliyah. … Perwiritan ibu dll… Emang NU dan Muhammadiyah ada jg tp tdak trlalu ramai… Mohon pnjelasannya ya min… Tntang Al washliyah…
    Wassalam

  • Asslmuakum…..saya acungi jempol untuk nu online..tapi tolong masukan dari saudaramu ini di dengar…..sebetulnya anak2muda NU ini jiwa jihat melawan salafi/wahabi ,masa ini berkobar2,dimedsos,.tapi sayang nya byk yg belum tahu situs NU online…..mohon situs NU ini di promosikan di televisi2 nasinal…seperti tvone,mnctv,indosiar dll….sebab di luar pulau jawa baru dikit2 yg tahu NUonline….haa seperti iklan:cara ampuh untuk menangkal aliran2 garis keras yg mengancam NKRI ..download NUonlin.com.gitulah maksudku. saya ini asli jateng tapi jualan keliling di luar pulau jawa,dan selalu pindah2 tempat..jadi saya prihatin dan sedih lihat sekte salafi/wahabi/jaulak,..yg pindah2 dari masjid ke masjid lain,mushola satu ke mushola yg lain,,meyebar paham penghapusan tradisi2 NU..tahlilan bid’ah,sesat…dll…warga masyarakat bingung tanya ya di mana….dalil2 nya..apa?….sebab byk yg belum tahu untuk melawan sekte salafi/wahabi/jaulak…nah maka dari itu tadi di atas saya ikut kasih masukan/strategi NU untuk melawan sekte wahabi…
    Trim….assalamualaikim.

Komentari

Scroll To Top