Sedang Membaca
Puan Maharani: Imun, Iman, dan Bismillah
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Puan Maharani: Imun, Iman, dan Bismillah

Img 20210712 Wa0011

Senin masih duka. Pagi telah terang dan pembaca tercengang. Terbukalah Kompas dan Jawa Pos, 12 Juli 2021! Sehalaman penuh memuat foto Puan Maharani berpredikat Ketua DPR RI dan kata-kata. Pengumuman atau iklan tak mencantumkan pihak pembuat atau berkepentingan. Kita menduga saja: Puan Maharani, DPR RI, atau PDI Perjuangan?

Puan Maharani dalam dandanan anggun, mengesankan busana adat Tengkuluk Bai-Bai (Jambi). Ia menggunakan masker. Pembaca melihat dalam kesan-kesan merah.
Pembaca koran mungkin sedih, telah mengeluarkan duit tapi mendapat halaman iklan-pengumuman “politis”. Pembaca mungkin bermufakat dengan pamrih pemuatan iklan-pengumuman.

Sejak setahun lalu, pesan untuk taat protokol kesehatan sudah disampaikan melalui beragam cara dan media. Publik mengerti dan perlahan “bosan”, setelah pesan-pesan sama berdatangan setiap menit atau hari. Presiden, menteri, ulama, seniman, artis, tokoh politik, dan pelbagai pihak berperan dalam mengedarkan pesan-pesan dalam menanggulangi wabah dan berharap keselamatan bersama. “Bosan” mengartikan penggunaan bahasa terbukti repetitif. Pesan-pesan sulit memikat. Penampilan para tokoh sering formal atau berpamrih politis.

Senin malah diganjar iklan-pengumuman perlahan menjenuhkan. Halaman itu ingin berbeda dalam penggunaan diksi dan penampilan tokoh. Pembuat iklan-pengumuman mencantumkan ajakan: “ Jaga Iman, Jaga Imun, Insya Allah Aman, Aamiin.” Kita membaca sebagai doa atau pengharapan. Di pojok bawah, ada seruan ingin menjadi gerakan: #Taatiprokes. Ada tambahan pula:

#BismillahIndonesiaLebihSehat. Ajakan mengandung dalih-dalih religius tapi “berlebihan”. Hari demi hari, kita ingin sehat. Ikhtiar dan doa untuk sehat dalam situasi rumit dan keterbatasan. Ajakan dari Puan Maharani: “lebih sehat”. Kita sulit memahami cara mencapai “lebih”. Senin justru “bermasalah” bagi pembaca koran-koran memuat iklan-pengumuman bertokoh Puan Maharani. Kita mungkin mengaku tak perlu tapi situasi politik memungkinkan pembesaran tokoh berkaitan wabah. Pembaca belum wajib menghitung di kertas atau menggunakan kalkulator berhitung anggaran dalam pembuatan iklan-pengumuma di koran-koran. Curiga ditunda saja bila menghendaki duit digunakan bermisi mengingatkan dan mengajak publik “berdoa” tak sia-sia.

Baca juga:  Parokialisme Keagamaan, Fragmentasi Umat, dan Tanggung Jawab Kita

Pembaca koran edisi cetak mengaku “pusing”. Sehari sebelum bertemu foto Puan Maharani dan pesan-pesan, pembaca mendapat rangsang pemikiran di Kompas, 11 Juli 2021. Di situ, kita membaca masalah politik dalam berita: “Imbauan ditujukan kepada semua anggota Fraksi PDI-P di DPR agar memasang baliho bergambar Puan mulai 15 Juli sampai dua bulan ke depan di daerah pemilihan masing-masing. Dalam pesan itu disertakan enam desain baliho dengan tulisan ‘Kepak Sayap Kebhinekaan’.”

Perkara pemasangan baliho itu wajar dalam politik di Indonesia. Jalan dan ruang publik “dikutuk” ratusan atau ribuan baliho. Konon, baliho demi popularitas dan tebar pesona politik. Baliho-baliho dengan foto Puan Maharani masih terlihat di pelbagai kota. Kita melihat dan membaca. Kita pun “bingung” melihat baliho politik “bersaing” dengan pesan-pesan bertema wabah atau komersial.

Baliho itu terduga wujud kerja partai politik. Kini, kita mulai bertemu halaman-halaman masih bertokoh Puan Maharani. Pilihan diksi berbeda. Tema tentang wabah, tak gamblang berseru politik. Sekian hari lalu, kita masih bisa melintasi jalan-jalan berhiaskan baliho-baliho politik.

Sejak 3 Juli 2021, kita diminta di rumah. Kepatuhan di rumah mendapat ganjaran menemukan halaman iklan-pengumuman. Lihatlah dan bacalah pesan Puan Maharani! Pelanggan dan pembaca koran mungkin ingin hiburan dan tabah selama wabah. Halaman itu mungkin memberi “kecewa”. Pembaca ingin berita dan artikel berdampak betah di rumah. Sekian tema memberi sedih meski pembaca masih mungkin peka untuk berharap dan mencipta bahagia. Iklan-pengumuman bertokoh Ketua DPR RI terasa aneh saat ketabahan sedang diuji.

Baca juga:  Fenomena Hijrah, Materialisasi Taubat, dan Kerawanannya (2/2)

Kita mendingan berpikiran “baik-baik saja” dengan mengurusi pesan-pesan, bukan foto tokoh. Pencantuman “Insya Allah” dan “Bismillah” mengingatkan tata cara berdoa bagi umat Islam. Kita mengingat Allah. Wabah belum tamat, kita wajib berikhtiar dan berdoa. Kita ingin Allah memberi keselamatan dan memberi bahagia. Kita diajak menjaga iman. Diksi itu membingunkan saat disandingkan “jaga imun”. Permainan kata terasa dipaksakan meski berbeda masalah. Permainan itu ingin disempurnakan dengan “aman”.
Kita terlalu menggampangkan mempertemukan perkara: iman, imun, aman, dan amin. Murid-murid pernah mendapat pelajaran agama di sekolah mendapatkan keterangan mengenai iman sekian halaman. Materi itu dipelajari. Murid berharap bisa menjawab soal-soal ujian. Iman masuk dalam soal. Murid serius menuliskan jawaban, malu bila menjawab sembarangan. Iman berurusan dengan Tuhan. Pelajaran agama dan pengajian di masjid sulit rampung dalam menerangkan iman. Orang rajin ikut pengajian ingin meningkatkan iman dan takwa. Dua diksi sering bersama. Kita pun terbiasa mengucap atau menulis: iman dan takwa atau keimanan dan ketakwaan. Wabah mengubah “pasangan”. Kita belum memastikan pengusul atau pemula seruan “iman dan imun”. Pada edisi berbeda, kata- kata diserukan: “iman”, “imun”, “aman”, “amin”.

Tahun demi tahun, penjelasan tentang iman mungkin “masih sama saja”. Kita ingin mendapat sentuhan dan pesan berbeda dengan mengacu bacaan-bacaan bukan buku pelajaran atau pengumuman-pengumuman klise disampaikan pelbagai pihak. Orang bisa membuka buku berjudul Terang Benderang: Renungan Spiritual Harian, Kutipan dari Masnawi Rumi (2000). Buku terjemahan HB Jassin dan Ali Audah. Kutipan pendek: “Orang beriman adalah sumber kasih sayang; rohani orang saleh yang jernih adalah air kehidupan.”

Baca juga:  Pancasila sebagai Ideologi Pemersatu Umat Beragama di Indonesia

Kita membaca itu puitis, tak dimaksudkan sebagai slogan. Hal-hal puitis kadang malah memicu perhatian dan membuat kita tekun dalam pemaknaan. Penerimaan berbeda setelah “iman” terlalu gampang dicantumkan dalam iklan-pengumuman atau diucapkan oleh para pejabat.
Kita beralih dengan seruan atau gerakan #BismillahIndonesiaLebihSehat. Kita memikirkan “bismillah”. Sekian hari lalu, publik menggunakan itu berkaitan kritik atas pengangkatan tokoh sebagai komisaris BUMN. “Bismillah” disajikan dalam kritik atau protes. Penggunaan dengan misi berbeda terdapat dalam iklan-pengumuman memasang foto Puan Maharani. Ia bukan komisaris di BUMN tapi Ketua DPR RI.

Kita sulit berpikiran serius tentang makna mendingan lekas mengingat senandung Novia Kolopaking: Dengan menyebut nama Allah/ jalani hidupmu/ yakinkan niatmu/ jangan pernah ragu. Lirik lagu dimulai dengan terjemahan “bismillah”. Pada bagian lain: Serahkanlah hidup dan matimu/ serahkan pada Allah semata/ Serahkan duka gembiramu/ agar damai senantiasa hatimu. Lagu tak dijuduli “Bismillah”. Orang-orang masa lalu mengetahui judul lagu sering terdengar saat Ramadan itu “Dengan Menyebut Nama Allah”. Lagu digubah oleh Dwiki Dharmawan. Kita menikmati lagu dibawakan Novia Kolopaking dan GIGI untuk mengingat Allah. Lagu berpesan tentang iman. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top