Sedang Membaca
Meng-Ahok-kan Ibu Nani Handayani?
Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Meng-Ahok-kan Ibu Nani Handayani?

Kita, warganet, mafhum, tatkala ada hantaman keras untuk Khalid Basalamah. Sebab, isi ceramahnya sarat kebencian, hinaan terhadap kelompok yang berbeda, memecah belah, dan terakhir tentang UIN Suka Jogjakarta yang mengandung kebohongan.

Tapi mengapa hantaman keras juga disasarkan kepada Ibu Nani Handayani?

Sebetulnya saya agak mafhum juga, tapi hati nurani saya kok mengatakan hantaman kepada Ibu Nani ini musykil, ada masalah. Setidaknya, saya merasa tidak nyaman.

Kemusykilan, suasana tidak nyaman, atas situasi ini pernah saya rasakan juga pada “kasus” Katin Aam PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, sekitar dua bulan lalu.

Gus Yahya, begitu dia dipanggil, dihantam sekuat tenaga oleh warganet dan bahkan oleh institusi atas kesalahan yang “samar-samar” saja. Padahal kesalahan dia, tidak segamblang Ibu Nani ini, tapi dihantam juga.

Di luar kesalahan tulisan atau ketidakfasihan bacaan Ibu Nani, kita sebagai masyarakat juga tampak tidak proporsional dalam merespon sebuah masalah. Kita, sebagai warganet, punya dua kekeliruan dalam menanggapi masalah Ibu Nani Handayani:

Pertama, kita seperti tidak rela atas klarifikasi Metro TV ataupun Ibu Nani. Kita mengatakan “Itu kesalahan ustazah, kok nyalahin tim?” Di sini kita emosional, padahal kita tidak paham. Kerja Ibu Nani ya memang kerja tim. Jika ada kesalahan kesalahan, tim yang salah. Jika ada yang benar, tim berarti telah bekerja dengan bagus.

Baca juga:  Benarkah Terorisme Tidak Ada Hubungannya dengan Agama?

Di mana posisi Ibu Nani? Dia anggota tim kerja.

Kedua, kita seperti tidak bisa membedakan mana “kesalahan” dan mana “kejahatan”.

Bagi saya, tim kerja (Ibu Nani,dll) telah melakukan kesalahan, bukan melakukan kejahatan (dalam pengertian “kultural” bukan hukum, karena saya tidak paham hukum).

Bagi saya, Khalid Basalamah, telah melakukan kejahatan (sekali lagi dalam pengertian “kultural”), karena dia telah bohong tentang UIN, dia mengujarkan kebencian, dia memusuhi kelompok yang berbeda.

Sampai di sini, respon kita tidak membedakan, mana kesahalan dan mana kejahatan. Kita telah melakukan hantaman yang sama pada kasus yang berbeda. Di sini kita keliru, bahkan dengan derajat yang berbeda, kita telah “meng-Ahok-kan” Ibu Nani.

Kita, istilah Gus Dur, “gila kasus”, seperti gembira kalau orang salah, bahkan dicari-cari kesalahan orang. Jika ada kesalahan orang, seperti dapat tenaga untuk menghantam. Bukankah kita sedih atas perkara yang menimpa Ahok? Bukankah kita tidak senang para orang yang gila kasus Ahok?

Mengapa kita melakukan itu?

Pertama, karena Ibu Nani dari partai politik yang berbeda dengan kita. Kesalahan Ibu Nani kita lipatgandakan karena dia dari parpol yang memang dinilai merasa agamis sendirian. Jelas, kita telah membawa-bawa hal yang tidak relevan atas kesalahan Ibu Nani (dan teman-temannya di tim).

Baca juga:  Nahdlatul Ulama Sesudah Ini (Bagian Kedua)

Kedua, sebagian kita telah “cemburu” pada orang-orang yang punya akses “berdakwah” di televisi. Kecemburan itu tampak sekali, misal dengan ungkapan “kayak gak ada orang pinter saja”. Itu maksudnya, “kita pinter, kenapa pilih mereka?”

Apa yang harus kita lakukan?

Pertama, tegur dan protes keras pada televisi. Ia yang secara penuh bertanggungjawab atas kesalahan tim kerja (Ibu Nani, dll). Tidak adil jika telunjuk hanya mengarah pada tim, lebih-lebih pada satu atau dua anggotanya.

Kedua, buat pihak-pihak yang akan menegur sebaiknya dilakukan atas nama forum. Misal Forum Masyarakat Pencinta Alquran (MPA), Forum Mubalig Ahli Agama (FMAA), Forum Doktor Ahli Ceramah (FDAC), dan lain-lain.

Forum ini penting karena mewakili anggota, bukan orang per orang. Insyaallah akan lebih diperhatikan. Kalau kita pemimpin, lalu kita hanya protes di Facebook, maka tidak ada bedanya dengan orang yang bukan pemimpin.

Ketiga, sebagai individu ataupun komunitas kita harus bersikap moderat, tidak berlebihan atas kesalahan orang atau komunitas lain.

“Cintailah dengan wajar. Bencilah dengan sekedarnya.”

Ini kalimah aslinya dari Arab yang saya lupa teks aslinya, dan lupa pula ini pepatah atau hadis atau dari Alquran atau dari Sahabat Nabi atau dari kaum Jahiliyah.

Entahlah itu dari mana, yang jelas maknanya penting sekali untuk kita pegang, agar kita tidak terjerumus pada arogansi yang tidak perlu, agar kita tidak gampang reaktif pada kesalahan yang membuat kita kalap, dan yang sangat penting serta substantif adalah agar kita tetap berjalan pada rel keadilan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Ingat pula, kita bisa melakukan kesalahan seperti Ibu Nani dan tim, bahkan bisa lebih buruk.

Baca juga:  Sakralitas Simbolisme “Kiai” bagi Orang Jawa

Terakhir, ingat nasehat Gus Mus. Kurang lebih beliau mengatakan,

“Jika ada orang yang salah atau tersesat, tunjukkan arah yang benar, bukan dimarahi, apalagi ditempelengi. Saya tidak perlu mengutip hadis Nabi Muhammad. Beliau mulia, luhur. Sementara saya siapa. Malu saya ngutip-ngutip beliau.”

Saya ngutip Gus Mus saja, biar kalau ada yang salah langsung dibetulin beliau. Semoga berkenan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top