Sedang Membaca
Demokrasi dan Kebangsaan ala Gus Dur dan Franz Magnis
Hafidin
Penulis Kolom

Penulis seorang sosiolog, punya perhatian lebih pada kebebasan pers, etika lingkungan, kesetaraan gender, pluralisme dan dialog interfaith.

Demokrasi dan Kebangsaan ala Gus Dur dan Franz Magnis

Romo Magnis Dan Gus Dur. Sesawi Afp

Sejak ratusan tahun yang lalu, bangsa Indonesia sudah lama hidup berkebudayaan. Hal ini terwujud dalam entitas falsafah nusantara yang tertanam dan mengakar sampai ke pola perilaku  dan ajaran hidup hampir di setiap generasi masyarakatnya. Falsafah itu terus bertumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan demokrasi dan alam pikir warga negaranya.

Dalam sejarah demokrasi Indonesia, pilar konstitusi yang sekarang berdiri tak lepas dari perjuangan para tokoh nasional dan tokoh agama untuk bermusyawarah dan menyatukan ide dalam mengawal demokrasi berbentuk Negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam praktiknya, entah disengaja atau tidak, ruang demokrasi sering kali bersandingan dengan gagasan nasionalisme yang menyublim ke dalam relasi kuasa antara negara dan agama.

Bahkan dalam dua periode Jokowi saat ini, relasi kedua komponen tersebut mengerucut menjadi hubungan mesra antara hegemoni elit politik yang sekarang sedang berkuasa, dengan kelompok agama mayoritas yang sekarang sedang merepresentasikan wajah Islam Nusantara.

Hubungan mesra di antara keduanya juga bisa dilihat dari respon masyarakat terkait pembubaran Ormas FPI. Menurut pandangan penulis, dengan dibubarkannya FPI oleh pemerintah, demokrasi kita kembali diuji oleh persoalan fundamental kemanusiaan. Bukan soal pembubaran itu efektif atau tidak, tapi soal dampaknya yang lebih besar terhadap pemahaman kebangsaan dan demokrasi kita ke depan karena masyarakat bisa terpecah belah jika melihat fenomena pembubaran FPI dari satu sisi sudut pandang saja, apalagi jika pandangan itu hanya berdasar pada kebekuan pemahaman para pengikut kelompok mayoritas berdasarkan doktrin yang mereka terima tanpa adanya upaya untuk membenturkannya dengan dialog kritis di ruang publik. Setidaknya, untuk menghidupkan nalar demokrasi.

Baca juga:  Lima Lubang Indonesia di Bidang Hukum

Sebab pembubaran FPI bisa saja menjadi instrumen politis untuk melanggengkan kekuasaan, sehingga punya dimensi pertarungannya sendiri dengan kubu oposisi yang sampai pada  periode Jokowi saat ini tidak hanya keropos di dalam parlemen, tapi juga timpang di luar istana dengan peran civil society sejauh ini masih banyak digunakan sebagai support system kekuasaan, bukannya sebagai penjaga dan penyokong demokrasi itu sendiri.

Mengikuti pandangan Azyumardi Azra dalam menjelaskan ‘How Democracies Die’ karya Steven Levitsky & Daniel Ziblatt (2018),  bahwa kemunduran masyarakat sipil (Civil Society) berkelindan dengan kemerosotan demokrasi. Selain itu, demokrasi bisa mati jika ada agenda politik terbuka atau tersembunyi menumpuk kekuasaan di tangan eksekutif melalui ‘permainan konstitusional’ tertentu. Demokrasi juga bisa menuju kematian jika kepincangan ekonomi di antara golongan masyarakat terus berlanjut, bahkan memburuk karena kebijakan pemerintah yang tidak adil. Terakhir, demokrasi bisa makin mundur dan menuju kematian ketika segregasi politik berdasarkan agama, ras, dan daerah tercipta serta meluas.

Pun demikian dengan pers sebagai pilar keempat demokrasi yang sampai saat ini masih terus bersinggungan dengan pasal-pasal karet produk konstitusi yang tidak hanya multitafsir, tapi juga sering bertabarakan dengan kode etik pers dalam kerangka kemanusiaan yang bukan sekadar menjalankan tugas teknis pekerjaan jurnalistik semata.

Terbaru, Dewan Pers bersama sejumlah asosiasi seperti AJI, PWI, ITJI, forum Pemred dan AMSI meminta Kapolri untuk mencabut Maklumat Kapolri poin 2d yang dinilai akan melahirkan efek buruk bagi kebebasan pers. Meski demikian, pihak Polri menyatakan bahwa Maklumat Kapolri bernomor: Mak/1/I/2021 bertanggal 1 Januari 2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam, tidak akan menghalangi kinerja pers selagi dalam kerjanya tidak melanggar kode etik jurnalistik, konstitusi UUD 1945 dan ideologi negara Pancasila.

Baca juga:  Kenapa Strategi Pemerintah dalam Menghadapi Radikalisme Membingungkan?

Poin 2d yang dimaksud berbunyi: “masyarakat tidak mengakses, mengunggah dan menyebarluaskan konten terkait FPI, baik melalui website maupun media sosial”. Padahal, Kode etik pers dalam kerangka kemanusiaan berarti posisi dan keberadaan pers harus sejalan dengan hukum hak asasi dengan ikut menyuarakan kebebasan berekspresi bagi seluruh warga negara Indonesia, bukan sebatas melakukan pekerjaan jurnalistik secara eksklusif karena terikat atau dijamin oleh maklumat itu sendiri.

Yang paling mengerikan dari pembubaran FPI adalah jika kelompok Islam mayoritas merasa lebih diterima oleh elit kekuasaan dengan meraih sejumlah akses legitimasi dan jabatan politik di dalam istana hingga lupa akan tugas keagamaan dan kebangsaan yang diamanahkan, maka demokrasi kita sedang berjalan merangkak menuju kematian, karena politik kita masih gemar memainkan agama yang berpotensi merusak inklusivitas kemanusiaan dalam entitas kebinekaan Indonesia.

Untuk mengurai relasi agama dan negara dalam menjaga demokrasi Indonesia, agar tetap sejalan dengan nilai Pancasila yang dicita-citakan tanpa mengabaikan dinamika politik di masa depan, adalah dengan menyuguhkan dan mengembangkan pandangan Munawir Aziz tentang ijtihad kemanusiaan Gus Dur dan Romo Franz Magnis Suseno, bahwa keduanya sama-sama berjuang merawat demokrasi dengan menekankan akan pentingnya tradisi dialog kritis terhadap kontekstualisasi kebangsaan Indonesia yang sejalan dengan kemanusiaan dan kebudayaan nusantara. Seperti kata Munawir Aziz, kontekstualisasi dan penjernihan atas nilai-nilai kebangsaan akan terus berlangsung. Generasi kini, generasi milenial dan lapisan selanjutnya, memiliki tugas untuk terus mengkontekstualisasikan dengan zaman.

Baca juga:  Catatan Akhir Tahun: Agama Kita dan Air

Lalu untuk menjaga Indonesia dari ancaman radikalisme dan isu agama yang fomalistik, sebagaimana yang dikatakan Romo Magnis, nalar kemanusiaan harus bersinergi dengan moralitas agama dalam mewujudkan demokrasi nusantara yang sehat dan beretika. Gus Dur bahkan lebih jauh menolak intervensi negara terhadap urusan agama dan mendukung total kebebasan beragama dengan memberikan fungsi etik agama dalam wilayah sekuler. Selanjutnya pikiran beliau membuat pemuda-pemuda Indonesia tumbuh dengan ide-ide kontemporer tentang demokrasi, kebebasan beragama, dan pluralisme.

Sebagai penutup, sambil terus menaruh harapan pada demokrasi ke depan, FPI boleh saja bubar asalkan itu tidak melangkahi hukum hak asasi dan konstitusi, serta kita tidak gemar mengafirmasi bahwa madzhab atau aliran kitalah yang lebih diterima oleh kekuasaan dan vice versa. Apalagi sampai merasa jadi pemenang hegemoni madzhab semata, lalu tetap membiarkan kekuasaan politik memainkan moralitas agama dan menghambat nalar kemanusiaan, karena mewujudkan demokrasi yang sehat membutuhkan keduanya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top