Sedang Membaca
Militer dalam Demokrasi: Pemikiran Kiai Saifuddin Zuhri tentang Peran Tentara
Gifari Juniatama
Penulis Kolom

Gifari Juniatama adalah penulis lepas dan peneliti independen. Meminati kajian sosial, agama, dan budaya. Saat ini tinggal di Tangerang. Dapat dihubungi melalui akun instagram @gifarijuniatama atau akun facebook Gifari Juniatama.

Militer dalam Demokrasi: Pemikiran Kiai Saifuddin Zuhri tentang Peran Tentara

Menurut Salim Said (1996), salah satu pengamat militer Indonesia terkemuka, konsep Dwifungsi ABRI atau perluasan peran militer di luar tugas pertahanan sudah ada sejak awal pembentukan tentara nasional di republik ini. Konsep tersebut sudah mulai tumbuh pada era kepemimpinan Jenderal Soedirman, kemudian berubah di zaman Jenderal A. H. Nasution, lalu kembali bertransformasi dan menjadi mesin kekuasaan otoriter di bawah kendali Soeharto. Jadi, peran tentara yang meluber ke luar fungsi pokoknya sudah terjadi mendahului Orde Baru.

Presiden Sukarno yang merupakan pemimpin sipil sudah lama mewanti-wanti pentingnya menjaga batasan yang jelas dari peran militer dalam kehidupan bernegara. Rekaman pidato Sukarno yang melarang tentara untuk bermain di arena politik belakangan kembali populer, dan banyak dibagikan di media sosial. Tuntutan untuk menjaga profesionalitas militer agar hanya terlibat dalam urusan pertahanan adalah isu global, terutama setelah berakhirnya era perang besar dunia yang ditandai dengan berakhirnya perang dingin di ujung abad yang lalu. Masyarakat internasional semakin tidak bersimpati pada keterlibatan tentara di luar urusan perang.

Meskipun demikian, percakapan mengenai posisi militer dalam politik atau dalam persoalan lain di luar peperangan, tetap menjadi perhatian bagi publik tanah air dan banyak kalangan yang menganggapnya penting. Hal ini merupakan respons wajar karena dampak keterlibatan tentara dalam kehidupan sipil memiliki tapak historis yang panjang dan melekat dalam ingatan banyak orang. Dari sekian banyak pandangan mengenai peran militer di negeri ini, salah satunya datang dari Kiai Saifuddin Zuhri. Sosok yang sebenarnya lebih dikenal sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pernah menjabat Menteri Agama.

Namun jika melihat rekam jejak karier Kiai Siafuddin, pandangannya mengenai fungsi militer ini nampak penting untuk dilihat karena dunia militer bukanlah alam yang asing baginya. Saifuddin muda adalah bagian dari pertempuran kemerdekaan, ia menjadi komandan divisi Hizbullah Jawa Tengah di Magelang. Dalam perang menghadapi agresi militer, ia beroperasi bersama Ahmad Yani dan M. Sarbini Martodiharjo. Dua nama yang di kemudian hari menjadi jenderal dan tokoh penting dalam militer Indonesia. Setelah masa revolusi fisik berakhir, Kiai asal Banyumas ini menutup karier keprajuritannya dan tidak ikut bergabung menjadi tentara. Ia lebih memilih berkarier sebagai warga sipil. Pengabdiannya di medan tempur itu lalu diangugerahi penghargaan Bintang Gerilya dan Satyalancana oleh negara yang diperjuangkannya.

Baca juga:  Dari Konservatif hingga Liberal: Melihat Sisi Moderat dalam Tubuh Islam (2)

Pilihan Kiai Saifuddin yang tidak meneruskan karier sebagai tentara, sama dengan banyak kalangan santri atau tokoh muslim pasca perang kemerdekaan. Sebuah pilihan yang kelak berimplikasi pada minimnya jumlah petinggi militer dari golongan santri dan kuatnya dominasi kalangan abangan dan sekuler di tubuh angkatan bersenjata pada masa awal republik berdiri. Langkah serupa juga diambil oleh Kasman Singodimedjo, tokoh Muhammadiyah yang sempat menjadi komandan batalyon (daidancho) tentara Pembela Tanah Air (PETA) namun lebih memilih untuk menghabiskan perjalanan kariernya sebagai tokoh sipil.

Mendorong Agar Tentara Profesional

Argumen yang cukup jelas terlihat dalam pandangan Kiai Saifuddin mengenai peran milter adalah dorongannya agar terjadi demokratisasi sikap militer. Dalam Kaleidoskop Politik di Indonesia (1981) nampak bahwa ia berpandangan bahwa militer seharusnya bisa bersikap demokratis dalam menjalankan fungsinya sebagai penjaga pertahanan nasional. Maksud dari sikap demokratis pada militer di sini adalah kemauan untuk bermusyawarah, mendengar pendapat yang berlawanan, dan menghargai pendirian dari pihak-pihak di luar militer.

Kiai Saifuddin menyitir kalimat yang dilontarkan oleh Jenderal Soedirman yang menyatakan, “saya menghargai sikap politik kaum politisi, namun hendaknya mereka juga menghargai sikap saya sebagai seorang prajurit TNI” sebagai bentuk sikap demokratis pimpinan militer. Menurutnya Soedirman adalah sosok yang perlu dijadikan panutan bagi kalangan militer karena keterbukaannya bagi sikap pihak-pihak yang berlainan dengannya, selain itu panglima tentara pertama republik juga dinilai mampu menahan diri dan tidak gegabah memakai kekuatannya walau memiliki pasukan dan persenjataan.

Baca juga:  Omon, Omon, dan Omon

Menurut cerita Kiai Saifuddin, sikap demokratis Jenderal Soedirman juga ditunjukkan dengan kebiasaan hariannya yang menyediakan waktu khusus bertemu dengan para pimpinan sipil, baik itu tokoh agama, tokoh politik, atau sesepuh di tengah masyarakat untuk bertukar pikiran dan meminta berbagai nasehat. Dari uraiannya, nampak bahwa Kiai Saifuddin hendak menyampaikan bahwa pihak militer hendaknya tidak selalu memaksakan pendapat dan menahan diri dari tindak kekerasan kepada warga untuk mencapai tujuannya.

Jika melihat dari waktu penulisan gagasan di atas yang dibuat pada tahun 1978-1980, cukup terasa bahwa pandangan Kiai Saifuddin merupakan sebuah kritik atas sikap militer di zaman Orde Baru. Pada periode itu, militer banyak dinilai bersikap tidak demokratis dan tidak segan melakukan pemaksaan pada warga untuk memuluskan tujuan politik pimpinan tertinggi militer, yakni Presiden Soeharto yang juga berlatar belakang militer.

Kesan kuat tulisan tentang militer di buku Kaleidoskop Politik ditujukan kepada militer Orde Baru juga terasa pada cara Kiai Saifuddin mengedepankan sikap sederhana Jenderal Soedirman. Kesederhanaan yang ditunjukkan dalam sikap, pakaian, dan makanan. Pak Dirman sebagai pimpinan tentara diceritakan pernah menolak keinginan istrinya yang tengah hamil dan mengidam untuk dibelikan kerupuk dari Solo. Menampilkan kesederhanaan dan tidak mencampur tugas negara dengan kepentingan keluarga dari pimpinan pertama militer, bisa dimaknai sebagai kritik kepada gaya hidup petinggi militer yang mulai terlena dalam hedonisme di tahun 1970an.

Baca juga:  Hikmah Rukun Haji (4): Sa’i, Tempat Bertemunya Dua Tradisi Besar

Gagasan selanjutnya tentang militer dari Kiai Saifuddin adalah perlunya tentara manunggal atau menyatu dengan rakyat. Karena menurutnya, para prajurit pada hakikatnya dilahirkan oleh rakyat dan oleh sebab itu tidak boleh menjauh darinya dengan hanya membela kepentingan sebagian elite saja. Militer adalah pelindung bagi semua golongan rakyat. Maka ketika tentara mulai ikut campur dalam urusan aspirasi sosial dan politik dan mengebiri ekspresi masyarakat, dengan sendirinya tentara tidak lagi manunggal dengan rakyat. Lewat gagasan ini, terlihat bahwa Kiai Saifuddin melakukan kritik pada keterlibatan militer dalam kehidupan sipil.

Adanya kecenderungan sikap untuk memisahkan sipil dan militer ini juga tercermin lewat penolakannya yang tegas pada militerisme yang diterapkan dengan ketat oleh Jepang saat menduduki Indonesia. Menurut Kiai Saifuddin, rezim militer Jepang di tanah air waktu itu berwatak “adhigang-adhigung”. Merasa superior atas semua rakyat dan merasa bahwa cara hidup militeristik ala Nippon adalah yang terbaik dibanding yang lain.

Sebagai seorang tokoh politik sipil yang melihat dan mengalami dinamika sosial dan politik sejak awal kemerdekaan dari dekat, pandangan Kiai Saifuddin ini penting untuk ditengok kembali. Suaranya mewakili sisi masyarakat sipil yang pernah bersentuhan dengan beberapa rezim militer di negeri ini. Lewat tulisannya, secara halus ia hendak mengirim pesan bahwa tentara sudah selayaknya menjalankan tugas dalam bidang pertahanan secara profesional. Tidak mencampuri bidang di luar keahlian militer, dan menjadi pelindung bagi seluruh golongan rakyat, bukan hanya untuk mereka yang berkuasa saja.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top