Sedang Membaca
Fasilitas Seminar: Snack, Sertifikat, Ilmu
Fariz Alniezar
Penulis Kolom

Linguis di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta

Fasilitas Seminar: Snack, Sertifikat, Ilmu

Selain papan reklame, ada satu hal yang diam-diam kerap kali merangsek perhatian kita. Apa itu? Pamflet seminar. Pamflet seminar dewasa ini jumlahnya semakin tak berbilang. Bertebaran di pelbagai macam tempat: di media massa, di tiang-tiang listrik, di kaca film mobil, dan di pohon-pohon tepi jalan.

Jika Desmon Morris dalam The Human Zoo (1969) pernah mengatakan bahwa kota adalah hutan beton dan sekaligus kebun binatang manusia, maka agaknya definisi konseptual itu harus ditambah lagi. Kota dewasa ini adalah hutan beton, belantara pamflet seminar, dan sekaligus kebun binatang manusia.

Memang di satu sisi jumlah pamflet seminar bisa jadi memiliki arti dan berbanding lurus dengan intensitas serta gairah  berseminar yang meningkat.

Perhelatan macam seminar atau diskusi ini sedikit banyak mengindikasikan bahwa dahaga pengetahuan masyarakat perkotaan memang luar biasa. Mulai dari teknik mendidik anak yang baik, cara berpakian renang yang syar’i, teknik memarahi anak dengan jitu dan mumpuni, hingga bagaimana caranya mendengkur yang berkualitas. Semuanya lunas diseminarkan.

Yang jadi soal adalah, jika kita cermati dalam-dalam, ada yang mengusik tatkala kita menyigi dan membaca dengan teliti pamflet-pamflet seminar itu. Di banyak pamflet kita sering kali menemukan kalimah: “Fasilitas: Snack, Sertifikat, Ilmu”.

Baca juga:  Dialog Habib Utsman dengan Masyarakat tentang Sedekah Laut

Untuk dua fasilitas yang pertama, kita bisa dengan mudah memahaminya. Dengan mengikuti seminar dan kegiatan tersebut maka kita akan mendapatkan makanan ringan atau kudapan dan juga sertifikat. Dua barang ini nyata dan mudah sekali mendeteksinya.

Persoalan muncul ketika panitia mendaku bahwa di dalam seminar tersebut panitia juga menyediakan fasilitas berupa ilmu. Ini yang membingungkan. Aneh bin ajaib. Penyataan yang terang benderang menunjukkan ketidakpahaman si empunya.

Galibnya fasilitas, ia adalah benda konkret. Ukurannya jelas, ia bisa diindera. Sebab, merujuk makna fasilitas yang berarti sarana untuk melancarkan pelaksanaan kegiatan, maka dalam hal ini fasilitas adalah sarana muradif dengan alat atau media.  Maka itu, memasukkan ilmu sebagai fasilitas seminar sangatlah tidak tepat, kalau tidak ingin dikatakan salah.

Karena bersifat tak kasat, parameternya pun akhirnya tidak jelas. Atau katakanlah relatif. Satu dengan yang lainnya bisa jadi dan sangat mungkin tidak sama.

Malah sering saya ketemu dengan teman-teman yang rajin ikut seminar ini dan itu, dan mengaku rugi karena yang bersangkutan merasa tidak mendapatkan apa-apa dari seminar yang diikuti tersebut. Di sinilah persoalannya. Ilmu itu bukan monopoli dan barang kepunyaan panitia seminar sehingga mereka tak bisa menjamin bahwa siapa pun yang keluar dari bilik seminar akan pulang dengan pikiran yang gilang-gemilang.

Baca juga:  Humor Gelap Gus Dur, Ustaz Abdul Somad, dan Kehidupan Agama Kita

Lagi pula, kalau dipikir-pikir, hebat betul itu panitia-panitia seminar, sampai berani menggaransi bahwa peserta seminar pasti mendapat ilmu. Manusia memang kadang kelewat ngelunjak, acap kali mengambil alih peran dan tugas Tuhan. Kita harus hati-hati, jangan sampai Tuhan tersinggung gara-gara banyak tugas-Nya kita ambil alih-alih seacara diam-diam, termasuk soal urusan beri-memberi dan bagi-membagi ilmu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top