Sedang Membaca
Anak-Anak di antara Agama dan Manusia
Fauzan Al Ayyuby
Penulis Kolom

Bermain dan bekerja di Tanahindie Makassar. Alumnus STMIK AKBA Makassar. Menyukai kajian kota dan manusia. Penulis dapat dihubungi di email: uchanalayyuby@gmail.com; facebook: Fauzan Al Ayyuby; juga instagram: @ochank94.

Anak-Anak di antara Agama dan Manusia

Saya pernah menyaksikan sendiri seorang anak dipukul di dalam masjid sebab ia bermain. Lalu orang tua anak itu tidak terima. Perdebatan bahkan hampir adu jotos berlanjut sampai ke rumah si pemukul.

Keberlanjutan itu tidak terjadi pada keberanian si anak yang tidak pernah lagi datang setelah peristiwa itu. Masjid tidak lagi menyenangkan baginya. Bukan ruang “bermain” yang ramah, tetapi ruang “amarah” bagi naluri bermainnya.

Prinsip ‘bermain sambil belajar’ agaknya banyak dilupakan oleh kita, orang-orang dewasa, atau tidak mengerti bahwa bermain merupakan fase pada perkembangan si anak. Banyak pemikir yang bahkan sudah menjelaskan hal itu di masa lampau.

Misal, Plato yang menjelaskan bahwa aritmatika lebih mudah dipahami oleh anak-anak ketika mereka menerapkan cara bermain dengan mengajarkan pengurangan dan penjumlahan dengan cara membagikan buah apel. Masih menyambung Plato, Martha Christianti (2007:3) dalam makalah “Anak dan Bermain” menjelaskan teori Cognitive-Developmental dari Jean Piaget:

“Jean Piaget juga mengungkapkan bahwa bermain mampu mengaktifkan otak anak, mengintegrasikan fungsi belahan otak kanan dan kiri secara seimbang dan membentuk struktur syaraf, serta mengembangkan pilar-pilar syaraf pemahaman yang berguna untuk masa datang. Berkaitan dengan itu pula otak yang aktif adalah kondisi yang sangat baik untuk menerima pelajaran.”

Lalu bagi kebanyakan orang dewasa, bermain dan belajar diletakkan pada satu frekuensi yang beda. Definisi bermain yang mungkin bagi mereka hanya sebatas buang-buang waktu. Dari kasus larangan bermain di masjid bagi anak, kita bisa melihat dengan gamblang, anak-anak diminta untuk taat di usia yang agaknya lebih butuh bahagia daripada taat. Mereka lebih khusyuk bermain ketimbang ibadah. Satu hal yang mungkin bisa kita pertimbangkan bersama.

Baca juga:  Frank Lampard, Identitas, dan Agama

Pada hari raya Iduladha (Minggu, 11 Agustus 2019) saya menyempatkan ke beberapa tempat salat dan melihat bagaimana tingkah anak-anak di ruang-ruang ibadah. Saya melihat tingkah anak yang ketika orang sedang sujud, ia malah berlari ke luar area salat. Ada juga yang hanya berdiri dan memperhatikan sekelilingnya ketika orang-orang sujud. Ada juga yang menatap kosong ke arah kanannya.

Tidak ada yang memarahi mereka, memang. Semua orang sedang khusyuk menghadap pada Yang Maha Cinta. Sebuah indikasi baik mengingat membawa anak-anak ke masjid membantu mereka mengenal minimal cara ibadahnya, juga tempat ibadahnya. Apalagi mereka punya mental ‘meniru’ pada usia ini.

Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Ini tidak bisa dimungkiri. Tetapi kadang mereka juga tidak tahu caranya. Mereka hanya mengikuti ‘cara lama’ yang mungkin dipakai orang tua mereka untuk mendidik orang-orang dewasa ini. Padahal, dengan cara-cara seperti memaksa anak ‘taat’ dengan konteks dan ‘naluri anak’ yang mereka tidak mengerti, menunjukkan mereka sama saja dengan anak-anak yang masih tidak tahu menunjukkan rasa ‘simpatinya’ selain dengan cara lama: mengejek, atau memukul, misalnya.

Saya kemudian menyadari satu hal, jika hari raya Idul Adha sebaiknya juga dimanfaatkan oleh orang-orang dewasa untuk mengurbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memahami ‘dunia anak-anak’ untuk membantu mereka berkembang dan bertumbuh. 

Baca juga:  Nilai-nilai Khalifah dalam Konsep Satria Piningit

Ruang-ruang Bermain Anak

Ruang bermain anak selain digerus oleh pembangunan fisik: gedung tinggi, perhotelan, perniagaan, dan lainnya, juga digerus secara mental oleh kita yang masih saja menganggap ‘bermain’ anak sebagai hal yang salah. Pembangunan fisik pada akhirnya berimbas pada fisik saja. Anak-anak bisa menyiasatinya dengan membuat ‘ruang fisik bermain’ mereka sendiri.

Di ranah mental, tentunya sulit untuk mewujudkan hal ini, mengingat mental merupakan perkara sensitif bagi manusia. Sulit untuk disiasati.

Belum juga selesai masalah pendidikan formal kita yang menuntut anak-anak harus pintar ketimbang bahagia, masalah ‘naluri bermain’ mereka belum juga kita selesaikan di rumah masing-masing.

Bayangkan, ketika mereka pergi ke sekolah, mereka harus membawa tas dengan jumlah buku yang tidak sedikit. Lalu ketika tiba di rumah, kita, orang-orang tua juga orang dewasa yang jadi faktor pendukung perkembangan justru acuh karena lebih sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Anak-anak kemudian tumbuh jadi pribadi yang pemalu. Pribadi yang tidak bebas, ditunjang dengan pendidikan formal yang oleh Paulo Freire disebut pendiidikan “Gaya Bank” di mana guru tidak memberikan deskripsi atau pengertian kepada muridnya, tetapi hanya memindahkan sejumlah dalil juga rumusan pada siswa yang disimpan kemudian dikeluarkan dalam bentuk yang persis sama. Makanya kita sering melihat anak-anak sibuk menghapal pelajaran atau rumus-rumus tertentu yang diajarkan guru, ketimbang memahami ‘cara kerjanya’.

Antara Agama dan Manusia

Dalam satu kisah Rasulullah Muhammad saw ketika salat, ia pernah sujud lama sekali karena cucunya naik di punggungnya. Beliau dalam kisah yang penuh kasih itu rela menunggu cucunya puas bermain dan turun dari punggungnya, lalu ia melanjutkan gerakan salatnya.

Baca juga:  Tasaro GK: Mengemas Sirah Nabi dalam Karya Fiksi

Dalam kisah lain, beliau juga pernah turun dari mimbar ketika sedang menyampaikan khotbah karena kedua cucunya menangis (An-Nasai [1129] dalam Kitab At-Thathbiq)

Dari kisah di atas, terlihat bagaimana Islam harusnya ramah kepada anak, bahkan ketika berada di masjid. Seperti yang dilakukan Rasulullah Muhammad saw. Cinta kasih yang ditunjukkan Rasulullah kepada anak-anak mestinya dicontoh, bukan malah melakukan hal sebaliknya seperti apa yang pernah saya lihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana anak-anak bahkan dipukul ketika berada dalam masjid. 

Dijelaskan kembali soal cinta kasih kepada anak-anak dalam Shahih Bukhari No 5538:

“Telah menceritakan kepada kami [Abu Al Yaman] telah mengabarkan kepada kami [Syu’aib] dari [Az Zuhri] telah menceritakan kepada kami [Abu Salamah bin Abdurrahman] bahwa [Abu Hurairah] radliallahu ‘anhu berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencium Al Hasan bin Ali sedangkan di samping beliau ada Al Aqra’ bin Habis At Tamimi sedang duduk, lalu Aqra’ berkata; “Sesungguhnya aku memiliki sepuluh orang anak, namun aku tidak pernah mencium mereka sekali pun, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memandangnya dan bersabda: “Barangsiapa tidak mengasihi maka ia tidak akan dikasihi.”

Bisa dilihat, bagaimana Islam begitu ramah kepada anak. Jika itu tidak cukup, mungkin kita bisa melihat anak-anak sebagai manusia. Sebagaimana mahluk sosial yang membutuhkan kasih dan sayang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top