Menelisik pemikiran Harald Wenzer dalam bukunya yang diberi judul panjang, Bagaimana orang normal bisa menjadi pembunuh masal? (2016), mengingatkan kita pada tokoh utama novel Pikiran Orang Indonesia (POI) yang digarap penulisnya sejak 2014, berdasarkan penelitian oral history mengenai korban-korban politik 1965 dan tahun-tahun sesudahnya. Tokoh Arif dalam novel tersebut, memiliki potensi besar melakukan kekejian dalam sebuah sistem otoriter yang sangat menekankan identitas kolektif yang didasari pada ideologi rasialisme.
Novel tersebut seakan mengajukan tesis abadi yang sehaluan dengan pemikiran Wenzer, bahwa secara struktural ketika ideologi antisemitisme berhasil menanamkan musuh bersama dalam narasi apokaliptik, ia dapat juga menanamkan identitas keakuan kolektif. Dalam struktur yang sistematik seperti Orde Baru, dorongan atau sugesti untuk melakukan tindakan kejahatan dengan mudah bisa menjangkiti orang-orang normal seperti Haris, Arif, Sapto, Suminto, Darso dan lain-lain.
Jauh sebelum Wenzer dan novel POI, paradigma semacam itu pernah dipersoalkan oleh seorang psikolog dan psikiater, Douglas M Kelley (1945) yang pernah aktif menyelidiki kondisi kejiwaan para petinggi NAZI yang ditawan oleh sekutu, sebelum mereka dihadapkan ke pengadilan. Tawanan yang diselidiki adalah tokoh-tokoh elit politik dan militer rezim NAZI, terutama pemimpin tertinggi AU Jerman (Hermann Goring), kepala staf angkatan bersenjata (Alfred Jodl), arsitek ideologi NAZI (Alfred Rosenberg), hingga menteri luar negeri Jerman (Joachim von Ribbentrop).
Dalam analisis Kelley dinyatakan bahwa para pembunuh keji itu bukanlah orang-orang tak waras yang menderita delusi kejiwaan. “Bahkan, sampai saat ini pun kita sering menemukan tipikal serupa dalam kehidupan rumah-tangga di seluruh dunia ini,” tegas Kelley. Secara eksplisit Kelley menegaskan, bahwa tidak ada kelainan jiwa sama sekali (baik paranoid maupun skizofrenia) yang diderita oleh mereka, melainkan hanya konsep keakuan kolektif yang membuat mereka seakan berhak untuk menegasikan yang lain (liyan).
Kedalaman novel Indonesia
Novel Pikiran Orang Indonesia seakan mengungkap realitas akal sehat, kearifan lokal, maupun pentingnya akal budi manusia agar berpikir melampaui faktualitas empiris. Konsep kebebasan jiwa yang diperjuangkan tokoh Haris, tak lain merupakan kemerdekaan yang terus diupayakan hingga melahirkan impian dan harapan. Sebab bagaimanapun, kehilangan impian dan harapan menjadi paralel dengan hilangnya kemerdekaan jiwa.
Kedalaman tidak mungkin dicapai oleh tokoh Arif maupun Sapto. Beda dengan Haris yang mampu mengajukan pertanyaan eksistensial dan berani berpikir secara reflektif. Pertanyaan eksistensial yang diajukan Haris jelas tidak mudah dijawab oleh sistem militerisme Orde Baru. Sebab, logika dari pertanyaan eksistensial melampaui cara pandang prosedural, pragmatis maupun cara pandang utilitarisme.
Persinggungan dengan filsafat, agama dan moral adalah hal yang tidak terelakkan dalam menggeluti pertanyaan-pertanyaan eksistensial. Di siniliah kecermatan narasi penulis POI yang seakan tokoh utamanya gagal memasuki perguruan tinggi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (Jakarta). Padahal, penulis novel tersebut pernah mengadakan studi intensif tentang Filsafat Barat, saat dirinya menjadi mahasiswa jurusan Filsafat di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kedangkalan berpikir
Orang-orang yang dangkal dalam kerangka berpikir, tentu akan tergopoh-gopoh memahami narasi-narasi genuine dalam novel POI. Di sini, saya akan jelaskan dulu tentang makna kedangkalan yang dimaksud. Misalnya dalam kerangka pemikiran Hannah Arendt, yang sewaktu mudanya pernah menyaksikan orang-orang yang menjadi obyek kekerasan yang dilakukan militerisme NAZI. Suatu hari, Arendt menyaksikan persidangan Otto Adolf Eichmann, seorang jenderal NAZI yang bertanggungjawab atas pengiriman warga Yahudi ke kamp-kamp konsentrasi. Dalam kesaksiannya, Arendt mengungkap penilaian yang sangat kontroversial, karena ia bisa membuktikan bahwa sosok Eichmann adalah orang baik dan santun. Eichmann adalah seorang ayah yang baik bagi anak-anaknya. Ia seorang tentara yang patuh pada tugas kenegaraan, dan taat menuruti perintah atasan.
Analisis Arendt telah mendobrak paradigma kebanyakan orang. Sejak tahun 1964, ia merumuskan kedangkalan berpikir pada militer-militer NAZI, yang wawasannya terkooptasi pada batas-batas administratif dan teknis dalam kaitannya dengan dunia kerja, profesi, hingga aturan-aturan baku yang diciptakan negara. Dengan demikian, tokoh Arif dalam POI, hanyalah sosok dengan kualifikasi “fungsioner“ yang melangkah berdasarkan tuntunan perintah, prosedur, insentif, dan sangsi. Kalaupun ada pengadilan militer yang digelar pemerintah Jokowi saat ini, maka dapat diprediksi mengenai sosok-sosok semacam Arif yang seakan terjebak dalam ketakutan, atau ketidakmampuan berpikir secara radikal, sehingga mengaburkan tema tanggung jawab moral yang bersifat personal.
Untuk itu, sekali lagi, faktor utamanya adalah kedangkalan berpikir, atau ketakutan mengajukan pertanyaan-pertanyaan eksistensial, reflektif, hingga berdampak pada kelestarian dan kelanggengan yang memunculkan problem-problem klasik bangsa ini.
Secara pribadi, saya kurang sepakat ketika penulis novel POI, Hafis Azhari, menyatakan di forum terbuka, “Biarlah pembaca sendiri yang akan menilai dan mendalaminya. Perkara mereka akan paham novel tersebut saat ini, bulan depan atau sepuluh tahun yang akan datang, itu bukanlah urusan saya.”
Jika penulisnya konsisten menegakkan prinsip Soekarnoisme, maka banyak bicara dan banyak berbuat akan lebih utama, ketimbang sedikit bicara dan banyak berbuat. Sebab, untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dibutuhkan bahasa ungkapan yang harus dipahami oleh publik secara masif. Inilah yang ditekankan dalam agama mengenai amr ma’ruf dan nahi munkar (mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran), di mana proses percepatan dibutuhkan demi tegaknya keadilan bagi segenap bangsa.
Pembenahan akal sehat harus dikumandangkan seoptimal mungkin (baca: Agama Tanpa Akal dan Hati Nurani, Kompas, 21 November 2018). Harapan terhadap kemajuan budaya dan peradaban Indonesia, perlu diperjuangkan berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal yang menawarkan cara pandang holistik, dan karenanya perlu diupayakan untuk menerabas tembok-tembok kedangkalan.
Di sisi lain, lelahnya meladeni kedangkalan berpikir itu, ketika kita sudah sampai ke mana, sementara orang-orang baru sampai di mana. Selain waktu dan energi yang tersita, tentu kita pun enggan meneruskan membaca buku yang didasari kedangkalan berpikir. Kecuali mereka yang berjibaku melayani umat, dibutuhkan kesabaran tinggi, dan dengan hati yang tulus senantiasa mampu mendengarkan problem dan keluhan masyarakat yang dihadapinya. (*)