Joko Priyono
Penulis Kolom

Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak 2014. Menulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

Film, Sastra, dan Sains

Film Oppenheimer Ratio 16x9

Saat menjadi perangkat utama di hadapan para keluarga Indonesia, sebelum bergeser dengan keberadaan gawai, televisi memiliki beban akan tayangan yang tak sekadar hiburan semata. Salah satu yang menjadi dambaan pada pertumbuhan dan perkembangan anak, tayangan berbasis edukasi keilmuan menjadi harapan. Kendati demikian, dalam lanskap industri tak ada jaminan jumlah peminatnya dan perlu bersaing dengan bidang lain.

Astronom Bambang Hidayat dalam buku Kepalungan Budaya: Batas Pengetahuan, Pemberdayaan Iptek dan Ilmuwan Masa Depan (Pustaka Jaya, 2022) memiliki kenangan terhadap film Si Unyil, yang baginya memuat nilai-nilai mengenai pendidikan sains. Walakin, ia juga memberikan kritik terhadap perkembangan tayangan televisi dengan masih minimnya pengenalan sains kealaman secara populer sebagai bagian ilmu pengetahuan dasar, baik itu kimia, fisika, biologi, dan matematika.

Di hadapan mata abad XXI, kita masih bertelevisi. Namun, kita mengutamakan gawai. Televisi terkadang monoton dengan tayangannya. Ia kalah secara daya eksplorasi dari mesin pencari dan wahana media yang tersedia dalam gawai. Tontonan di gawai tak dapat terjadwal. Seorang pengguna bebas memilih apa yang dikehendaki. Tanpa batas dengan selera yang sedang diinginkan.

Untuk menonton film, pengguna tinggal berlangganan pada aplikasi penyedia film. Mereka dapat memilih banyak kategori film dan latar belakang negara pemroduksi film itu sendiri. Saat film belum tersedia dan masih ditayangkan di bioskop, orang perlu menunggu atau pergi ke bioskop. Kita ingat sebuah film yang dirilis di Indonesia pada 19 Juli lalu, Oppenheimer.

Film yang disutradarai Christopher Nolan itu mengisahkan sosok Oppenheimer, sebagai “Bapak Bom Atom” yang memimpin Proyek Manhattan dan menghasilkan bom atom yang diluncurkan Sekutu ke Jepang pada 6 dan 9 Agustus 1945. Di film tersebut, kita mendapat banyak pelajaran, seperti halnya: imajinasi seorang ilmuwan, kegiatan riset, etika keilmuan, dan relasi ilmu dan politik yang dapat mempersalahgunakan tujuan ilmu.

Baca juga:  Hubungan Baru NU dan Pemerintahan Jokowi

Sastra dan Sains

Menariknya, film tersebut tidak diadopsi dari karya sastra atau secara khusus berupa buku fiksi, sebagaimana lazimnya film fiksi sains. Namun berasal dari buku biografi, American Prometheus (2005) garapan Kai Bird dan Martin J Sherwin. Dalam sejarah awal kemunculan film berlatar sains biasanya diangkat dari cerita fiksi sains. Karya yang dilandasi penggabungan antara sains dan sastra itu sendiri.

Di bukunya dalam terjemahan bahasa Indonesia, Sinema dalam Sejarah: Fiksi Sains dan Fantasi (Kepustakaan Populer Gramedia, 2005), Mark Whilsin menarasikan sejarah tersebut. Dua film fiksi sains awal di dunia adalah The X-Ray Mirror (1899) karya Wallace McCutcheon dan A Trip to the Moon (1902) karya Georges Méliès yang diadopsi dari novel gubahan Jules Verne.

Film-film fiksi sains awal, yang optimistis pada kemampuan teknologi modern dalam membuka kemungkinan-kemungkinan baru, menciptakan gambaran fantastis tentang masa depan, suatu masa ketika umat manusia mengatur hukum alam dan mampu menyeberangi tapal batas menuju luar angkasa (Mark Whilsin, 2005: 6).

Di Eropa dan Amerika, fiksi sains menjadi bagian integral penting dalam proses transformasi kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Fiksi sains meletakkan gagasan kesusastraan berupa imajinasi dan narasi ilmiah. Ini belum banyak yang terjadi di Indonesia. Film-film di Indonesia meski berkembang, sedikit yang meletakkan pentingnya menyampaikan sains kealaman secara populer—baik lewat sastra maupun biografi.

Baca juga:  Tionghoa Muslim dan Toleransi di Semarang

Pada tahun 2000, Murti Bunanta melakukan kritik terhadap perkembangan sastra anak di Indonesia lewat esai “Perjuangan untuk Bacaan Anak yang Layak”. Cerita maupun novel garapan para penulis di Indonesia masih minim yang bergerak pada bidang fiksi ilmiah. Celakanya, yang dominan dalam buku-buku anak pada masa itu berupa biografi, perang melawan penjajah, dan humor—tidaklah menarik.

Mengurai Masalah

Pelajaran penting dengan hadirnya film Oppenheimer bagi Indonesia setidaknya ada dua hal. Masing-masing berupa: fiksi ilmiah dan film sains. Dalam analisis dangkal, tentu kita sulit membayangkan bagaimana imajinasi anak-anak muda Indonesia yang mungkin hanya bersentuhan dengan karya yang bertema horor, moral, percintaan, kriminal,  dan peperangan. Itu penting, tetapi bila melihat perkembangan abad XXI, keberadaan sains perlu menjadi arus utama dan dikomunikasikan kepada semua kelompok.

Dengan kata lain, sastra perlu membuka paradigma maupun cara pandang baru terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi pada sains dan teknologi. Di sisi lain, ini sebagai sebuah jembatan untuk mengatasi jurang komunikasi sebagaimana yang pernah diungkap oleh novelis dan fisikawan, C. P. Snow dalam ceramah ilmiahnya, The Two Cultures yang disampaikan di Universitas Cambridge pada tahun 1959.

Mendiang Nirwan Ahmad Arsuka dalam rubrik “Teroka” Harian Kompas edisi 6 September 2006 pernah menulis esai “Tentang Sains dan Sastra: Keajaiban Nalar dan Imajinasi”. Di tulisan tersebut ia menyambut dengan berterima perkembangan fiksi sains dan juga memberikan kritik keterhubungan antara sains dan sastra.

Baca juga:  Fenomena Pelecehan Seksual di Pesantren

Watak sains yang terkadang berada pada situasi yang belum kokoh secara empiris dapat menempatkan peranan sastra yang lebih dominan dalam menyajikan sebuah penggambaran. Dalam pembacaan Nirwan ada satu masalah mendasar yang dihadapi oleh perpaduan sains dan sastra, banyak fiksi ilmiah terkadang menyalahgunakan khazanah dari sains itu sendiri.

Ketika saya berkesempatan memantik diskusi dengan tema keterhubungan seni dan sains dalam sebuah forum pada 13 Agustus 2023, saya mengungkapkan kritik pada tiap dua bidang itu. Seni dan juga sastra dalam perkembangannya tidak seperti halnya sains yang didasari pada metode ilmiah. Dengan kata lain, menyitir konsep paradigma Thomas Samuel Kuhn, di seni maupun sastra senantiasa memunculkan anomali yang lebih besar peluangnya memunculkan paradigma baru.

Sementara itu, sains menjadi lokus yang terkadang berdiri sendiri tanpa mau menengok di sekitarnya. Dalam transformasi perubahan, ini berbahaya bagi kebudayaan bangsa. Akhirnya sains dengan anak kandungnya yang bernama teknologi melenggang dan mengabaikan lainnya, berpotensi melahirkan keterasingan (alienasi) dan tak memedulikan aspek kemanusiaan.

Dengan melihat lebih jauh di masing-masing keilmuannya, di sanalah pentingnya kolaborasi. Sains yang melibatkan seni dan sastra menjadikannya memiliki watak yang humanis dan membuka kesadaran. Sementara seni dan sastra yang mau mengikuti dan taat pada fakta terhadap sains adalah upaya penciptaan transformasi kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang mangkus dan sangkil.[]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top