Sedang Membaca
Fenomena Hijrah, Materialisasi Taubat, dan Kerawanannya (2/2)
Edi AH Iyubenu
Penulis Kolom

Sastrawan, praktisi perbukuan. Tinggal di Jogjakarta

Fenomena Hijrah, Materialisasi Taubat, dan Kerawanannya (2/2)

Saya pernah menyaksikan seorang selebritis hijrah mengunggah sebuah caption yang men-tag langsung nama seorang selebritis lainnya dengan kalimat sejenis ini: “Alhamdulillah, akhirnya si…. (sengaja tak saya tulis) bergabung juga dengan kajian kami karena dia juga takut ternyata sama istidraj atas kehidupannya selama ini….

Saya –dan kemungkinan besar pula Anda—terhenyak oleh unggahan tersebut. Kita tahu bahwa ungkapan “takut diistidraj” tersebut bukanlah ungkapan main-main dalam paham rohani dan bahkan syariat kita.

Ia mengandaikan makna bahwa sosok yang di-tag-nya adalah pelaku maksiat yang sedangh diistidraj oleh Allah Swt melalui kemurahan rezekinya. Ini benar-benar ungkapan yang tabu untuk diwartakan terbuka karena menyangkut marwah seseorang di satu sisi dan sekaligus tak otoritatif kebenarannya karena mustahil kita yang wadag ini mengetahui dengan pasti apakah karunia rezeki yang melimpah merupakan istidraj ataukah anugerah-Nya semata.

Walhasil, bahkan umpama itu betul istidraj, rasa malu niscaya menyergap sosok dimaksud. Dan kita mengerti benar betapa terlarangnya mempermalukan orang lain dan mengumbar dosa/aib diri dan orang lain secara terbuka.

Dalam bentuknya yang lain, kita kerap sekali menyaksikan narasi-narasi terbuka para “muhajirin cum tawwabin” itu yang menyinggung atau menyakiti pihak-pihak lain yang menganut paham berislam yang tidak sama, yang mendulangkan kesan bahwa pihak-pihak lain itu tidak kafah sama sekali akidah dan syariatnya.  

Dalam bahasa yang sama vulgarnya, kita bisa memilih dua diksi representatif atas fenomena ganjil tersebut, yakni “nyinyir” dan “aleman”.

Mengapa orang yang berhijrah rawan terperosok ke lubang ucapan-ucapan nyinyir sehingga memicu negasi otentisitas dan otoritas spiritual pihak-pihak lain –dan ujungnya meruahkan ketegangan-ketegangan yang notabene terlarang? Dan mengapa mereka terlihat aleman sekali dengan perjalanan rohaninya seolah butuh betul keplok-keplok pujian dari khalayak luas –yang notabene pun terlarang?

Ada bara arogansi di balik semua perjalanan spiritual dan syariat yang diwartakan itu. Ada keterjungkirbalikan hierarki dalam perjalanan taubat itu, yang semestinya semata berurusan secara privat dengan ketundukan kepada Allah Swt dengan beribadah sebanyak-banyaknya dan berikutnya menguarkan akhlak karimah kepada publik sosialnya.

Ada pancaran “anomali rohani”, tegasnya, yang mengendap di hati dan pikiran mereka, yang bisa kita baca dengan mudah dari produksi-produksi nyinyir dan aleman tersebut. Tepat pada derajat ini, apa yang kita pahami secara metodis tadi (korelasi-simbiosis-automatis antara keimanan, ketakwaan, dan akhlak karimah) seketika berantakan entah ke mana….

Baca juga:  Refleksi Hijrah, Berubah ke Arah yang Lebih Baik

Sensitifnya Materialisasi Taubat  

Apa yang saya maksudkan “materialisasi taubat” dalam fenomena hijrah milenial ini tidak pernah saya maksudkan sebagai celaan. Tidak. Sekali lagi, telah saya nyatakan, mau disebut taubat saja (sebagai istilah lama) maupun hijrah (sebagai istilah milenial), pertaubatan adalah keluhungan. 

Akan tetapi, demi melihat fenomena hijrah yang cenderung berpola sedemikian rupa, penting untuk kita pahami kini bahwa rupanya gerakan hijrah mengandung kerawanan rohani yang tak sepele dengan hakikat pertaubatan itu sendiri. Dan ini terkait erat dengan karakter hijrah yang mematerialisasikan taubat. Apakah materialisasi taubat dengan demikian selalu rawan secara khitah rohani? Tentu tidak. 

Menjadi kelaziman alamiah bila seseorang yang bertaubat kemudian mengubah penampilannya yang dulu vulgar dengan pakaian tertutup yang dianggap lebih sesuai syariat. Pun logis belaka bila para pelaku taubat kini nampak intens menghadiri pengajian, kajian, liqa’, dan sejenisnya. Serta sahih belaka bila mereka kini kerap menukil kalimat-kalimat thayyibah dalam unggahan-unggahannya. Dan itu semua adalah kebebasan yang mutlak buat siapa saja.

Akan tetapi, batas tegas yang mestinya selalu menjadi landasan rohaninya ialah jangan sampai terjatuh pada nyinyir dan aleman tadi. Ihwal nyinyir, parameternya sangat jelas, yakni jangan sampai menyinggung dan melukai perasaan liyan. Ihwal aleman, kendati parameternya relatif abu-abu, secara alamiah kita pun relatif bisa mendeteksinya dari kronologi yang ada. 

Jikapun ungkapan saya ini dirasa berlebihan, mari tetap mafhumi ihwal benar-benar rawannya otentisitas taubat bila terus-menerus suntuk dengan perayaan-perayaan materialitasnya. Sungguh sangat mendasar bagi kita untuk senantiasa menggenggam dengan seksama ontologi taubat sebagai semata libtighai mardhatilLah, mencari ridha Allah Swt, yang secara empiris sinambung semata dengan produksi amaliah salehah dan akhlak karimah.

Titik rawan hijrah sebagai jalan taubat dan sekaligus sumber pesona milenialnya kini tepat berada pada aspek materialisasinya tersebut. Dengan nada bercanda Gus Muwafiq mengatakan:

“Taubat ala-ala kiai dan santri menjadi kurang menarik lagi hari ini dikarenakan bungkusnya sesederhana rajin beristighfar dan memperbanyak amal saleh belaka. Ini berbeda dengan fenomena hijrah yang membingkai taubat melalui perayaan-perayaan entertaining, dari pakaian-pakaiannya hingga aktivitas-aktivitas kesehariannya yang diwartakan meriah melalui setidaknya sosial media….”

Ini memang adalah era panggung terbuka. Semua kita memiliki panggung gratis itu di sosial media, seminimnya. Namanya panggung, tentulah aspek selebratifnya akan sangat menentukan daya pukaunya. Dan tepat di titik inilah hijrah yang mematerialisasi taubat menemukan tashihnya dan sekaligus media efektifnya untuk dirayakan sedemikian ruah. 

Baca juga:  Dinamika Kiai NU atas Tari Gandrung Banyuwangi

Semakin Anda mampu menciptakan elemen-elemen entertaining itu, semakin luaslah jelajah publikasi Anda. Dan poin ini selaras sekali dengan euforia kuat para muhajirin (anyaran) untuk bersyiar dakwah seluas-luasnya. Semakin luas jangkauan panggung publikasinya, semakin besar populasi jamaahnya (follower), maka semakin ruah pulalah jangkauan syiar dakwahnya. Dan ini diyakini penuh tanpa prasyarat sebagai ajang maraup pahala seluas-sebesarnya. 

Klop!

Mendewasakan Diri

Alamiah belaka bagi semua kita untuk terseret gelora euforia kala memiliki “dunia baru”. Anak yang baru bisa naik sepeda, betapa senangnya ia untuk bersepeda setiap saat dan ke mana saja. Orang yang baru saja hobi burung, betapa senangnya ia untuk ke mana-mana berbicara tentang burung piaraannya. 

Begitupun euforia orang yang baru saja bertaubat. Lazim baginya untuk sangat menyenanginya dan pula menggunjingkan dan merayakannya ke mana-mana. 

Tetapi tentu saja urusan bertaubat yang ontologinya adalah kecemerlangan rohani, batin, dan spiritualitas tak pantas disamakan dengan hobi memelihara burung atau motor trail, sehingga seyogianya sang pelaku bisa selalu eling lan waspada untuk bersegera mentas dari euforia-pemula yang rawan nyinyiran dan aleman tadi menuju kedewasaan diri, rohani.

Semakin mendewasa dan mematang spiritualitas di hati kita niscaya semakin lepaslah kita dari euforia-euforia yang kita tahu artifisial semata. Otomatis kita akan semakin lebih khusyuk pada peningkatan kualitas diri. Otomatis kita akan semakin merunduk di hadapanNya Swt secara rohani dan sekaligus manusia secara akhlaknya. Inilah berkah kegempalan rohani yang memancarkan ketawadhuan mendalam di dalam diri dan akhlak karimah ke luarnya. 

Jika yang terjadi masih sebaliknya, yakni meruahnya perayaan-perayaan artifisial taubat, ia menandakan bahwa tugas benah-benah rohani itu masih luar biasa panjang dan besar. Ia pun menandakan bahwa derajat taubat itu masihlah belum mematang dan mendewasa.

Namun ini pun tak perlu kita salahkan atau sesali. Sekali lagi, semua kita niscaya akan melakoni proses alamiah euforia ini. Ada fase-fase natural yang memang mesti kita arungi, tebus, sebelum kita mencapai pulau otentis yang kita dambakan. Tak ada di antara kita yang serentak ikhlas dalam bersedekah tanpa melalui fase pamrih dulu, bukan?

Baca juga:  NU dan Tanggungjawab Internasionalnya

Hijrah yang sematerial apa pun karakter entertaining-nya tetaplah merupakan pintu gerbang berharga bagi titik balik rohani kita menuju kecemerlangannya. Jika ada kawan atau kerabat Anda yang menyatakan berhijrah, hargailah ia sebagai sosok yang sedang menuju kepada kemajuan rohaninya. Jikapun ia berselebrasi sedemikian gebyarnya, hargailah ia sebagai sosok yang sedang menempuhi fase awal euforia alamiah menuju pendewasaan dan kematangan rohaninya.

Yang penting adalah jangan berhenti di pintu gerbang saja, di fase awal euforia entertaining belaka. Jika kita biarkan diri ini terus tegak di pintu keplok-keplok euforia ini, kita akan kesulitan betul untuk beranjak menuju kedewasaan dan kematangan rohani. Kita akan berjarak terus dengan maqam ketawadhuan rohani sebagai tujuan ontologis taubat dan sekaligus sumber rohani bagi produksi akhlak karimah kita. Jangan sampai langkah pertaubatan kita cuma menjadi “hijab baru” bagi rohani kita sehingga –dalam istilah Scott Peck—kita sekadar melakoni: jump from the frying pan to the fire.

Mari, misal, kita kemudian ingat dan genggam selalu bahwa tujuan utama diutusnya Rasulullah Saw yang kita cintai dan ikuti adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak karimah sebagai ekspresi kedalaman rohani, batin, dan spiritualitas seorang muslim inilah yang mesti kita ikhtiarkan dan latihkan selalu kepada diri kita masing-masing. Semakin menghunjam keluhungan spiritualitas di hati kita tentulah semakin menjulang akhlak karimah kita.

Jika Anda hendak menakar derajat diri dalam konteks ini, pergunakan satu hadis Rasulullah Saw ini: “….pilar agama Islam adalah rasa malu….

Semakin besar rasa malu di hati kepada Allah Swt, tanda semakin dalam kita menyelami samudra spiritualitas, niscaya semakin lepaslah kita dari euforia perayaan-perayaan artifisial taubat itu. 

Ya! 

Mari renungkan: bagaimana mungkin kita akan terus bersipongah atas hijrahnya kita, taubatnya kita, kembalinya kita ke jalan syariat-Nya, toh secara rohani kita mesti meyakini dengan haq bahwa hijrah ini hanya mungkin terjadi semata atas kehendak-Nya, hidayah-Nya, taufik-Nya, dan pertolongan-Nya kepada kita; bagaimana mungkin kita akan terus berbangga pada diri dan segala atribut artifisialnya yang kita rayakan selama ini, toh Allah Swt selalu Maha Tahu dan Maha Tembus terhadap segala betik hati ini: apakah berdenyar ketulusan ataukah cuma kepalsuan?

Semoga Allah Swt senantiasa merahmati dan meridhai hidup kita. Amin. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top