Sedang Membaca
Sembah Hyang Sejati
Diwasya Mardika
Penulis Kolom

Kelahiran Jakarta 18 Desember 1991. Mulai menyelam pada dunia keislaman terutama tasawuf sejak mualaf tahun 2014. Manunggal dengan Padepokan Khatulistiwa tahun 2020 yang membawa misi peradaban: me-laku hidup nusantara untuk kemanusiaan.

Sembah Hyang Sejati

Dulu, ketika saya masih terlalu kecil untuk memahami banyak hal. Ada pertanyaan lugu yang bergaung dipikiran. Tuhan itu siapa, bagaimana sosoknya, kenapa ia bernama tuhan, siapa yang menamai pribadi “Tuhan” itu dengan istilah nama tuhan? Kenapa tidak God saja seperti di barat sana?

Dengan kepolosan juga, saya berulang kali mencoba mengimajinasikan pribadi Tuhan. Bertubuh besar, duduk di singgasana, wajahnya tak nampak kecuali cahaya saja, kerajaannya diatas langit, banyak manusia yang ukurannya jauh lebih kecil sibuk menyembahnya, sesekali memuji muji dengan nyanyian. Kepolosan seorang anak yang ternyata berdampak besar pada hidup saya.

Seiring bertambah usia, saya terus menggali perbendaharaan misterius mengenai Tuhan. Bertanya sana sini, merenungkannya, membaca literasi, berguru kawuruh pada pini sepuh kami tua, dan yang teranyar sampai lah saya pada masa dimana informasi begitu mudah di dapat tapi nilai kebenarannya justru banyak dipertanyakan.

Tu Han adalah konsep yang diajukan para penghayat Kapitayan. Tu Han berarti daya yang bersifat kebaikan, Han Tu daya yang bersifat kegelapan, misterius. Keduanya bersumber dari satu, Sang Hyang Taya atau ketiadaan.

Perlu digaris bawahi, Tu Han, dan Han Tu merupakan konsep. Tu Han dan Han Tu, biasanya dipakai untuk memudahkan nalar manusia yang tidak sampai memahami hidup hanya sekumpulan nilai nilai, dan baik buruk hanya sudut pandang, cara pandang, jarak pandang, dan batas pandang belaka, di Zaman itu. Atau setidaknya tutur tinular yang sampai pada saya hari ini adalah demikian.

Penghayat kapitayan yang menempuh jalan kepanditaan, jalan sunyi, atau jalan petapa, biasanya akan dibawa menjauh dari konsep konsep ketuhanan. Begitu juga dengan cara mereka memahami hidup. Pandita dengan tekun menghapus penilaian penilaian baik buruk. Ia cenderung memahami hidup sebagai keniscayaan, sekumpulan peristiwa, tanpa embel embel baik-buruk. Jalan ini kelak menerbitkan pemahaman sejati (pencerahan).

Baca juga:  Santri, Pesantren dan Kemandirian Ekonomi

Konsep tu-han juga dihindari untuk menyadari Hyang Sejati. Seperti memahami keniscayaan hidup, penghayat kapitayan menerima dan menyadari keniscayaan daya adikodrati. Sejati adalah segala yang sudah jelas dengan sendirinya, niscaya, tidak berubah, tidak bisa ditambah-kurangi nilainya.

Seperti Sang Hyang Taya – ketiadaan, Sang Hyang Hurip – kehidupan, Dewi Uma / Umi / Ambu / Ibu Bumi – yang melahirkan kehidupan, bapak angkasa / bapak langit – semesta raya, Sang Hyang Manon – Matahari, Sang Hyang Tunggal – daya yang menyatukan alam semesta – waktu, Sang Hyang Wenang –  daya yang menggerakan segala sesuatu diluar kuasa kita (peredaran planet, pergantian waktu, bahkan dipercaya menggerakan semesta raya dan isinya hingga ditingkat atom), Alalaha / getaran jiwa / krenteg / gusti / bagus neng ati / frekuensi dll.

Kapitayan, Kejawen, Sundayana, dan Sunda Wiwitan boleh dikatakan ajaran untuk memahami kehidupan, atau Ajaran Hidup. Bila diurut kelas kelas penamaan daya daya adikodrati, Tu Han berada di urutan bawah sebagai pemahaman. Diperuntukan untuk masyarakat biasa yang porsi belajarnya tidak menyeluruh penuh seperti para pandita.

Penghayat kapitayan percaya, mereka berasal dari ketiadaan, dan akan kembali tiada. Mangkanya di beberapa tempat di tatar sunda, sampai sekarang masih mengucapkan “mulih ka jati, mulang ka asal”, bila ada sanak saudara yang meninggal. Jasad kembali ke anasirnya (tanah, api, air, udara), daya hidup pulang ke asalnya, semula tiada kembali meniada.

Namun Kapitayan percaya, ketiadaan juga merupakan daya adikodrati yang bersifat abadi, dan keadaan (dirinya, alam semesta) bersifat , fana, lemah, sementara. Ketiadaan meliputi keadaan. Ketiadaan sumber segala keadaan. Keadaan menjadi abadi sebab di dalam pada bayang bayang ketiadaan. Ketiadaan tidak sama nilainya dengan hilang, bukan juga ruang yang tidak ada apa-apa karena kosong. Ketiadaan adalah awal dari keadaan.

Baca juga:  Daftar Gerakan Mahasiswa yang Anti dan Pro Gus Dur

Kapitayan memberi batas sampai di sini. Batas manusiawi, kondisi terbatas seorang manusia. Hyang Maha Menyebabkan Awal adalah misteri. Tabu untuk dibicarakan, tidak untuk dipikirkan.

Para penghayat kapitayan, tidak mengenal konsep tuhan seperti banyak orang saat ini. Tapi percaya, ada daya adikodrati diluar batas kemampuannya, menyadarinya, memahaminya, mengklasifikasikannya, berdamai dengannya. Untuk menghormati daya daya itu, lahirlah pemujaan (Pemujaan seperti banyak anak memuja orangtuanya, pengkultusan). Pemujaan mengejawantah menjadi upacara, ritual,  budaya, falsafah atau nilai nilai, ajaran, bagunan, monumen, lontar, dolanan, tata salira, tata nagara dan tata buana. Upaya upaya ini semata adalah ekspresi dari kepasrahan, kerendahan hati, kekaguman, serta kesadaran diri pada daya daya adikodrati.

Kapitayan tidak memberi jarak antara dirinya dengan daya adikodrati, seperti fenomena saat ini: mengganggap tuhan sesuatu yang jauh tak terjangkau.

Dengan hidup damai bersama daya daya adikodrati, menghindari menciptakan tuhan dalam pikirannya, menghindari membayangkannya, menghindari menduga duga, menghindari memprasangkai, maka tak ayal jika dikemudian hari lahir istilah lain yang serupa, senilai, setara, sederajad: manunggaling kawula gusti, juga Tauhid dalam agama Islam.

Ketiadaan, kehidupan, ketidak tahuan manusia, daya adikodrati diluar batas diri, sudah jelas dengan sendirinya. Seiring, sejalan, meliputi, merasuk, tak terpisahkan dari manusia.

Ajaran-ajaran kuna nusantara ini diduga diberangus kolonialisme, baik penjajahan dengan senjata atau pemanfaatan nilai nilai agama, yang seluruhnya semata mata hanya karena kerakusan pihak pihak tak bertanggung jawab. Ajaran luhur kakek-nenek moyang kita dibiaskan, dibinasakan , dicuri catatannya, di hapus, di fitnah, hingga nyaris hilang dari peradaban.

Baca juga:  Jokowi, Putin, dan Kemenangan Kapitalisme

Menurut Juri Lina dalam bukunya Architects of Deception, ada tiga cara untuk melemahkan, menjajah, atau bahkan menghancurkan suatu bangsa. Ketiga cara tersebut antara lain:

Pertama, kaburkan sejarahnya. Kedua, hilangkan atau hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu sehingga tidak bisa diteliti dan dibuktikan kebenarannya. Dan yang ketiga, putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.

Jika mundur ke belakang sedikit saja, ada Borobudur, Prambanan, dan situs Gunung Padang. Bangunan megah, dengan kerumitan arsitektur dan teknik sipil yang justru belum terpecahkan di zaman ini. Tak ayal itu malah mendapat fitnah keji: dibangun dengan bantuan jin. Sarkasme yang sama artinya bahwa kita –manusia, kalah cerdas dengan jin.

Ketiga bangunan ini adalah bukti sejarah paling terang. Mestinya cukup membuka mata kita. Mendorong kita untuk putar haluan: Tidak mendukung segala argumen, klaim, yang mengatakan leluhur bangsa kita bodoh, menyembah batu, primitif, terbelakang, miskin papa.

Pendek kata, tak ada gading yang tak retak. Ajaran, pemikiran, pemahaman, dan pencapaian manusia sangat rapuh, seperti keadaan kita di muka bumi. Dia Hyang Tak Berbatas, adalah dia Hyang Sejati, Dia adalah misteri tak bertepi.

Oleh karena itu hanya Dia Kebenaran yang pada Nya segala sesuatu bergantung nasip. Tak ada habisnya penjajakan manusia untuk memahami Kehadiran, Kesertaan, Kekuasaan, dan Misteri-Nya di jagat raya.

Sedikit dari yang tak hingga ini, lahir dari tangan seorang manusia yang tak lepas dari salah. Maaf jika ada kata yang tak berkenan di hati pembaca. Hung Ahung, Sampurasun.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top