Sedang Membaca
Menjadi Saleh dengan Berkebun dan Beternak

Penjual Buku Keliling. Pendidikan: SD Al-Hilal Kartasura, SMP Al Muayyad Mangkuyudan Surakarta, MA Tribakti Lirboyo Kediri, FH. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Akun Sosmed: FB: Bagus Sigit Setiawan.

Menjadi Saleh dengan Berkebun dan Beternak

Tiap kali menyirami tanaman di depan rumah, saya selalu ingat salah satu kawan di Facebook yang mengunggah gambar bapaknya yang sedang menyirami tanaman. Si Anak begitu menaruh hormat kepada bapaknya, sebab bapaknya mengajari cara beribadah dengan suka cita.

Si Anak kawan saya itu bertanya kepada bapaknya yang seorang ulama, Kiai, “Pak, apa bapak tidak ganti baju dulu, ganti dengan baju lain, bukan baju untuk pergi ngibadah?” kebetulan bapaknya mengenakan baju lengkap untuk ibadah, baju koko, songkok haji, dan sarung tenun Samarinda.

“Jadi begini Nak, salah satu adab beribadah kepada Tuhan adalah dengan cara mengenakan pakaian yang paling baik, tidak hanya pakain yang suci dari najis, tapi juga yang bersih dan baik. Nah, menyirami tanaman itu bagian dari ibadah kepada Tuhan.” Itulah jawaban yang menjadikan kawan saya sangat menghormati bapaknya.

Kita sering lupa bahwa selain dengan manusia, di dunia ini kita juga hidup bersama dengan makhluk lainnya, dengan hewan ada juga tumbuhan, bebatuan, sungai dan sebagainya. Tuhan mengatur dengan baik bagaimana kita hidup bersama dengan semuanya.

Larangan keras untuk mengencingi lubang (leng = Jawa) di tanah, mengencingi pepohonan, adalah bukti bagaimana kita dianjurkan untuk memperhatikan tidak saja limbah industri besar seperti limbah pabrik, tetapi juga ‘limbah’ pribadi yang sering kita tidak perhatikan, padahal kita bertanggung jawab atas pengelolaannya.

Dalam menjaga hubungan dengan alam raya atau lingkungan hidup tersebut, saya selalu ingat dengan para pengasuh di Pesantren Lirboyo. Di tempat ini saya bisa dengan gamblang menyaksikan bentuk hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungannya. Pendidikan dan pelajaran yang disampaikan Kiai Maksum Jauhari yang akrab dipanggil Gus Maksum itu, lalu pengasuh lainnya, seperti Kiai Imam Yahya Machrus, dan adiknya Kiai Zamzami Machrus, keduanya putra Kiai Machrus Ali Lirboyo.

Baca juga:  Sabilus Salikin (18): Nama-Nama Tarekat Sedunia

Beliau bertiga mengajari cara menggarap lingkungan tempat tinggal, lahan pekarangan di sekitaran pondok Lirboyo dijadikannya sebagai lahan peternakan, kebun dan persawahan. Misalnya Kiai Imam yang memiliki peternakan kuda balap dan kambing di belakang asrama santri.

Sedangkan Kiai Zamzami memiliki hamparan lahan yang ditanami rumput gajah untuk kebutuhan pakan sapi perah miliknya. Sapi-sapi perah itu oleh para santri dipanen tiap pagi hari, selanjutnya dimasak dan dikemas dalam botol untuk diedarkan di warung-warung sekitaran pesantren.

Lalu Gus Maksum, kiai yang dikenal ahli bela diri itu, memiliki kolam ikan lele dan ikan gurameh di belakang asrama santri, selain ternak sapi dan kebun buah belimbing.

Kiai-kiai pengasuh Pesantren Lirboyo memang dikenal memiliki kebun, sawah dan peternakan yang cukup besar dan baik. Kuda-kuda Kiai Imam Yahya misalnya, merupakan kuda-kuda pilihan yang kerap memenangkan lomba balap kuda. Padahal kuda-kuda itu dipelihara bukan oleh petugas profesional lulusan pelatihan beternak kuda. Kuda-kuda itu hanya dipelihara oleh santri-santri di sela belajarnya. Begitu juga dengan kebun dan persawahan. Kebun-kebun subur dan sawah-sawah luas tersebut dikelola langsung oleh santri dibawah arahan kiai.

Lirboyo adalah satu dari banyak pesantren salaf (bukan salafi/wahabi) di lingkungan Nahdlatul Ulama yang mendidik santri-santrinya untuk memanfaatkan lingkungannya dan mengoptimalkan fungsi lahan di sekitarnya.

Pupuk kandang yang dihasilkan dari peternakan, dimanfaatkan untuk menjaga kesuburan tanah persawahan dan kebun yang mereka kelola. Susu yang dihasilkan dari sapi perah, membantu pemenuhan gizi santri dan masyarakat sekitarnya. Bulir padi dan buah-buahan dari kebun mereka manfaatkan untuk menjamin kebutuhan-kebutuhan pokok. Sebagaimana hasil ternak yang mereka jaga.

Kita tahu, pendidikan-pendidikan ala Pesantren Lirboyo ini memiliki akar kuat dalam sejarah peradaban Islam. Lebih dekat lagi jika ditinjau dari sejarah perjalan para pengamal ajaran tasawuf, para kiai sufi pengamal tarekat. Kiai-kiai sufi sangat memperhatikan hubungan mereka dengan Tuhannya melalui lingkungannya.

Seorang sufi tidak akan mengganggu, atau menyakiti liyan, makhluk lain selain dirinya. Selain manusia, tumbuhan dan hewan adalah makhluk yang tidak boleh dirampas haknya. Berkebun dengan menjaga lahan agar tetap subur, kemudian berternak hewan dengan baik, adalah wujud dari menjaga hubungan baik antarmakhluk itu.

Baca juga:  Catatan Seputar Mualaf: dari Yahya Waloni hingga Martin Lings

Seorang sufi sangat menjaga asupan makanan yang ia konsumsi. Mereka menjaga agar tidak ada makanan yang tidak jelas sumbernya, masuk ke dalam perut mereka. Sebagian sufi menerapkan cara hidup mandiri di sela ibadah penghambaan mereka kepada Tuhan. Mereka menanam dan beternak sendiri sumber makanan yang hendak mereka konsumsi, seperti cara hidup yang dijalankan santri-santri di Lirboyo di atas.

Kehidupan sufi yang demikian ini bisa disimak dari kisah wali besar Syekh Abul Qasim al-Qabbari. Guru sufi dari Iskandaria yang menerapkan hidup zuhud (asketisme). Guru sufi ini dikenal sebagai orang yang saleh dan taat yang memiliki sebuah kebun yang digarapnya sendiri.

Ulama-ulama besar pada zamannya menaruh hormat kepada al-Qabbari karena gaya hidupnya itu. Seperti alim besar bernama Ibnu Katsir pernah berkata tentangnya, “Ia tinggal di rumah di kebunnya yang darinya ia makan dan bekerja, dan memberi orang-orang sebagian buah-buahan dari kebun tersebut”.

Sang Zahid, Syekh Abul al-Qasim al-Qabbari wafat tahun 662, makamnya di kota Iskandaria berada di masjid al-Qabbari yang terkenal. Seperti al-Qabbari, Kiai Imam dan Gus Maksum juga wafat beberapa tahun yang lalu, tetapi ajaran-ajaran mereka masih bisa kita warisi sampai hari ini.

Warisan penting yang bisa menyelamatkan kita dari gaya hidup ‘bobrok’, di mana ukuran kebaikan hanya dilihat dari berapa banyak harta yang kita miliki, berapa laba/profit yang kita hasilkan atau berapa luas tanah yang kita kuasai, bukan berapa besar manfaat dari harta, laba dan tanah yang kita kuasai itu.

Jika kita kepingin tahu seperti apa bentuk dari ‘produk subsisten’ atau ‘petani subsisten’ yang disinggung oleh Simon Tormey dalam Anti-Capitalisme: A Beginner’s Guide, sebagai bentuk awal dari ide-ide antikapitalis, kita bisa tahu dari kehidupan santri-santri seperti santri Lirboyo di atas.

Santri, sebagaimana petani subsisten, ‘bekerja’ untuk menjamin bahwa seluruh bahan-bahan kebutuhan pokok mereka dapatkan. Setelah itu, hidup adalah untuk dinikmati, berbagi, berkarya, belajar dan terus berusaha menjadi makhluk yang bermanfaat bagi sesama.

Baca juga:  Merajut Mata Rantai Al-Fadani

Dari pesantren-pesantren seperti Lirboyo, lahir orang-orang besar seperti Kiai Maemoen Zubair dan Kiai Musthofa Bisri (Gus Mus). Manusia-manusia yang disebut Gus Dur membawa sifat ‘ekletik’, mumpuni dan longgar. Salah satu karakteristik yang paling hebat dari paham Sunni yang dikembangkan oleh para ulama dan auliya dahulu khususnya di pulau Jawa. (ATK)

Kartasura, 14 April 2019

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top