Pernah suatu ketika saya bertandang di sebuah kampung di Jawa Timur yang sudah ratusan tahun usianya. Bagian barat dan bagian timur desa ini terbedakan secara sosial-agama. Apa perbedaannya?
Bagian barat desa ini di belakang nama desanya ditambahi label “santren” dan yang bagian timur diimbuhi label “templek”.
Penduduk bagian barat desa ini dianggap golongan santri dan yang di bagian timurnya dianggap golongan abangan. Pembedaan dua golongan masyarakat berlangsung turun-temurun dan kultural.
Pembedaan identitas sosial-agama di sebuah kampung (kampung adalah sebutan kultural. Sementara desa sebutan biroksasi) di Jawa Timur tersebut kemudian perlahan-lahan mencair dan kian kuat mendapatkan “koreksi internal”. Perubahan identitas ini tampak kian fenomenal dan belum tampak ada faktor-faktor tertentu yang “mengeremnya”. Laju perubahan ini merupakan efek dari teknologi media informasi dan komunikasi yang merambah hingga ke pelosok-pelosok desa.
Di kampung itu, identitas sebagai santri dipandang lebih “tinggi” ketimbang abangan hingga saat ini. Santri dinilai lebih prestise. Ada seorang penduduk di bagian timur desa itu menolak label “templek” (artinya tempel) dan mengubah label ini menjadi “wetan” (artinya timur). “Templek” dianggap bersifat rendah, agama hanya sebagai tempelan atau asesoris.
Di bagian barat kampung itu — wilayah “santren” — sejak ratusan tahun silam dan berlanjut turun-temurun hingga kini berdiri sebuah masjid besar yang dulu berfungsi sebagai pesantren yang diasuh oleh seorang kiai dan kemudian setelah pesantrennya vakum, masjid ini hanya berfungsi untuk tempat salat berjemaah lima waktu, salat Jumat dan salat hari-hari raya Islam.
Pengganti pesantren adalah madrasah yang berlokasi di dekat masjid itu. Pengelola masjid dan madrasah itu adalah keturunan pendiri masjid itu dan bergiliran secara turun-temurun.
Di bagian timur kampung — wilayah “templek” — meski kehidupan sosial-agamanya secara umum belum seislami penduduk di bagian barat kampung, masjid telah tampak berdiri di sini meski belum seaktif dan seramai masjid di wilayah “santren”. Salat berjemaah lima waktu di masjid belum seramai dan seajeg di masjid di wilayah “santren”.
Namun penduduknya tambah banyak yang berbusana muslim. Para wanita di kampung ini sebagian besar telah berjilbab dan para pria berbaju koko serta bersongkok. “Santrinisasi” kian merebak di wilayah “templek”. Makin berkurang penduduknya yang melakukan sabung ayam atau memuja tempat-tempat keramat.
Penduduk wilayah “templek” pun banyak bersekolah di madrasah dan sebagian mondok di pesantren sekitar desa mereka sebagaimana penduduk wilayah “santren”. Untuk kebutuhan juru doa, tahlil atau yasinan, mereka telah mulai mandiri atau tak tergantung kepada penduduk “santren”.
Evolusi pun terjadi di kalangan santri di wilayah “santren”. Kostum sebagian penduduknya tak seketat dahulu. Juga pergaulan sosial mereka. Sarung dan kupluk hanya marak saat ibadah ritual. Mereka bercelana panjang dan berkaos oblong saat di luar rumah. Juga sebagian dari mereka biasa menonton tayangan hiburan musik dangdut di televisi yang biduannya berbusana agak terbuka dan berjoget di panggung. Tontonan seperti ini sebelumnya tabu bagi kalangan santri.
Apakah terjadi arus balik santri dan abangan?
Fenomena ekstremnya adalah saat di kafe saya melihat kalangan santri mengubah identitas tampilannya agar tak teridentifikasi sebagai santri. Ia melepas sarung dan menggantinya dengan celana jins, berkaos oblong atau berbaju hem dan tanpa penutup kepala. Perilaku santrinya pun tak tampak lagi. Identitas kesantrian di ruang publik ini mengalami reduksi.
Sebaliknya, kalangan abangan saat bertamu ke rumah kiai mengubah identitas penampilannya. Mereka melepas topi laken atau kain udeng dari kepala dan menggantinya dengan songkok. Sering pula mereka bersarung dan berbaju koko saat bertamu ke rumah kiai.
Di rumah kiai, bahasa tubuh dan tutur kata mereka tak lagi “abangan style“. Di ruang privat identitas abangan mengalami reduksi. Namun identitas santri bertahan di ruang privat misalnya ketika kiai bertamu ke rumah orang abangan tetap berpenampilan sebagai santri.
Di wilayah politik, ada kecenderungan di kalangan abangan mengidentifikasi diri sebagai santri, minimal mereka memakai simbol-simbol santri, songkok atau jilbab misalnya. Atau jika harus berpasangan dalam pilkada, di tingkat propinsi atau kabupaten, mereka akan “meminang” pasangan berlatar yang santri atau keluarga pesantren.
Di ranah politik, identitas santri dipandang lebih “sexy” ketimbang abangan.