Sedang Membaca
Seabad Usmar Ismail (4): Seni Diberkati Tuhan
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Seabad Usmar Ismail (4): Seni Diberkati Tuhan

Whatsapp Image 2021 03 31 At 6.17.03 Pm

Pada masa 1980-an, Usmar Ismail masih diusahakan dikenali sebagai penggubah puisi. Linus Suryadi AG membuat antologi 4 jilid berjudul Tonggak. Di Tonggak (1987) jilid pertama, kita menemukan nama Usmar Ismail. Sepuluh puisi dipasang agar pembaca tak melupa masa lalu si tokoh tenar. Penjelasan sederhana: “Dia muncul pada zaman pendudukan Jepang. Menulis puisi, cerita pendek, esai, dan drama. Kemudian kegiatannya mengarah pada dunia film. Dia menjadi sutradara dan menulis skenario film, terkadang juga menjadi juri festival film.” Masa menjadi pujangga cepat rampung. Ia tak betah atau merasa tak mungkin melanjurkan. Dua larik penting dari puisi digubah pada masa pendudukan Jepang berjudul “Poedjangga dan Tjita-Tjita” mungkin memberi tanda: Djanganlah hendaknja, wahai Poedjangga,/ tjita-tjita djadi mainan kata.

Usmar Ismail tak mau terlalu dalam “mainan kata”. Ia bergerak ke “mainan gambar”. Hari demi hari, ia melangkah menuju mainan berbeda. Tulisan-tulisan penting telah dikerjakan sejak lama adalah lakon-lakon. Lakon teringat berjudul Tjitra (1943). Lakon itu digarap menjadi lagu oleh Cornel Simandjuntak. Tulisan berupa lakon dan pementasan sekian tahun mengarah ke pembuatan film. Ia masih saja memiliki pembawaan puitis tapi sadar sedang menuju mainan gambar.

Lakon-lakon gubahan Usmar Ismail terbit menjadi buku berjudul Lakon-Lakon Sedih dan Gembira. HB Jassin (1947) memberi komentar: “Tetapi terang pada Usmar Ismail, dan inilah jang membikin karangan-karangannja bagi kita djadi lebih berharga, titik berat selalu djatuh pada sanubari perasaan kebangsaan jang mendjadikan peperangan bermakna bagi bangsa Indonesia sendiri.” Pada pembuatan film-film, patokan selera kebangsaan terus dimunculkan oleh Usmar Ismail, selain protes sosial dan hiburan.

Baca juga:  Kemitraan Perempuan dan Laki-laki

Di sejarah Indonesia, film-film Usmar Ismail memang berada di babak pendahuluan dalam menegaskan keindonesiaan. Pilihan menggarap film berlatar perang memastikan ada panggilan memori-memori dalam memuliakan Indonesia menapaki revolusi. Usmar Ismail sedang membentuk cap Indonesia dengan pelbagai keterbatasan dalam penggarapan film dan pemutaran film di hadapan para pemuka bangsa. Film-film bersinggungan dengan politik, sebelum mendapat resepsi penonton dalam mengerti Indonesia berbarengan dengan serbuan film-film asing pada masa 1950-an dan 1960-an. Episode itu perlahan menepikan Usmar Ismail dari tanggung jawab sebagai pujangga. Ia telah manusia-film.

Gatra edisi 11 Maret 2006 memuat halaman-halaman penghormatan dijuduli “Usmar Ismail: Tragedi Pejuang Sinema.” Sosok mengabadi dalam perfilman di Indonesia meski menanggungkan nasib sering tak keruan. “Tapi, ia akhirnya dihormati karena gigih mempertahankan wajah Indonesia di layar perak,” tulis di Gatra. Halaman demi halaman, Usmar Ismail diceritakan sebagai manusia-film mengalami sekian krisis, sejak masa pendudukan Jepang sampai masa Orde Baru.

Kita mengutip di Gatra mengenai babak “terkeras” dalam bentrok seni dan ideologi melibatkan Usmar Ismail. Kita mengingat masa 1960-an: “Tekanan dan serangan kelompok kiri terhadap Usmar Ismail dimulai sejak 1960-an. Tepatnya setelah Usmar Ismail terpilih menjadi Ketua Umum Lembaga Seniman dan Budajawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) pada 1962. Kala itu, tak bisa disangkal, ada upaya-upaya pendekatan yang dilakukan kaum komunis terhadap Usmar Ismail yang telah menjadi Ketua Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) sejak 1955.” Usmar Ismail dipaksa memberi jawaban-jawaban atas “mainan gambar”. Ia pun wajib bersikap dalam urusan seni dan ideologi dengan sekian peran dan tulisan. Usmar Ismail berada dalam “pertempuran” sengit, setelah menekuni garapan film-film keindonesiaan. Tanggung jawab terbesar selaku manusia-film, bukan lagi pujangga.

Baca juga:  Syakib Arslan: Sebab Kemunduran Dunia Islam

Pada masa lalu, orang-orang terbiasa menunjuk Lekra dan Manifes Kebudajaan dalam pelbagai bentrok. Pihak-pihak terlibat kadang teringat tapi memiliki bobot berbeda: Lesbumi dan LKN. Di situ, kita menemukan Usmar Ismail sebagai penggerak Lesbumi. Sosok itu memiliki tautan religius dalam meladeni serangan-serangan seni dan ideologis. Kita telah mengerti dan membaca dalam puisi-puisi lama. Usmar Ismail terbiasa menulis tentang Tuhan dan religiositas, selain menuruti propaganda dan derita kemanusiaan. Di puisi berjudul “Tuhanku…” digubah pada awal 1945, kita membaca: Kudapati djalan kembali/ pada-Mu Tuhan…./ Kautegakkan aku berdiri/ ditengah laut kusut ini/ Agar dapat aku melihat/ Bajangan-Mu atas perkatjaan Bumi// Kutinggalkan Kau, Tuhan/ Ditempat aku berhenti/ Ditengah arus gemuruh!

Di Lesbumi, Usmar Ismail menambahi lagi pembuatan sejarah. Kita membuka buku berjudul Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan (2008) garapan Choirotun Chisaan. Acuan agama memberi petunjuk bagi Usmar Ismail dalam menggerakkan seni dan menempatkan diri dalam arus politik di Indonesia. Ia berada dalam naungan NU. Edisi-edisi berkesenian pun berdalih ketuhanan dan keindonesiaan, tak bermaksud menuruti hasrat komersialitas atau mereguk untung duniawi saja. Usmar Ismail dalam gubahan sastra, sandiwara, dan film menginginkan berkat Tuhan. Ia kadang gamblang mengungkap religiositas ketimbang cerewet dalam jargon-jargon politik dan industrial.

Baca juga:  Kang Jalal dan Konsep Ulil-Albab: Semacam Catatan Retrospektif

Choirotun Chisaan berpendapat: “Barangkali Usmar Ismail benar memiliki sikap ‘nasionalis-religius’ dalam merepresentasikan sikap moderat Lesbumi, tidak ke kanan tidak ke kiri. Meski, Musjawarah Besar I Lesbumi 1962 menghasilkan salah satu butir keputusan ‘meluaskan sjiar Islam untuk mentjapai masjarakat sosialis Indonesia jang adil dan makmur dan diridloi oleh Tuhan Jang Maha Esa.” Biografi Usmar Ismail bergelimang masalah-masalah politik tapi ia tetap memilih seni berpijak religiositas meski pernah dikecewakan dalam jagat perfilman di Indonesia. Peran di babak pendahuluan tak memungkinkan ia memiliki kebahagiaan. Kecewa demi kecewa berdatangan setelah film (terlalu) direcoki nalar-nalar politik dan industri. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top