Sedang Membaca
Pemetik Puisi (2): Kertas dan Keras
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Pemetik Puisi (2): Kertas dan Keras

Sapardi Djoko Damono

Bocah-bocah belajar mengaji kitab suci di masjid. Mereka diajari pula doa-doa. Sekian doa diajarkan denga cara disuarakan untuk diulang sampai hapal. Bocah sulit hapal bisa mencatat di buku tulis. Keinginan bisa mengucap puluhan doa membuat bocah-bocah bersemangat menghapalkan. Konon, bocah cepat merekam dan memiliki kemauan terus mengucap doa. Bocah menjadi pendoa dengan bahasa Arab. Arti dan penjelasan dalam bahasa Indonesia mungkin diberikan tapi justru sulit dihapalkan dibandingkan dengan bahasa Arab.

Tahun demi tahun, si bocah beranjak dewasa. Ia mungkin menambahi koleksi doa, merasakan ketenangan dan kenikmatan saat melakukan sekian peristiwa. Doa terlalu penting dalam ucapan atau terbatinkan. Beragam hal berdatangan minta perhatian dan mendekam dalam diri. Doa-doa masih bertahan tapi keinginan menghapalkan lirik lagu, slogan, atau materi pelajaran menjadikan situasi  rumit. Doa-doa hapalan kadang gagal menjadikan sekian peristiwa bermakna. Kemauan memiliki doa bisa disokong dengan membeli buku-buku doa diperdagangkan di toko buku, pasar, terminal, pasar malam, atau pengajian di alun-alun. Buku-buku memuat doa dalam bahasa Arab dan terjemahan. Ada pula penjelasan-penjelasan pendek.

Kita mampir ke puisi berjudul “Doa” gubahan Sapardi Djoko Damono. “Kepemilikan” dan peristiwa berdoa bukan sepele. Kita mendapatkan pengalaman ragu dan keinginan merawat diri sebagai pendoa. Sapardi Djoko Damono menulis: Kau pun buru-buru menangkap doa yang baru selesai/ kauucapkan dan memenjarakannya di selembar kertas. Ia/ abadi di situ. Tindakan itu mengandung keinginan besar tapi mungkin malah “salah”. Orang mengucapkan dan menuliskan doa. Pengalaman berbeda meski doa teranggap sama. Adegan menuliskan berbeda dari ketakziman atau ketegangan saat berdoa. Pengucapan di mulut atau hati makin membedakan. Kertas itu terpilih, mengawetkan doa mungkin terlupa bila selalu dibatinkan atau diucapkan saja.

Baca juga:  Perbedaan Antara Sihir, Mukjizat dan Karamah

Sapardi Djoko Damono mengantar kita sebagai “penonton” dari lakon pendoa. Ada kesenjangan dalam berdoa: gerak dan diam. Pada saat melisankan doa, orang itu masih bergerak dengan konsekuensi pengaturan suara atau tekanan. Melisankan doa terasa kewajaran untuk lirih atau keras di tempat berbeda dan pilihan waktu. Terbaca di puisi: Ia sudah mulai merasa tenang di lembaran kertas yang/ hening ketika malam ini kau melisankannya keras-keras./ Alangkah indah bunyinya. Kita memiliki perbedaan-perbedaan itu saat beribadah atau hadir dalam acara dimaksudkan sakral. Tata cara berdoa bisa menuruti situasi atau mendasarkan “sesuai”. Bait itu membedakan doa: tenang di kertas dan keras di mulut. Pembeda memihak saat mengakui dengan “alangkah”.

Teringatlah kita saat bocah, terbiasa melisankan doa secara keras: doa sebelum makan, doa sebelum tidur, atau doa mau belajar. Doa tak selalu dilisankan sendiri. Doa pun terdengar tanpa diukur “alangkah” saat diucapkan bersama: kompak dan keras. Di rumah, bocah bisa salah tingkah bila bapak-ibu meragukan: sudah atau belum berdoa. Pembuktian adalah doa (harus) terdengar. Pada saat dewasa, kebiasaan itu bisa berubah dengan membatin. Doa-doa terbatinkan atau terucap lirih-lembut. Doa dengan pengucapan lembut tersempurnakan air mata. Detik-detik berdoa adalah percampuran kata dan air mata.

Baca juga:  Interkoneksitas Asia dan Diaspora Arab di Tiongkok Era Mao

Di akhir puisi, pendoa terpikirkan bersama. Sapardi Djoko Damono menulis: Tidak ada yang pernah mengatakan padaku seperti/ apa sebenarnya hubunganmu dengan doa itu. Dua larik pelik. Doa dituliskan di kertas seperti mencipta hubungan renggang atau jauh, rentan tak termiliki lagi. Si pendoa telah menuliskan doa di kertas bersifat fana, berhak membaca doa saat lupa atau menginginkan dalam pengalaman berbeda. Hubungan tak mungkin biasa-biasa saja. Perkara doa melampaui sederhana. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top