Sedang Membaca
Keluarga, Pulang, Rumah
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Keluarga, Pulang, Rumah

Ayo mondok

Kini, orang-orang bergerak untuk balik. Di berita, pembahasaan cukup klise: arus balik. Kita diminta memberi perhatian jutaan orang balik ke kota-kota dengan naik sepeda motor, mobil, bus, kereta api, dan lain-lain. Kita meragu untuk menerima pengertian “balik” sebagai pasangan “mudik”. Kamus-kamus tak memadai untuk pemastian perbedaan dan persamaan “mudik” dan “balik” bila merujuk rumah. Konon, orang-orang mudik itu kembali ke rumah (asal). Mereka pun balik untuk kembali ke rumah-rumah berbeda alamat.

Sekian hari hari, mereka heroik dalam peristiwa akbar: mudik. Kata mudah terucap, terdengar, terbaca, tertulis, dan teringat. Usaha melupakan justru sulit. Kata sudah meminta perhatian besar sebelum dan saat Ramadhan. Kata mudah dalam pengertian. Kata kadang rumit dalam amalan.

Kesibukan-kesibukan terselenggara oleh pelbagai pihak. Semua demi “membenarkan” mudik dan balik. Pada 2024, mudik masih dipengaruhi situasi pelik dalam politik. Perekonomian lesu dan prihatin. Kita mengetahui urusan mudik bisa mengatasi segala sulit. Konon, mudik berpijak kekuatan dan kemauan sosial-kultural dalam gejolak (pengalaman) keagamaan. Pengertian itu sulit mengikuti “balik”.

Mudik mencipta cerita-cerita mengharukan, ketakjuban, duka, girang, kecewa, malu, ketulusan, dan lain-lain. Kita justru jarang mendapatkan cerita-cerita balik. Mohammad Sobary (1996) menjelaskan: “Mudik memantulkan simbol-simbol penuh makna. Ada simbol-simbol kekalahan dan sikap takluk menghadapi kerasnya pertarungan di rantau orang. Ada juga sebaliknya tanda-tanda sukses ekonomi yang menuntut pengakuan sosial di tanah leluhur.” Di kesusastraan Indonesia, mudik menjadi tema rutin tahunan. Sekian cerita awet dalam ingatan dan pemaknaan. Para pengarang menulis mudik dengan beragam kenangan dan kesanggupan pendokumentasian zaman. Di hadapan teks-teks mudik, kita merasa di pengembaraan ruang dan waktu.

Pengertian terpenting dalam mudik: keluarga dan pulang. Kita menikmati cerita gubahan Mohammad Diponegoro berjudul “Pulangnya Sebuah Keluarga Besar.” Dua kata kunci ditampilkan dalam judul. Mudik ditebak sebagai peristiwa keindahan dan kebahagiaan. Mudik itu keluarga berkumpul (lagi). Kita justru diajak memikirkan nasib keluarga dalam sengketa.

Baca juga:  Daftar Gerakan Mahasiswa yang Anti dan Pro Gus Dur

Cerita khas Jawa. Sosok bapak bernama R Sastrodisastro. Ia hidup bersama dua anak: Sari dan Dahlan. Bapak itu duda. Keluarga mengalami guncangan besar gara-gara hasrat pernikahan. Bapak ingin menikah lagi. Keinginan mendapat protes dari sulung: Sari. Bapak mau menghadirkan ibu (baru) tapi mendapat penolakan. Sengketa membesar gara-gara Sari meninggalkan rumah tanpa pamit dan penjelasan. Tahun-tahun penuh kesedihan ditanggungkan bapak dan Dahlan di rumah.

Sepuluhan tahun berlalu, Sari mengabarkan ingin pulang. Ia berada di kota jauh. Kabar datang memberi kebahagiaan. Bapak merasakan kerinduan dan insaf salah-salah masa lalu. Pertemuan itu terjanjikan. Cerita tak melulu sedih. Pembaca justru diajak memikirkan mudik itu pilihan alat transportasi. Di surat, Sari mengatakan bakal pulang naik kereta api. Bapak bersemangat menjemput menggunakan andong. Ia menjadi sais. Angan menjemput Sari dengan andong batal. Kabar baru datang. Sari pulang naik truk.

Kita terbiasa mengikuti berita-berita mudik mengetahui pilihan orang-orang pulang ke kampung halaman itu naik bus, kereta api, atau kapal. Pada suatu masa, mudik itu bertambah meriah saat orang-orang mengendarai sepeda motor dan mobil. Kabar gembira bagi orang-orang sanggup mudik naik pesawat terbang. Kita mengartikan mudik dengan kemampuan uang dan pilihan alat transportasi. Masalah terbesar bagi mereka: macet.

Di cerita persembahan Mohammad Diponegoro, kita mempertimbangkan andong, kereta api, dan truk. R Sastrodisastro dengan imajinasi-kultural tradisional memiliki kebanggaan dengan andong. Ia pun mengerti keajaiban kereta api mula-mula diadakan di Jawa pada akhir abad XIX. Kereta api itu pesona dan kecepatan. Ia berkata mengenai truk: “Aneh-aneh saja Sari. Apa maunya? Datang dengan truk? Mau boyong pindah rumah apa mau jual kambing?” Kata-kata terucap disempurnakan tertawa. Ia merasakan bakal terjadi perdamaian bersama Sari telah pergi selama sepuluh tahun.

Baca juga:  Mengenal Filsafat Ketakutan: dari Sigmund Freud hingga Fahrudin Faiz

Peristiwa Sari pulang naik truk menimbulkan kehebohan di desa. Truk pun ketakjuban. Kita diajak terpukau: “Debu membumbung sepanjang jalan dengan seperti kain yang berkibar. Deru mesin truk itu makin jelas kedengaran. Lalu, hampir aku tidak percaya terdengar nyanyian anak-anak yang girang. Sebuah sekolah dasar sedang bersama-sama tamasya! Aku lihat ayah mendongong percaya-tidak percaya. Truk itu kini sudah dekat dan ayahku mendadak berteriak sambil berlari ke jalanan.”

Truk itu mengantar Sari kembali ke rumah, bertemu dan bersatu dengan keluarga telah lama ditinggalkan. Ia pun datang membawa keluarga. Adegan mengharukan: “Dan, keluarga kami bertemu kembali. Perasaan canggung dan perasaan terlepas, tertahan dan dibiarkan meleleh cair.” Kita mengartikan mudik itu keluarga dan pulang. Kereta api, andong, dan truk itu memudahkan mudik menjadi “drama”.

Kita sejenak memikirkan rumah. Dulu, Sari meninggalkan rumah. Dua penghuni rumah merasakan sepi. Sari menghuni rumah berbeda, berada di kota jauh. Pemahaman rumah turut dalam nostalgia dan “ralat” makna berbarengan arus waktu dan kejadian-kejadian. Rumah menjadi tempat terindah untuk berkumpul dan mengartikan kebersamaan dipenuhi suka-duka. Rumah itu tempat pulang. Kita menafsirkan mudik dengan keberadaan rumah: tetap atau berubah.

Rumah di kampung halaman, rumah dirindukan bagi orang-orang pergi bermisi mencari nafkah atau mencipta penghidupan berbeda. Lebaran menjadi dalil terkuat bagi mereka kembali ke rumah, menghadirkan raga (kembali) di kampung halaman. Mereka memiliki album kenangan tapi sadar bakal menemukan perubahan-perubahan.

Baca juga:  Pabrik dan Pesta Tulisan

Kita membuka buku berjudul Perjamuan Khong Guan (2020) garapan Joko Pinurbo. Puisi-puisi mengingatkan mudik dan Lebaran. Kita mengutip puisi berjudul “Mudik Khong Guan” digubah pada 2019: Kaleng Khong Guan terbang/ membawa hatiku yang bimbang/ menuju kampung halaman/ yang tak punya lagi halaman. Kita dikagetkan dengan masalah “kampung halaman yang tak punya lagi halaman.” Imajinasi tentang halaman atau pekarangan bermunculan saat silam. Di situ, bapak dan ibu bercocok tanam. Bocah-bocah girang bermain. Halaman atau pekarangan menandai tata cara hidup belum sesak atau padat. Masa lalu memiliki pengisahan tanah, tanaman, binatang, dan lain-lain. Halaman “hilang” atau “berubah” mengartikan rumah pun mengalami pergeseran makna dan rawan terputus dari sejarah.

Kehadiran orang-orang kembali ke rumah atau kampung halaman kadang malah mencipta perubahan. Duit diperoleh berhak digunakan mendandani atau mengubah rumah agar menampilkan “kesuksesan”. Mudik menimbulkan agenda tambahan: kesibukan membangun dan mengubah rumah. Kita mengerti keluarga itu berkurang atau bertambah. Makna rumah ditentukan keluarga menuntut mengawetkan kesilaman rumah atau memerlukan menambah jumlah rumah setelah keluarga-keluarga baru tercipta.

Kini, kita gampang mengerti tentang mudik, belum tentu balik. Pengertian-pengertian mudik terperoleh: keluarga, pulang, dan rumah. Kita mengetahui dari pengalaman dan cerita meski abad XXI memicu perubahan-perubahan tak sempat diramalkan. Mudik tak lagi serumit dalam babak-babak sejarah (peradaban) di Indonesia silam. Mudik mutakhir membawa pengertian-pengertian baru saat tatanan hidup dalam koneksi atau berjejaring dan orang-orang bergawai sepanjang waktu. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top